III

0 0 0
                                    

Suara sirine ambulan siang itu benar-benar memekakkan telinga. Namun, tidak dapat mengusir rasa penasaran si pemuda bersurai madu itu. Sebab objek pengamatan utamannya kali ini adalah si gadis ketus yang beberapa menit lalu menolak ajakan berteman dengannya.

Felix mengedarkan pandangan disekitarnya. Tidak ada seorang pun selain dirinya dan Falla. Aneh, dari pengalaman yang sudah-sudah—terutama disekolah lamanya, sekolah akan gempar dengan adanya ambulan disekolah. Mereka semua akan datang dan meramaikan suasana dengan bisikan-bisikan pertanyaan yang dilontarkan masing-masing. Namun berbeda dengan sekolah barunya ini, seolah-olah ambulan adalah angin lalu yang kapanpun bisa saja datang.

"Fal—"

Ketika Felix mencoba untuk memanggil Falla, gadis itu malah berlalu tanpa menatapnya barang sekejap pun. Merasa penasaran, ia akhirnya mengikuti gadis itu dari belakang. Kenapa gadis ini sungguh menimbulkan tanda tanya besar dalam pikirannya? Padahal ia baru saja memulai hari di sekolah ini. Padahal ia baru mengenal gadis itu hanya beberapa menit, tapi ia tidak dapat membendung rasa penasarannya. Terlebih lagi gadis itu berjalan cepat dengan tangan yang mengepal? Kulit wajah putih saljunya memerah seperti menahan amarah. Siapa orang dalam keadaan normal berjalan dengan gaya seperti itu?

Falla masuk kembali kedalam kelas. Tidak ada yang mencurigakan. Namun ketika Felix memutuskan untuk ikut masuk, langkahnya stagnan diambang pintu.

Kelas ini normal, semua orang melakukan kegiatan mereka masing-masing, terkecuali Falla. Kedua tangannya menarik kerah seorang gadis yang Felix ketahui bernama Grace—yang tentunya merupakan teman sekelasnya.

Felix bingung dengan keadaan kelas ini, kenapa semua orang begitu tenang ketika kedua rekan mereka melakukan aksi yang tidak wajar dilakukan sebagai seorang teman? Felix memang pernah menemui dan merasakan kondisi seperti ini. Ketika ia diganggu, semua mata tertuju padanya—menatap iba kendati tak ada niat untuk menolongnya. Sementara yang ia temui sekarang, semua orang sama sekali tidak menoleh sedikitpun.

"Puas kau!" seru Falla tepat diwajah Grace yang nampak tenang.

Mata gadis itu menunjukkan kilatan-kilatan amarah, giginya bergemeletuk kencang, mimiknya seolah-olah bersiap akan memakan lawan tatapnya kali ini. Felix tidak tahu betul, tapi untuk memisahkan mereka, ia memilih untuk angkat tangan. Sebab ia baru saja mulai, ia sama sekali belum mengerti apa yang ia lihat, ia tidak ingin mengulang kehidupan yang sama seperti sebelumnya, kasarnya ia tidak ingin kembali menjadi siswa tak terlihat yang merunduk dan melutut pada sesamanya.

Ini masih terlalu dini untuk ikut campur, tapi ia sama sekali belum mengerti apa masalah diantara dua siswi tersebut. Apa yang menyebabkan Falla begitu menaruh tatapan kebencian pada seorang yang sempurna seperti Grace.

"Of course, kau sudah tahu jawabannya," jawab Grace santai kemudian terkekeh. Kedua tangannya melambai meminta dua orang dibelakangnya ikut terkekeh.

Mata Falla membulat, rahangnya mengeras, gadis itu mencengkeram lebih kuat lagi kerah seragam itu—menarik untuk mengikir jarak diantara keduanya. Saat kedua orang dibelakang Grace mencoba untuk melepas cengkeraman itu, Grace malah melambai untuk melarang mereka. Apa ini? Dua orang itu—Dave dan Freya—adalah kacungnya?

"Apa salah Livy padamu, ha?" tanya Falla lagi dengan nada penekanan yang teramat dalam.

'Livy? Siapa Livy?'

"Kau pikir? Harusnya kau tahu peraturan pasal satu Serenity. Jangan mencoba mengganggu jika tidak ingin diganggu. Sahabat bodohmu itu, dia sudah bersedia menggantikan si bodoh Jane sebagai siswa terkucil. Lagi, aku juga sudah muak melihat wajah naifnya, kenapa aku tidak menghancurkannya saja."

Falla menggigit bibirnya kuat-kuat, tangannya terangkat—mengambil ancang-ancang untuk menampar pipi gadis tidak tahu diri yang tepat berada dihadapannya. Felix mengambil langkah untuk masuk kedalam kelas, tapi tangannya dicekal oleh gadis yang duduk di pojok depan.

SERENITY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang