[1] Sunyi, Sendiri

15 3 0
                                    

"Maafkan aku, Ibu. Apakah aku berbuat kesalahan? Apakah aku nakal, Ibu? Aku janji gak akan lupa untuk gosok gigi sebelum tidur, aku janji gak akan minta Ibu bacain dongeng kancil yang bijak saat Ibu libur kerja. Aku janji, Bu." Raut wajahku mengendur, tangisku akan pecah dua detik lagi, tanganku masih menggelayuti jas kantor Ibu.

Ibu berlutut di hadapanku, mengusap tangis yang terjun bebas, "Nak, kamu gak nakal dan gak berbuat salah apapun. Kamu kebanggaan Ibu. Ibu sayang kamu, Anindita." Rangkul dan kecup manis Ibu untukku mengiringi petang kelam tanpa rintikan hujan.

Aku menangis sejadi-jadinya, "Tapi, Ibu jarang di rumah. Aku bangun hanya melihat Bu Arum. Aku akan tidur, Ibu belum pulang. Apa itu bukan kemarahan, Bu? Apakah sampai dewasa nanti, aku gak akan pernah merasakan disuapi dan dibacakan dongeng oleh Ibu?"

Jendela kamarku terbuka lebar, burung berkicau dan terbang bebas di taman samping, seakan meramaikan suasana hatiku yang tengah riuh tak terkira. Transisi malam semakin pekat, tiba-tiba gerimis tak diundang mengguyur, sapuan angin seakan tak kenal arah, lalu-lalang tanpa himbauan. Air hujan semakin agresif, jendela kamarku menolak tuk dikecup hujan, membuka dan menutup dua detik bergantian. 

Air hujan itu membasahi dinding kamarku, semakin deras, "Aduh, bocor lagi, sayang. Bentar ya? Ibu mau ambil ember dulu." Ucap Ibu sembari menutup jendela kamarku dan menguncinya. Hal itu membuat jas kantor Ibu basah, hingga lengan atas. Tetapi aku heran, kenapa wajah ibu basah? Kenapa hanya di bawah mata Ibu yang terkena cipratan air hujan? Mungkin angin memiliki target sendiri tuk membuatku bingung.

Hingga aku-pun lupa, bahwa Ibu belum menjawab pertanyaanku.

Kemarin malam, hujan menghabisi kamarku. Ember di rumahku tak mampu menahannya lagi, air itu menjelajahi atap rumahku, hampir di semua sudut. Untungnya semesta baik hari ini, pagi yang cerah menyapa. Kilauan mentari hangat membubuhi Hari Mingguku ini. Hari Ibu tidak berangkat bekerja.

"Ibu?"

Ibu mendongak dan menatapku, "Iya, Sayang?" lantas menunduk kembali, menuntaskan mengepel lantai dengan ember hitam berdiameter 50 centimeter itu.

"Hari ini Ibu gak bekerja kan?" tanyaku ikut berlutut sembari merangkul boneka teddy bear  yang lusuh.

Ibu tersenyum, "Gak kok. Ibu di rumah hari ini."

Gigi kelinciku ikut meramaikan Hari Minggu ini, aku berlari ke halaman depan, bernyanyi dan melompat, "Andai aja setiap hari adalah Hari Minggu." Ucapku sambil menuliskan sesuatu di tanah dengan batu kecil yang kugenggam.

Saat itu, aku menuliskan, "Anindita Family." Setelah tanda baca titik aku tuntaskan, pandanganku merapat ke depan, tertuju pada anak kecil yang bergandengan tangan dengan kedua orangtuanya. Tangan kanan digenggam Ibu, tangan kiri digenggam...,"Ayah." Teriakku sambil melempar kerikil yang kugenggam, sontak mengenai kucing jenis Felis Catus itu, "Miaow." Terdengar berulang kali dengan nada tinggi.

Ibu yang sedang duduk seraya terkejut melihatku berlari dan bernapas pendek, "Bu..., aku...," aku tak bisa menuntaskan kalimatku, aku merasa sesak. Ibu bergegas mengangkat tubuhku dan memangku-ku. Beberapa menit kemudian, aku merasa lebih baik, Ibu memberiku minum, "Ada apa, Dita? Dikejar kucing lagi?"

Segelas air putih t'lah kuhabiskan, suara kucing itu masih terdengar, aku merasa bersalah. Ibu bertanya kembali dengan nada yang lebih berirama, "Ada apa, Dita?"

"Ayah ke mana?"

"Aku gak pernah ketemu sama Ayah. Ayah kerja ya, Bu? Apa Ayah kerjanya jauh, Bu?"

Hela napas Ibu terdengar jelas, tak berirama seperti nada pertanyaan sebelumnya, "Ayah jauh sekarang."

"Jauh? Di mana, Bu? Apa Ayah naik pesawat?"

"Mungkin." Pangkuan oleh Ibu usai, hentakan kaki Ibu mengarah ke luar rumah, meninggalkan jejak kaki di tulisan yang aku buat. Tulisan 'Anindita Family' telah dirusak oleh punggung sandal Ibu.

"Ibu ada rapat sebentar. Nanti ditemenin Bu Arum ya." Teraik Ibu tanpa meninggalkan kecup di pipiku, pipi bertahi lalat tiga bertingkat.

Hari demi hari kulalui dengan kehampaan, kekosongan, kesepian. Sampai kucing tetangga itu sudah beranak pinak, entah berapa anaknya, aku juga tak sempat dibacakan dongeng oleh Ibu. Setiap hari, aku merenung, disuapi makan oleh Bu Arum, tetanggaku. Dimandikan oleh Bu Arum. Dibacakan dongeng oleh Bu Arum.

Terdapat detik di mana aku sempat berpikir, "Ibuku Bu Arum atau Ibu Berliana?" ucapku sembari menyiapkan perlengkapan sekolah, esok adalah hari pertamaku sekolah. 7 tahun sudah aku menghela napas, mengejar kucing tetangga, makan, mandi, tidur, menggambar dan, "Oh ya, Bu. Ibu antar Dita ke sekolah, kan? Pasti semua murid baru diantar orang tuanya." Ucapku sambil melahap roti dengan selai kacang di setiap lipatannya.

"Tentu."

"Sekarang kalau hujan, aku gak merasa kedinginan lagi. Terima kasih ya, Bu. I love you." Aku memakai sling belt dan melontarkan senyum ke Ibu yang tengah serius menyetir mobil. Saat jalanan sedikit sepi, Ibu tak menoleh ke arahku, namun berucap, "I love you too."

"Se-serius itukah seseorang saat menyetir mobil?" pikirku.

Sang Surya lengser, menduduki jabatan tertinggi yang dipindah alih. Esok kan bertemu Kembali. Rona purnama hadir, menghiasi langit biru kehitaman, menaburkan inspirasi untukku, "Yes. Gambarku udah siap. Untung aja Ibu gak tahu kalau aku lupa ngerjain tugas gambar." Meringis sembari menatap jam dinding yang menuding angka 11.

Gerimis tak berkunjung malam ini, padahal aku menunggunya. Aku suka keramaian.

"Pergi kamu dari sini!" suara teriakan dari depan rumah, seperti suara Ibu. Aku memainkan logika sebentar, apakah benar itu suara Ibu atau hanya ilusiku karena merindukan keramaian?

Dua menit berselang, logikaku sudah mencapai finish, "Sepertinya benar, itu suara Ibu." Lantas aku bergegas keluar dari kamar, berjalan berjinjit menyusuri ruangan demi ruangan. Lampu ruang tamu masih menyala atau baru dinyalakan, entahlah, biasanya jam 9 malam saja, rumahku seperti rumah nenek sihir di tengah hutan, gelap.

"Itu siapa sih yang dimarahin Ibu." Aku mengintip dari celah pintu yang tak menutup sempurna. Aku mengerahkan seluruh indra-ku untuk berkerja sama. Berkonsentrasi dan meraih tujuan utama, "Sial!" rintihku, "Kacamata-ku tertinggal di kamar, mana gelap banget di luar."

"Tokk..kek." Suara tokek membuyarkan konsentrasiku, untung saja hanya sampai hitungan ke-tiga belas. Aku meneruskan menguping dan mengintip, meskipun tidak jelas apa yang kuintip.

"Cepat kamu pergi dari sini! Aku dan Anindita gak butuh kamu!"

"Aku tahu, pasti Anindita ingin dan rindu bertemu dengan aku, Ayah kandungnya."

"Anindita gak butuh Ayah sepertimu! Cepat pergi dan jangan kembali lagi!"

Sosok lelaki itu pergi berbalik arah dari Ibu.

Jujur saja, hatiku remuk saat itu, hancur, "Itu Ayahku? Ayah kandungku?" ucapku dalam batin. Aku ingin marah, karena Ibu t'lah mengusir Ayah. Aku ingin marah sejadi-jadinya, karena Ibu jahat sama Ayah. Aku ingin marah, kenapa kacamata-ku harus tertinggal? Seandainya tidak, maka detik itu aku bisa melihat wajah Ayah untuk pertama kali dan aku berharap ada yang kedua kali, ketiga kali dan tak terhingga.

Amarahku terbendung dalam lelapnya tidur, aku tak ingin Ibu tahu, apa alasanku marah dengan Ibu. Saat ini, saat tubuhku berkembang, saat aku semakin dewasa dan mungkin untuk selamanya.

Kejora BerteduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang