Bagian 1

1.5K 196 70
                                    

Sejak kecil, mereka biasa memanggilku Ra. R-A. Hanya 2 huruf itu.

Penghujung musim penghujan di usia kelima belas ini, banyak orang yang menyimpulkan bahwa aku depresi. Entah darimana pernyataan itu berdasar. Mungkin karena aku jarang keluar rumah –kecuali untuk hal yang penting seperti sekolah, hanya bergelung di tempat tidur, bolak-balik membaca buku yang sama, jarang makan, hingga menghabiskan cukup banyak waktu luang yang berlimpah untuk berbincang dalam ketiadaan. Sibuk akan berbagai pertanyaan.

Bunda memilih mendiamkan anak gadisnya, begitupun ayah. Kakak hanya menoleh selintas kemudian berlalu melanjutkan aktivitasnya –bermain basket dengan anak tetangga karena bosan menjahiliku. Mungkin hanya adik perempuanku yang masih bersedia menemani dalam lamunan. Jemari mungilnya asyik menggambar banyak coretan abstrak, yang kadang kubalas dengan senyum tipis. Lain halnya dengan reaksi tetangga, guru dan teman sekolah, mereka justru menatap cemas dan kasihan seolah memang semenyedihkan itulah kenyataannya.

Berkali-kali mereka datang mengunjungi rumah besar kami di kawasan lereng utara, mengetuk pintu, memanggil namaku. Kadang aku yang membukakan pintu, sekedar tersenyum hambar mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Namun biasanya bunda atau ayah yang sering membukakan pintu, ikut menjelaskan banyak hal. Termasuk fakta bahwa anak gadis mereka sedang mengalami masa-masa sulit dalam fase beranjak remaja. Krisis eksistensi, pencarian jati diri atau semacamnya. kedua saudaraku pun sesekali membantu penjelasan kepada penduduk kota, membela tiap kali di luar rumah.

"Ra memang sedang dalam kondisi yang menyedihkan –eh dia dari dulu memang menyedihkan sih. Maksudku remaja empat belas tahun mana yang bahkan pernah melakukan sesi kontemplasi mengenai betapa tidak signifikannya manusia dalam skala kosmis?" Kakak menyeringai jahil begitu menjelaskan. Menambahi bumbu-bumbu cerita. Melebih-lebihkan. "Paling sebentar lagi kembali seperti semula."

Ah, orang-orang juga tak akan pernah paham urusan ini. Mereka tetap datang walau kami tak pernah membukakan pintu lagi. Tetap memanggil namaku dari luar pagar. Satu dua kali mereka datang dengan wajah simpatik dan peduli, mengetuk pintu dengan ramah. Tiga empat kali justru datang dengan seruan kasar, berusaha mendobrak pintu paksa. Entahlah bagaimana ayah bisa mengusir mereka –mengingat aku hanya bergelung di balik selimut setiap kali semuanya terjadi.

Seminggu berlangsung cepat dan syukurlah bahwa orang-orang itu tak datang kembali. Mungkin mereka mulai bosan karena kami tak pernah lagi membukakan pintu. Lama waktu berselang, Kabar burung tak mengenakkan justru mulai menyebar dari mulut kotor penduduk kota. Entah siapa yang memulainya, kini praduga bercampur dusta telah dianggap sebagai wajah kebenaran. kebenaran untuk menghakimi urusan keluarga kami.

Penghakiman atas diriku yang menyedihkan.

Kami memutuskan membatukan diri dari gunjingan mereka. Tak peduli. Berusaha tetap menjalani kehidupan dengan normal. Kehidupan normal yang hanya kujalani di siang hari, seperti pergi ke sekolah atau membeli keperluan di kota. Namun lagi-lagi, semua orang tetap menatapku penuh kasihan dan sinis. Memulai bisik-bisik itu. Kabar dusta yang menyakitkan. Aku melengos tidak peduli tiap kali perbincangan tersebut dimulai, menyumpal telinga dengan sepasang earphone lantas berlarian pergi.

Dunia ini memuakkan.

"Jika terlalu berada di titik jauh, kau tak akan bisa kembail, Ra. Akan ada banyak hal hilang dari masa kini yang akan disesali" Bunda mencoba menasehati. Tersenyum lembut. Malam itu semangkuk bubur hangat tersaji di meja kamarku. Sepotong bulan bungkuk yang gompal mengintip dari balik jendela kamar.

Aku tetap tak bergeming, memilih untuk menyantap separuh isi mangkuk dengan lahap. Bunda hanya menghela napas berat, kembali fokus membersihkan kamarku yang tak terawat. Onggokan baju kumal dan tiga tumpuk buku yang menggunung di sudut kamar –sisa hasil kontemplasi tanpa hasil pasti. Malam itu adalah malam kesekian dari pengasinganku, Bunda kembali gagal. Tapi beliau tak pernah menyerah demi buah hatinya, berharap semua masa sulit akan segera usai.

Nasehat itu tidaklah salah, mungkin aku yang salah. Tak pernah serius mendengarkannya. Sibuk dengan duniaku sendiri. Bukankah bunda juga sering mengatakannya? terkadang imajinasiku terlalu aktif hingga aku sering terjebak sendiri di dalamnya.

Malam berikutnya hampir sama seperti sebelumnya. Aku kembali menghabiskan waktu sendirian. Sendirian di bawah guyuran shower kamar mandi tanpa sehelai benang pun sembari memejamkan mata. Menikmati tiap tetes terpaan benda cair bening itu. Menghantam ujung rambut, menganak sungai diantara kulit, lantas luruh menuju ubin putih yang basah. Dingin. Dingin air ini telah menjadi kawan bermainku. Buncah tetesannya menemani kala sepi menghantui. Merekalah yang berusaha memenuhi seluruh guncangan itu dan meredakannya. Guncangan ribuan memori yang berada dalam kepalaku.

Kelopak mata ini terbuka perlahan, menyajikan bayangan wajah gadis berkulit putih pucat dengan iris hijau gelap dari balik cermin buram. Juga rambut hitam panjang tergerai basah. Sebuah pantulan sempurna wajah tirus seorang pesakitan. Tanpa ekspresi. Pucat pasi seolah tak bernyawa. Tak ada apapun disana selain kehampaan. Seolah aku adalah cangkang kosong yang memantulkan suara-suara menyedihkan.

Kedua pasang mata kini saling menatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya kepalan tanganku kasar menghajar cermin itu hingga hancur sebagian di detik berikutnya.

Pecahan kaca remuk berguguran dengan iringan teriakan sakit yang tertahan.

Sial, tanganku berdarah. Perih sekali. Rekah luka bersambut semburat cairan merah kental mengalir deras dari pembuluh darahku bersama guyuran air. Keduanya menetes jatuh. Menyatu menjadi sebuah genangan berwarna merah keruh di atas ubin putih. Rasa perih ini biasanya membantuku menghilangkan semua rasa sesak yang muncul, memindahkan sakit luka yang tidak nyata menjadi lebih nyata –secara fisik. Tidak, sekarang pun masih belum cukup sakit.

Disela seringai ringgis, mataku kembali berkejaran melirik cermin buram yang gompal. Sudah tidak ada lagi pantulan wajah di sana. Aku menyeringai makin lebar, sedikit lega. Syukurlah, rasa muak yang sejenak menyergap mendadak sirna. Rasa muak melihat gadis dari balik cermin masih hidup. Aku benci melihat wajahnya. Benci pada diriku sendiri.

Seperti halnya yang pernah dikatakan ayah, "Terkadang Kehidupan hanyalah soal mencari pelarian, Ra. Semua orang selalu butuh itu."

Sial, aku sekarang amat menyukai kalimatnya. Jemariku yang penuh luka tanpa ragu segera mengambil pecahan cermin besar yang tercecer dilantai. Menggengam dengan erat-erat, tidak peduli bahwa pecahan itu melukai telapak tangan. Sedari dulu, ayah yakin bahwa anak gadisnya tidak bisa melakukan hal yang nekat hingga beliau berani mengatakan kalimat seperti itu. Tapi aku kini tahu, ayah telah menyulut api pada orang yang salah.

Lebih banyak darah yang akan tercecer malam ini. Semua harus berakhir.

***

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang