Masa mencari jati diri

8 1 0
                                    

Hijrahku ( Mengerjar Cintamu)
Bagian dua.

Pemandangan yang Indah, hembusan angin sepoi- sepoi. Itulah gambaran tentang kampung halamanku. Dusun citawaru adalah kampung tempat tinggalku, disana belum terjamah sama sekali jalan aspal. Jalanan masih berbatu, masih tanah. Jika hujan datang, jalanan akan licin. Namun hal itu tidak, menyuluhkan semangat ku untuk belajar.
Pagi ini seperti biasa, ibu membangunkan ku. Aku adalah sulung dari dua bersaudara, aku mempuyai adik bernama Hasan. Kami berdua selisih tiga tahun, saat ini aku masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar. Sedangkan Hasan ia masih sekolah taman kanak kanak.

"Dian bangun sudah pagi," ucap ibu sambil mengguncang badanku.

"Hem, iya bentar lagi bu."

Ku lihat ibu membuka horden jedela kamarku, membuat sinar matahari masuk. Pantulan sinar matahari di kaca jendela, membuat mataku silau. Aku beranjak bangun dan bergegas mandi, ku lihat adikku Hasan sudah duduk di kursi meja makan. Ayahku adalah seorang petani sayur terbesar di kampung, aku besar di keluarga berkecukupan. Hanya saja tempat tinggal kami, yang masih jauh dari kota. Setelah selesai mandi dan memakai baju, ibu mengikat rambutku. Kata ibu rambut adalah mahkota seorang wanita, setiap hari ibu mengikat kucir kuda rambutku.

"Wes awan Ndo, ndang maem," perintah bapak.

"Ngiih pak."

Seperti biasa, setiap pagi aku diantar sekolah oleh anak buah bapak, mobil pick up berwarna hitam menjadi teman setiaku juga Hasan.

"Mbak Dian, ayo berangkat?" tanya seorang pekerja bapak.

"Iya lek, sebentar ya nunggu Hasan."

Hasan menghampiriku dengan nafas tersenggal-senggal.

"Ayo mbak, nanti telat."

Aku dan Hasan bergegas masuk ke dalam mobil pickup. Di sepanjang jalan kami di suguhi pemandangan yang indah, hamparan sayuran yang di tamani oleh warga di sepanjang pinggiran jalan.

Jarak dari rumah menuju sekolah, lumayan jauh. Butuh waktu 25 menit tiba di sekolah, sesampainya disekolah. Langsung saja aku berlari masuk kelas, dikelas ku tak banyak murid. Hanya ada 24 siswa. Dua belas siswa laki-laki, dua belas siswi perempuan. Aku duduk di bangku paling belakang, bersama temanku Nacita dia adalah anak seorang guru disekolah ini.

"Cantik sekali kamu Di," goda Nacita.

"Berisik, nanti gak ku kasih contekan lagi mau?"

"Gak deh, bercanda, ampun kalau sudah gitu."

Tak lama bu Rita wali kelasku masuk, beliau membagikan kertas berisi lembar soal untuk ujian. Karena hari ini kami melaksanakan ujian kenaikan kelas, aku mengerjakannya dengan teliti. Aku ingin mendapat ranking satu lagi, setelah semester kemarin posisi ku lengser digantikan oleh Ardi.

Satu minggu setelah ujian kenaikan kelas, aku mendapat surat dari wali kelasku. Surat itu di tujukan untuk ibuku, ibu Maryam.

Surat itu berisi perihal pengambilan raport. Yang di wajibkan wali murid yang datang ke sekolahan. Sementara kami, hanya di rumah menunggu hasil nilai raport kami.
Ku tunggu ibu di depan pintu, berharap apa yang aku inginkan terkabul. Ibu turun dari mobil sedan yang di kemudikan Bapak. Ibu mendekati lalu memelukku begitu juga dengan Bapak.

"Bapak, bangga padamu Ndo," ucap Bapak sambil memelukku.

Aku tak sabar melihat hasil raportku, ibu memberikan buku raport kepadaku, dengan cepat aku membuka raport itu. Hasilnya Alhamdulilah, ternyata apa yang ku inginkan terkabul juga. Aku mendapat peringkat pertama di kelas, ibu dan bapak tak henti-hentinya melempar senyum. Aku merasa bahagia bisa membuat bapak dan ibu bangga.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Waktu terasa cepat berlalu, kini aku Diandra maulana sudah bukan anak kecil lagi. Sekarang umurku sudah enam belas tahun, namun aku masih tetap yang dulu, masih tetap ranking pertama di kelas

Hari ini bapak mengantarku pulang kembali ke kota, aku bersekolah dikota yang jaraknya jauh dari rumah. Bapak sengaja mendafatrkanku di sekolah negri dengan standar internasional. Beliau ingin agar aku menjadi, wanita yang sukses dan mandiri.

"Mbak, hidup dikota enak engga?" tanya Hasan sambil melahap roti bakar kesukaanya.

"Enak lah, apa-apa dekat."

"Boleh Hasan, main ke kosan mbk?"

"Boleh, nanti kapan- kapan ikut pak lek Maryo ya, kalau beliau jemput Mbak."

"Oke mbak."

Kini adikku sudah besar, badannya sudah tak berisi lagi. Mungkin karna ia sekarang, atlet basket, wajahnya pun sudah berubah. Wajah Hasan mirip wajah ibu, mempuyai lesung pipi dan gigi gingsul.

Hasan mendekatiku lalu menyalami tanganku.

"Hati-hati ya mbak, be careful," ucapnya.

"Gaya," kataku lalu mengelus rambut hitamnya.

"Ayo Diandra berangkat," ajak Bapak.

"Baik pak."

Aku berlalu meninggalkan Hasan, ternyata ibu sudah menunggu di depan teras rumah.

"Bu Diandra pamit ya bu,"

"Hati-hati ya nak, sekolah yang benar. Buat Bapak dan Ibu bangga," tutur Ibu.

Aku menggangukan kepala, terlihat bapak sudah berada didalam mobil. Aku segera menyusul bapak, masuk ke dalam mobil tak lama mobil berjalan meninggalkan halaman rumah. Terlihat Ibu melambaikan tangan ke arahku.

Sesampainya di kosan, ada seorang lelaki duduk di depan pintu bu Ratih. Ibu pemilik kos, aku segera turun dari mobil begitu juga dengan bapak.

Bersambung....





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hijrahku (Mengejar Cintamu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang