Patah

4 0 0
                                    

2020

"Apa yang ga pernah aku lakuin buat buktiin kalau aku selalu prioritasin kamu, No? Jawab aku, jangan diem aja!"

Gino menunduk, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Rasa menyesal menyeruak di dalam dadanya tapi otaknya tidak pernah berhenti memikirkan perempuan lain selain perempuan yang ada di depannya.

"Aku butuh jawaban yang pasti, No. Apa kamu masih punya perasaan sama aku? Atau kamu udah ga ada perasaan sama aku? Aku ga mau jawaban yang ga jelas."

"Aku ga tahu, Lun. Aku ga tau sama perasaan aku. Aku juga bingung harus gimana," Gino memegang kedua pundak Luna yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Ia seperti ingin memeluk tubuh Luna yang semakin lama semakin kurus dengan muka yang penuh dengan lebam. Tapi seperti ada yang menahan tubuhnya untuk tidak melakukan itu. "Kamu bilang waktu itu kita putus, kan? Tapi kamu harus inget kalau kamu masih Luna yang sama di mataku. Apapun itu aku bakal tetap ada buat kamu, aku akan bantu kamu sebisa aku. Tapi..."

"Udah, ga perlu lagi, No. Kamu bikin aku dan papa kecewa. Kenapa waktu itu kamu berjanji sama aku? Kenapa waktu itu kamu berjanji sama papa? Aku benci sama kamu, No. Pergi!!!"

Gino terkejut saat kepalan tangan Luna menghantam keras lukisan yang dibalut bingkai kaca besar yang menggantung tidak jauh dari tempat mereka berdua berdiri.

"Pergi, Gino. Pergi!" Ulang Luna sekali lagi sambil menjambak rambutnya. Darah segar dari ruas-ruas jarinya ikut mengalir di wajahnya yang sangat tirus.

Luna merasakan frustasi yang luar biasa. Kakinya lemas. Ia terduduk. Sedangkan Gino mundur melangkahkan kakinya ke arah pintu dan tidak menunggu lama, ia keluar dari rumah Luna. Campur aduk. Perasaan Gino campur aduk.

"ARGHHHHH!!!"

Luna berteriak lalu menoleh cepat ke arah sebuah foto keluarga yang menggantung tidak jauh dari tempatnya duduk, seolah ia sudah hapal dengan letak foto tersebut.

"Aku benci mama. Aku benci Gino!"

Seisi rumah yang dipenuhi dengan asisten rumah tangga tidak ada yang berani mendekati Luna. Mereka menatap Luna yang meraung sambil sesekali menatap pintu yang dilewati Gino dengan tatapan marah lalu menoleh ke arah Luna dengan tatapan iba.

1 menit
5 menit
10 menit
20 menit
30 menit

Luna masih berada di posisi yang sama dengan raungan yang sama. Pikirannya melayang ke sana ke mari. Rasa dendam, kecewa, sedih, patah, menyeruak di dalam dadanya. Membuat Luna kesulitan bernapas tapi ia seolah tidak kehabisan tenaga untuk berteriak dan menangis. Ia merutuki nasibnya yang seolah tidak menginginkannya berpijak di bumi.

***

Beberapa bulan kemudian masih sama bagi Luna. Rasa sakit yang ia rasakan sejak terakhir pertemuannya dengan Gino seakan tidak pernah berkurang sedikit pun. Ia masih sering menangis dan tidak pernah berhenti mengeluarkan sumpah serapah di dalam hatinya untuk Gino dan entah perempuan itu siapa yang telah membuatnya seperti hampir gila, membuat ayahnya ikut kecewa karena telah dijanjikan sesuatu yang berharga bagi mereka oleh Gino, yaitu Gino itu sendiri.

Sejak 3 tahun silam Luna menderita karena sakit yang dideritanya. Terlebih sakit yang diderita Luna adalah kesalahan ibu kandungnya sendiri. Sejak saat itu baik Luna dan ayahnya, merasa sangat kecewa.

Orang tua Luna telah lama bercerai. Luna sempat memilih untuk ikut tinggal bersama ibunya selama hampir 2 tahun dan selama itu Luna mendapatkan perlakuan yang tidak baik oleh ibunya dengan alasan Luna memiliki wajah yang mirip dengan ayahnya. Sampai suatu ketika ibunya tidak sengaja memukul Luna tepat di bagian kepala belakangnya yang menyebabkan Luna memiliki radang yang parah di pembuluh darah akibat penyempitan pembuluh darah. Pada akhirnya Luna diambil paksa oleh ayahnya dan tinggal sendirian di rumah ayahnya bersama para asisten rumah tangga yang merawat Luna sejak Luna tinggal di rumah tersebut. Meskipun begitu, Luna masih merasa kesepian karena harus terpisah lagi dengan ayahnya yang harus mengurus cabang perusahaannya di beberapa kota. Tapi, ia tetap memaklumi hal tersebut selagi ayahnya tidak pernah memutuskan komunikasi dengan Luna satu hari pun. Melihat wajah ayahnya melalui panggilan video pun sudah lebih dari cukup bagi Luna sebagai obat untuk mengurangi beban pikirannya.

Sampai suatu ketika Luna memperkenalkan Gino yang pada akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan ayah serta keluarganya, tidak terkecuali ibunya, meskipun terkesan lebih ke respon "terserah" saat mendengar Luna kini mengenalkan kekasihnya untuk yang pertamakalinya walaupun tidak secara langsung Luna perkenalkan kepada ibunya.

Sayangnya, hampir 2 tahun menjalani hubungan, selama itu beberapa kali Luna mendapati hal yang membuatnya merasa sangat dikhianati ketika beberapa kali Gino dipergoki olehnya tengah berkomunikasi dengan mantan-mantannya seolah Gino masih sangat nyaman dengan mereka dan sesekali Luna diabaikan oleh Gino.

Sampai suatu ketika semuanya benar-benar berakhir saat Gino memberikan alasan ingin fokus pada kuliah dan usaha yang ingin dia bangun padahal Luna sudah mengetahui semuanya. Hingga Gino akhirnya jujur bahwa ia memang sudah tidak memiliki perasaan kepada Luna sejak lama dan bertahan menjalani hubungan dengan Luna hanya karena sebatas "kasihan".

Sejak mengetahui hal tersebut, Luna semakin pendiam. "Mama—Gino", dua nama tersebut selalu menghantui pikirannya tiap detik. Bahkan melihat ayahnya pun sudah tidak bisa mengobati akalnya. Padahal, dulu wajah ayahnya sudah seperti obat bagi Luna sekali pun dilihatnya hanya dari layar ponsel saja.

"Lun, papa ingin kamu bangkit lagi. Papa udah pertimbangin sesuatu yang semoga saja bisa bikin kamu kembali punya harapan untuk semangat. Karena kamu satu-satunya harapan papa. Papa juga ingin kamu berhenti nyakitin diri sendiri."

Luna masih bergeming, tidak sedikit pun menoleh ke arah Ardian, ayahnya yang daritadi menatapnya dengan tatapan ikut hancur karena anaknya seperti patung yang diberi nyawa. Tubuh Luna sangat kaku dengan tatapan kosong.

"Tahun depan kamu akan jadi sarjana Ilmu Politik. Papa sadar kenapa dari awal tidak meng-iyakan keinginan kamu untuk jadi arsitek seperti papa dan lebih mengikuti kemauan mama kamu padahal dia sendiri tidak juga menghargai usaha kamu," tidak ada sahutan dari Luna. "Mungkin ini kesannya egois karena papa ingin kamu menambah studi kamu. Tapi papa ingin mewujudkan mimpi kamu."

Seolah sedikit menangkap maksud ayahnya, Luna masih diam dan menunggu lanjutan kalimat-kalimat ayahnya.

"Bagaimana kalau tahun ini papa daftarin kamu jurusan arsitek?" Ardian berucap dengan pelan dan hati-hati. "Tapi jangan tinggalin program studi kamu yang kemarin." Ardian menatap Luna dengan takut-takut. "Ya tapi kalau kamu ga mau, papa ga maksa, sayang. Nanti papa cariin alternatif lain aja biar mimpi kamu masih bisa kamu wujudin" Kali ini Ardian berbicata dengan cepat namun sedikit terbatah.

Hening. Luna tidak merespon sedikit pun.

Merasa tawarannya tidak berhasil, Ardian mengambil gelas di meja makan di sebelahnya yang masih terisi penuh air mineral. Saat hendak meneguk air, ia terkejut menangkap Luna yang menoleh ke arahnya dari ekor matanya dan semakin terkejut saat Luna akhirnya mengeluarkan satu kata yang membuat perasaannya sangat lega.

"Iya."

Setelah mengucapkan kata itu, Luna langsung berdiri meninggalkan ayahnya sendirian di ruang makan dan menaiki tangga menuju kamar tidurnya.

Selama menaiki tangga, pikiran Luna tentang ibunya dan Gino seolah sedikit terobati dan seperti kilatan cahaya, meskipun singkat, ia baru saja memikirkan suatu saat ia yang menjadi seorang arsitek.

"Ga ada yang bisa patahin mimpiku sekarang." Itu adalah kalimat terpanjang yang pertama kali diucapkan oleh Luna setelah sekian lama meskipun hanya di dalam hati.

Ardian yang masih di duduk di kursi makan tidak melepaskan tatapannya dari pundak anak sulungnya yang berjalan menaiki anak tangga. Perasaan yang sangat lega langsung dirasakannya. Di dalam hati, Ardian berjanji akan membahagiakan Luna sekali pun ia harus mempertaruhkan nyawa.

"Dia anakku, sangat mirip denganku." Ardian tersenyum menampilkan deretan gigi rapihnya hingga membuat kedua matanya menyipit.

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang