2. Pahlawan Cendol✅

687 188 65
                                    

HELLO READERS

SELAMAT MEMBACA

^_^

GRIZ POV

Kegiatan rutin ku sehabis pulang sekolah adalah berjualan, lantas sekarang bagaimana bisa aku berjualan setelah semua cendolku hancur dan modalku lenyap. Aku tidak tahu, apakah ini karena ulah laki-laki tak bertanggung jawab itu, atau ulah semesta yang sedang mengujiku?


“TOLONG!”

Saat tiba di persimpangan jalan aku mendengar seseorang sedang membutuhkan bantuan, aku mencoba meyakinkan kalau aku tidak salah dengar.

“TOLONG SAYA!”


Untuk kedua kalinya, namun kali ini terdengar lebih jelas kalau sumber suaranya berasal dari arah gang depan yang biasa aku lalui ketika berangkat sekolah. Memang, kata banyak orang gang itu sepi dan rawan jambret, tetapi aneh, bukannya aku tidak percaya mereka, karena semenjak aku menginjak kaki di gang itu bahkan setiap hari aku melintasinya, aku tidak pernah merasakan apa yang mereka katakan.

Mungkin si Jambret tahu kalau aku tidak memiliki apa yang mereka incar, atau mungkin semesta sedang melindungi ku? Andai saja aku bisa menyadarkan si Jambret itu kalau hal yang dia perbuat telah membuat orang-orang yang melintas gang itu bergelut dengan ketakutan, sudah pasti aku lakukan agar mereka tidak dirundungi rasa takut lagi.

Setiba di depan gang, aku melihat seorang perempuan paruh baya tengah berusaha menyelamatkan sebuah tas nya yang sedang di rebut oleh si Jambret.

“TOLONG SAYA! TOLONG” teriak perempuan itu seraya memeluk erat tas nya .

“Serahkan tas itu!” titah si lelaki gondrong beranting di kedua telinganya.

BRAKK

Mereka yang tadinya saling berebut tas kini pandangannya tertuju ke arah ku yang sedang merobohkan sepeda.

“Tolong saya!” mohon perempuan itu kepadaku dengan nada memelas.

“Hei bocah! Gak usah sok jagoan Lo!” Si Jambret itu meremehkan aku.

“Anda mau ini?” tanyaku dengan mengangkat tas perempuan itu tepat di depan wajahnya.

“Serahkan tas itu!” titah si Jambret.

“Tidak semudah itu merebut barang milik orang lain,” kataku.

“Lo mau main-main sama gue?” Si Jambret itu menantang ku.

“Remeh sekali Anda melawan perempuan,” aku pun ikut tertantang.

Prokk ... Prokk ... Prokk ...

Si Jambret itu bukannya melawanku melainkan malah bertepuk tangan.

“Lo kalau mau ngelawan gue, urus dulu tuh muka! Jijik tau gak!” hina si Jambret itu.

Jujur, relung hatiku ingin berteriak, perih kian menyambar mengiris luka yang kian mendalam. Aku berusaha tersenyum, untuk meyakinkan kalau aku tegar dan tidak mudah digoyahkan hanya karena ucapan.

DIARY MY ACNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang