Part 12

1 0 0
                                    

"Mas, makan dulu yuk. Mas dari pagi belum makan kan." Jihan membujuk suami nya yang sedang berada di kantin sejak meninggalkan ruang rawat syfa tanpa memesan apapun.

"Apa syfa udah makan, udah minum obat juga?" Umar menatap istri nya yang berada disamping nya.

"Syfa udah makan siang mas, udah minum obat juga. Sekarang mas makan yaa, aku pesenin makanan kesukaan mas yaa." Umar hanya bisa mengangguk pasrah.

Setelah memesan pesanan nya dan membawa nya ke meja tempat nya tadi bersama suami nya. "Ini mas, sekarang mas makan."

Hening, suasana makan siang antara suami istri itu. Hanya suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Sesekali jihan memperhatikan umar, yang tengah menyuapkan makanan ke mulut nya. Jihan paham betul dengan raut wajah sang suami, raut khawatir bercampur dengan emosi yang tak bisa dikendalikan membuat umar sering kali melakukan kesalahan sehingga syfa yang menuruni sifat keras kepala nya salah mengartikan nya.

Membalikkan sendok nya, menandakan umar telah selesai menyantap makan siang nya. "Apa mas sudah keterlaluan dek?" Umar menundukan kepala nya.

"Enggak mas, syfa hanya tak paham. Karna tak tau apapun tentang kekhawatiran abi nya dimasa lalu. Syfa hanya tak tau tentang masa lalu nya mas, jika syfa tau. Mungkin syfa akan mengerti dengan semua perlakuan mas." Jihan mengelus pundak umar, menyalurkan kekuatan.

"Mas gamau syfa ingat lagi masa lalu nya dek, sehingga syfa akan mengalami depresi lagi seperti waktu dia masih kecil. Mas ga bisa bayangin, akan sehancur apa mas nanti. Mas udah gagal jadi seorang ayah dek." Jihan yang merasakan perubahan emosi umar, menangkap umar kedalam pelukan nya. Memberikan kehangatan kedalam nya.

"Jangan bicara seperti itu mas, selama ini mas udah berusaha jadi ayah yang baik buat syfa. Yang selalu memberikan perlindungan buat syfa, hanya saja mungkin cara mas ngejaga syfa yang buat syfa ga suka." Jihan menghapus air yang tiba-tiba mengalir deras di pipinya.

"Abi adalah abi yang terbaik buat ali dan juga buat syfa." Ali yang baru saja datang tak sengaja mendengar percakapan kedua orang tua nya. Ali memang sudah mengetahui perihal masa lalu yang menimpa keluarga nya, walaupun waktu itu ia masih belum cukup dewasa, tapi ia cukup paham apa yang menimpa keluarga nya. Sampai abinya membagi tanggung jawab untuk menjaga syfa.

Bersimpuh dibawah kaki umar yang tengah duduk dan memeluk nya tanpa malu sedikit pun karna ditatap banyak pasangan mata. "Syfa pasti akan paham nanti bi, semua yang kita lakukan hanya untuk syfa. Abi gausah khawatir. Syfa itu cerdas, dia pasti akan cepat mengerti." Ali ikut menyalurkan kekuatan nya untuk umar.

"Abi takut salah mengambi keputusan li, abi khawatir nanti setelah syfa nikah apa syfa masih tetap terlindungi. Apa syfa akan aman bersama adit. Atau mungkin nanti setelah syfa nikah justru malah merasa bebas dan melakukan semau nya sendiri tanpa merasa ada yang mengawasi. Terlebih adit yang banyak menghabiskan waktu nya dirumah sakit." Umar merenggangkan dekapan jihan dan membawa ali untuk duduk di sebelah nya.

"Syfa ga mungkin seperti itu mas, kita udah bahas ini kan."

"Iya bi, syfa itu paham kewajiban nya seorang istri itu seperti apa. Jadi dia ga mungkin ngelakuin hal bodoh." Ali menimpali ucapan jihan.

"Abi hanya takut." Umar menundukan kepala nya.

"Sudah, jangan dibahas lagi. Ketakutan abi itu ga berdasar, abi cuma ga percaya sama syfa. Itu ajja. Coba kalo abi lebih percaya sama syfa, pasti abi akan tenang kemana pun bersama siapapun syfa pergi." Jihan paham tentang ketakutan yang berlebihan yang suami nya alami semenjak kepergian anak kedua nya. Ketakutan yang membuat umar tak percaya dengan penjagaan nya sendiri. Ketakutan yang membuat umar menjadi protektif kepada syfa, meski syfa sudah menginjak umur di angka dua puluh satu ketakutan itu tak pernah hilang. Malah semakin menjadi.

Assyfa nurrul ummaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang