Menolak yang telah Mematahkan

1 0 0
                                    

2024

Sebuah honda jazz baru saja memasuki pekarangan rumah besar milik Ardian.

"Tolong masukin ke garasi," Luna memberikan kunci kepada salah satu satpam yang sudah membuntuti mobilnya sejak ia memasuki pagar rumah. Namun, mata Luna fokus menatap tiga deretan mobil yang terparkir di halaman rumahnya. Sebenarnya bukan hal baru, bisa saja kolega atau teman-teman ayahnya yang biasanya sering mampir ke rumah. Namun, sebuah mobil yang minggu lalu ia lihat lagi setelah beberapa tahun silam hadir di acara wisudanya, kini ia lihat lagi sedang terparkir di halaman rumahnya.

Dengan cepat Luna menaiki anak tangga terasnya dan langsung membuka pintu. Matanya menangkap papanya tengah berbincang dengan orang-orang yang sudah lama tidak ia lihat sejak ia memutuskan hubungannya dengan Gino. Hingga ekor matanya menangkap sosok Gino yang menatapnya dengan tatapan, entahlah, Luna juga tidak tahu artinya apa. Yang jelas, Luna menangkap ada tatapan penuh harap di mata Gino.

"Luna, kemari, nak." Merasakan ketegangan menyelimuti tubuh Luna, Ardian segera memecahkannya dengan mengulurkan tangan untuk disalami oleh Luna seperti biasa saat Luna baru tiba di rumah.

"Papa ga ke kantor?" Luna langsung menatap ayahnya, berusaha bersikap tenang meskipun perasaannya sedang kacau.

Ardian terlihat kikuk, "Papa lagi ga ada kerjaan di kantor. Makanya papa di rumah aja hari ini. Dan...kebetulan Gino sama keluarganya datang berkunjung ke rumah." Ardian menatap cemas Luna.

Luna hanya diam, tampak berpikir karena bingung harus memberikan respon apa.

"Kamu ganti baju, habis itu kita makan siang bareng." Seolah tahu situasinya, Ardian mempersilahkan Luna untuk masuk ke dalam kamarnya. Sebenarnya ia paham isi kepala anaknya tersebut. Begitu pun keluarga Gino dan Gino sendiri. Mereka memaklumi situasinya.

Tanpa menjawab kalimat ayahnya, Luna sesegera mungkin berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Perasaannya campur aduk.

"Ada apa ini, pa?" Pertanyaan itu berputar di kepalanya.

Tidak sampai 30 menit, Luna segera keluar dari kamarnya, menuruni tangga, dan berjalan menuju ke ruang tamu menghampiri ayahnya dan orang-orang di masa lalunya.

Bukan. Bukan semangat karena bertemu mereka. Namun, ia ingin sesegera mungkin mendapatkan jawaban untuk apa Gino dan keluarganya mendatangi rumahnya. Rasa khawatir menguasai kepala dan perasaannya.

Belum sempat Luna menduduki sofa di sebelah ayahnya, ibu Gino menghampiri Luna dan memeluknya dengan erat.

"Kamu sangat cantik. Sangat berubah, semakin kuat." Puji ibu Gino sambil mendekap tubuh Luna yang kini sudah berisi. Ia melepaskan dekapannya lalu menatap Luna dengan tatapan penuh maaf serta kagum.

Luna hanya tersenyum singkat.

"Ayo duduk, tante."

Tatapan mata keluarga Gino tidak pernah lepas dari Luna yang sangat berbeda dari beberapa tahun silam. Tidak berbeda dengan tatapan ibu Gino. Maaf dan kagum. Terkecuali Gino yang menunduk, seolah tengah asik berdebat dengan pikirannya sendiri.

"Sudah sangat lama kami ingin bertemu denganmu, nak." Kini ayah Gino membuka suara.

Lagi-lagi Luna hanya tersenyum sebagai formalitas. Sisanya Luna hanya menyimak obrolan para orang tua meskipun ia tidak sepenuhnya menyimak karena tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.

Sampai pada akhirnya salah satu asisten rumah tangga yang bekerja di rumah ayahnya menghampiri mereka dan menyampaikan bahwa makan siang telah siap.

"Mari kita makan siang dulu." Ayah Luna lebih dulu berdiri dan mempersilahkan keluarga Gino untuk ikut ke ruang makan.

Sepanjang makan siang, Luna tidak juga melontarkan sepatah kata pun. Tidak juga ada satu pun yang berani membuka pembicaraan dengan Luna seolah mereka mengerti situasi Luna saat ini.

Setelah jamuan makan siang tersebut, ayah Luna mengajak keluarga Luna untuk bersantai di halaman belakang rumahnya.

"Gino."

Luna akhirnya mengeluarkan suara, membuat semuanya yang awalnya hendak bangun dari kursi makan masing-masing, terdiam.

"Boleh kan Luna ngobrol sama Gino?" Luna mengupayakan sebuah senyuman, seolah semua baik-baik saja dan langsung dibalas anggukan oleh semua orang di ruang makan tersebut, terkecuali Gino yang masih mematung.

Luna mengajak Gino ke taman kecil di halaman depan rumahnya. Tentu saja Luna berjalan duluan, seolah sengaja mempercepat langkahnya agar ada jarak yang jauh antara dia dengan Gino.

Sesampainya di taman, Luna tidak tunggu lama lagi. Ia langsung memberikan satu pertanyaan yang berhasil membuat perasaan Gino campur aduk, yang jelas perasaan takut selalu menghantuinya sejak Luna meminta untuk berbicara berdua dengannya.

"Kenapa kalian datang kemari?"

Gino masih takut dengan respon Luna jika ia menjelaskan tujuannya dan keluarganya mendatangi rumah ayah Luna. Tapi, mau tidak mau, Luna juga pasti akan tahu tujuan mereka datang untuk apa.

Gino memperbaiki posisi duduknya dan berusaha mengatur napasnya yang tidak ia sadari sedari tadi sangat berat ia keluarkan. "Aku menyesal," Gino menunduk, menatap rumput hijau di bawahnya. Sampai pada akhirnya dia memberanikan diri menoleh ke kanan, mencoba menatap Luna yang ternyata sedari tadi sudah menatapnya lebih dulu dengan tatapan yang sangat dingin. "Aku—"

"Aku berpikir sudah tidak ada penyesalan dan meninggalkanku tidak akan pernah menjadi penyesalan untukmu, No."

Gino kembali menunduk. Ia terkejut Luna berbicara dengan kalimat yang panjang. Lebih terkejutnya lagi, jantungnya berdegup sangat kencang saat mendengar suara Luna meskipun tidak seperti beberapa tahun yang lalu. Dingin, kaku, tidak bersahabat. Itu adalah gambaran suara Luna yang sekarang. Gino maklum.

Terdengar Luna menghela napas dan Gino merasakan gadis di sampingnya itu sedang mencoba rileks dengan menyenderkan punggungnya pada senderan kursi besi yang mereka duduki di pinggir taman.

"Kau tahu?" Terdengar Luna sedikit mengeluarkan kekehan. "Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak mencintai siapa-siapa lagi," Luna memejamkan matanya, terlihat seperti mencoba menerawang sesuatu. "Awalnya aku berpikir ini akan berjalan sama seperti apa yang sering orang-orang katakan padaku sejak dulu sampai sekarang bahwa aku akan kembali mencintai ketika semuanya sudah membaik." Luna menjelaskan dengan sangat lancar.

Hening. Gino masih menunduk cemas.

"Ternyata tidak."

Sontak Gino mengangkat wajahnya, menatap Luna yang kini tengah menatap langit. Beruntung mereka di tempat yang teduh. Gino melihat raut wajah Luna yang keras dan tegas namun tetap berseri saat beberapa cahaya yang masuk melalui celah-celah daun pohon yang entah pohon apa itu, menyorot wajah Luna.

Luna menoleh, membalas tatapan Gino, dan menatap kedua mata Gino masih dengan tatapan yang tidak dapat dibaca oleh Gino.

"Mencintai sudah tidak ada lagi di opsi yang akan aku lakuin selama aku hidup di dunia ini."

Seolah dihujam ratusan peluru, dada Gino sesak. Apakah perasaan ini yang dirasakan oleh Luna saat itu? Ah tidak. Pasti lebih sakit dari apa yang aku rasakan saat ini. Batin Gino. Matanya masih tetap mencari sosok Luna yang dulu di dalam mata Luna. Sayangnya gagal. Luna terlalu sulit di baca, Luna yang ada di depannya saat ini sudah sangat jauh berbeda.

"Aku pernah memprioritaskan orang yang aku cintai karena menghargai dia yang pernah berjanji padaku, berjanji kepada papa juga kalau dia akan menemaniku. Sayangnya cinta ternyata yang lagi-lagi bikin aku sama papa kecewa," Jelas Luna. "Sebenarnya aku tidak begitu masalah dengan niat orang tersebut yang hanya ingin mempermainkan aku dan bersembunyi di balik kata 'kasihan' saja. Tapi, perasaan papa yang kala itu ikut kecewa adalah masalah besar buat aku." Ekspresi Luna begitu keras dan sangat menekankan kata 'kasihan' di dalam kalimat panjangnya tadi.

Perasaan yang sangat sangat sangat bersalah langsung saja menyelimuti Gino. Ia mengutuk dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang