Prolog

22 3 0
                                    

“Siska, lo disuruh Jehian ke lapangan upacara sekarang.”

Kedua lengan Siska yang memegang sebuah bola basket dan hendak dijulurkan ke atas agar masuk ke dalam ring otomatis terhenti di udara. Kepalanya meneleng ke belakang sebelum menarik kembali posisi tangannya ke samping tubuh dan menghadap tepat di depan Meyta. Siswi kelas XI IPS 4 yang baru saja memberikan informasi padanya.

“Ngapain Jehian manggil gue?” tanya Siska datar. Dilemparkannya bola basket tersebut pada Ratu, selaku teman sekelas sekaligus anggota timnya pada penilaian olahraga bola basket satu jam lalu—sigap menangkap bolanya.

“Kayaknya karena masalah lo di kantin tadi sama adik kelas, Sis,” balas Meyta. “Gue dengar Jehian marah karena lo tadi udah bentak adik kelas di muka umum.”

Dengkusan keras terdengar saat Siska merasa tidak terima dengan kebenaran itu. “Siapa suruh dia nyiram es jeruk ke muka gue dengan alasan nggak sengaja? Apa itu nalar menurut lo?”

Gelengan tanpa jawaban dari Meyta menjadi penutup bagi Siska ketika gadis itu mulai jengah dan melangkah pergi dari gedung indoor lapangan bola basket. Meskipun, meninggalkan rasa penasaran kawan-kawannya akan apa yang dilakukan Jehian nanti, Siska tetap melangkah mantap. Dinginnya aura yang terpancar dari wajah Siska memberi sinyal buruk bagi sebagian besar siswa di sepanjang koridor.

Tiga meter dari kejauhan, Siska sudah mampu menangkap sosok lelaki yang telah berdiri membelakangi dan menghadap tiang bendera upacara. Tangan kanannya terkepal di balik punggung dengan pergelangannya dipegang erat oleh tangan kiri. Seperti kebiasaan sang Ketua Osis itu saat memimpin barisan upacara. Namun, pijakan kaki Siska yang kesepuluh terpaksa diam di tempat kala netranya memicing. Menyadari ada suatu hal yang berbeda dari Jehian.

“Jehian,” panggil Siska pelan. Akan tetapi, yang dipanggil sama sekali tidak bergerak. Mengapa Jehian merangkap jadi patung tiang bendera begini?

Perlahan Siska mengangkat lengan kanannya untuk terulur menyentuh bahu Jehian, tetapi gadis itu justru nyaris terjengkang di atas rerumputan lapangan sebelum ia merasakan ada dua orang yang menahan tubuhnya. Sepasang matanya terpejam walau Siska sudah menyadari ia tidak jatuh ke atas tanah hijau itu.

“Sis, buka mata lo.”

Perintah salah seorang di dekat Siska langsung membuat gadis itu menurut. Dalam posisi tubuh yang masih disangga, bayangan kepala seseorang menutupi pancaran sinar mentari yang menyengat wajah Siska. Sepasang netra coklat itu memicing, berupaya menangkap dengan jelas rupa seseorang yang ia yakini seorang lelaki.

“Hai.”

Dalam satu tarikan lengan yang mengejutkan, Siska nyaris mengumpat saat tubuhnya masuk ke dalam rengkuhan erat lelaki di hadapannya. Hanya membutuhkan beberapa detik, detakan jantung milik gadis itu bekerja keras. Siska tidak yakin kalau debaran itu hanya berlaku untuk dirinya saja saat lelaki yang merangkumnya mulai melonggarkan pelukan dan tersenyum padanya. Bulatan matanya yang kecil membelalak lebar ketika lelaki itu mengusap pelan rambutnya.

Sementara riuh suara ratusan siswa kompak memberi siulan, teriakan menggoda dari gedung lantai tiga, dua, satu, bahkan di lapangan langsung memenuhi pendengaran keduanya. Dan lelaki itu semakin memperlihatkan lesung pipinya.

“Gue belum bilang apa-apa tapi ekspresi lo udah mewakilkan banget,” kata lelaki itu seraya tersenyum lebar. Tangannya yang semula berada di puncak kepala Siska berpindah tempat untuk memegang lengan gadis itu.

Kerjapan mata Siska kian menjadi kala tatapan Haezer Chandra Bhayangkara tertuju lekat padanya. “Ada apa?” Namun, berusaha menetralkan suaranya yang gugup dengan menelengkan kepala ke samping.

Di satu sisi, Chandra mengembuskan napas panjangnya sekali lagi, semua penonton menunggu penuh harap akan kalimat yang hendak terlontar dari bibir sang Ketua Klub Basket Handsome Tiger itu.

“Gue suka sama lo, Sis.”

Lima detik. Waktu yang dibutuhkan Chandra untuk mengumpulkan kegugupannya saat pernyataan sakral itu ia umumkan di depan ratusan siswa SMA Eternal. Sepuluh detik. Waktu yang dibutuhkan Siska untuk mencerna maksud ucapan Chandra.

Suka? Chandra, suka padanya?

Apa Siska tengah bermimpi karena semalaman terlalu larut menonton drakor Exo Next Door yang diperankan oleh Chanyeol dan kawan-kawan?

“Dan … Ayo kita pacaran!”

Lapangan upacara yang menjadi sentral dari ketiga gedung MIPA, IPS, dan Bahasa itu langsung ricuh diisi oleh teriakan menggoda yang membahana dan kalimat provokasi.
Kini hanya dua jawaban yang harus Siska pilih.

“Tapi sebelumnya, lo tadi yang berdiri di sana,” tunjuk Siska pada posisi dimana ia kira Jehian berdiri tadi. “bukan Jehian?”

Chandra menggeleng pelan. “Bukan juga. Cuma orang suruhan gue.”

Mata Siska melotot. “Lo gila? Padahal, gue udah siap debat sama dia kalo Jehian beneran yang manggil gue.”

“Karena lo.” Sambil mendorong pelan tubuh Siska tanpa melepaskan pegangan pada lengan atasnya, Chandra tersenyum simpul. “Bisa aja sih gue suruh dia ngajak debat lo dulu, tapi gue sayang aja. Takutnya lo darah tinggi dan gue gagal pacaran.”

Siska terhenyak. Meskipun begitu, ucapan Chandra sukses membuatnya diam-diam kalang kabut. “Ngaco! Gue punya riwayat darah rendah ya.”

“Oh gitu. Ya udah besok kalo lo jadi pacar gue, bakal gue bikin ngambek terus.”

“Lo udah nggak waras, Chan.”
Mendapati gelengan prihatin dan tatapan polos Siska, Chandra tertawa renyah. “Yang penting lo nggak sakit karena tingkah aneh gue.”

“Lebay!” Tanpa disadari Siska seutas senyum melengkung di bibirnya.

Hingga perlakuan tiba-tiba Chandra yang menggamit jari-jemarinya spontan membuat Siska bingung dan menghentikan langkah. “Eh kenapa gue digandeng?”

“Sekarang gue udah nggak butuh jawaban iya lo. Seenggaknya gue udah tau kalo lo nyaman sama gue.”

Sejak saat itu, Siska tak lagi mengelak. Entah kemana Chandra membawa ia pergi.

—TO BE CONTINUED—

Couple SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang