I

11 0 0
                                    

Cicit burung pagi itu tidak kedengaran merdu sama sekali bagi penghuni rumah kumuh yang di dalamnya sesak oleh jerit-jerit kesakitan. Tidak jelas berapa banyak luka yang tertoreh di sana, sebab bentuk dan jumlahnya memang bukan apa yang bisa di kalkulasi-kelewat banyak sampai kalau di rasa sakitnya sudah nyaris biasa. Ada pemuda yang menahan tangis waktu dihujami tendangan bertubi-tubi di perut. Sebetulnya, pemicu sedih dan tangisnya bukan perkara tendangan yang dilayangkan tanpa henti itu, tapi si pelaku yang tidak lain adalah ayahnya sendiri.

Felix-lelaki malang itu namanya Felix. Pemuda yang hidup mlarat dengan sang ayah yang kini tak pantas mendapat panggilan ayah. Sebab, sejak kematian ibunya pada lima tahun yang lalu, ayahnya depresi berat. Malam-malamnya cuma dihabiskan dengan minum-minum, lalu kalau ia sampai rumah, ia mulai mengacau dan pukuli anak lelaki semata wayangnya itu. Padahal Felix tidak punya salah apa-apa 'kan?

"DASAR BAJINGAN TENGIK TAK TAHU DIUNTUNG!" Pria paruh baya itu berhenti menendang perut Felix, malah berlalu pergi setelah menggebrak keras pintu rumah.

Felix merintih sakit. Liquid bening diam-diam turun dari dwinetranya dan sebabkan surih tak beraturan di pipi kanan kiri Felix. Telapak tangannya diberanikan untuk menyentuh perut yang terasa sakit di sana sini. informan waktu di dinding berdetak dan bicara tanpa suara--- mengundang kuriositas Felix pada presensi jarum panjang dan pendeknya, serta arti dari kombinasi keduanya---jam delapan kurang seperempat. Felix harusnya sudah ada di sekolah kalau tidak mau telat, sebab jarak rumahnya ke sekolah itu tidak dekat, apalagi Felix cuma punya waktu tiga puluh menit buat sampai ke sekolahnya. Felix baru menduduki bangku kelas sepuluh beberapa bulan lalu, jadi harusnya Felix tidak boleh sering telat begini 'kan?

Felix merangkak meraih ransel hitam yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Badannya terasa sakit bukan main waktu dipaksa berdiri. Kaki Felix pincang karena baru saja kemarin di tendang habis-habisan oleh ayahnya. Kalau mau dikatakan sejujurnya, Felix merasa lebih baik mengistirahatkan daksanya di rumah. Sebab mau ditinjau dari sisi mana pun, fisik dan mental Felix tidak pernah seperti anak-anak seusianya yang siap menerima pelajaran di sekolah. Felix kacau dan kesakitan saban hari. Namun, kalau Felix bolos, maka ia akan kecewakan mendiang ibunya yang selalu mengutamakan pendidikan Felix.

Felix menyeret tungkai kembarnya sampai ke luar rumah, sampai ke pedestrian di pinggir bulevar yang ramai oleh kendaraan lalu lalang. Tangan kanannya merogoh saku celana, mencari dompet usang hadiah dari ibunya sebelum beliau meninggal. Ditarik lembaran-lembaran uang tunai yang jumlahnya cuma sedikit dari sana. Lantas pemuda ia diam sambil tatap uangnya. Kira-kira kalau cuma segitu, bisa untuk naik bus tidak, ya?

Felix menghela napas panjang. Bulan ini pengeluarannya sudah cukup banyak. Felix juga tidak mungkin meminta pada ayahnya. Jadi opsi untuk berlari sampai sekolah adalah yang dipilih oleh pemuda itu. Tidak masalah kalau Felix harus lari berpuluh-puluh kilometer atau beratus-ratus kilometer sekalipun---Felix tidak tahu pasti berapa kilo jarak ke sekolahnya---yang penting ia masih bisa sampai ke sekolah sekalipun telat, dan uangnya juga masih bisa untuk bertahan hidup sampai akhir bulan. Tungkainya dipacu lebih cepat, dipaksa tetap menopang tubuhnya sambil pijaki tanah dengan kuat kendati napasnya terengah, keringatnya sudah keluar sebiji-biji semangka, sampai paru-parunya menyerah mengolah oksigen. Felix rasanya sekarat, tapi ia tidak bisa berhenti kalau belum sampai sekolah.

Sampai waktu arlojinya menjerit tanpa suara pada Felix, bilang kalau sudah pukul setengah sembilan, barulah telapak kaki Felix resmi jejaki depan gerbang sekolahnya yang tertutup rapat. Felix memutar arah, niatnya mau menuju tembok belakang sekolah yang biasa ia gunakan untuk masuk kalau sudah kadung telat begini.

"Hei, kau mau ke mana?" Sebuah suara dari belakang Felix jadi satu-satunya yang sanggup menghentikan langkah pemuda itu.

Felix balikkan badannya, dapati seorang pria berpakaian rapih berdiri di hadapannya-sepertinya guru, tapi Felix belum pernah lihat, atau mungkin cuma ia yang kurang perhatian pada sekitar?

SERENITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang