Neraka Untuk Ratih

205 8 0
                                    

Pernikahan Mas Haris dan Mbak Ratih akhirnya benar-benar diadakan. Aku menyambut semua itu dengan tertawa dibalik kesedihan. Ternyata rencana ini sudah dipersiapkan dengan cermat dan matang. Ucapan permintaan maaf Mas Haris tempo hari hanyalah bualan semata.

Bisa kulihat dengan jelas raut wajahnya yang sumringah saat melewatkan acara akad nikah keduanya dengan Mbak Ratih. Dia sama sekali tidak tampak merasa bersalah. Dia bahkan sama sekali tidak melirikku yang memutuskan untuk hadir di acara pernikahannya.

Mas Haris seakan menemukan kembali cinta yang sempat hilang dari hidupnya. Binar matanya berseri-seri penuh bahagia. Aku bahkan tidak ingat, apakah dia sebahagia ini saat menikah denganku dulu.

Mereka kemudian memutuskan pergi bulan madu ke Lombok. Keputusan yang membuatku jengkel setengah mati. Aku jelas-jelas cemburu, selain itu, biaya perjalanan mereka tentu saja menggunakan uangku. Kutahan rasa sakit di dalam dada, kuberikan mereka senyum terbaik agar segalanya berjalan lancar.

Selama seminggu mereka pergi berlibur, selama itu juga aku terjaga setiap malam. Otak dan nuraniku berdebat sengit, aku memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Rasa sakit dan kecewa akibat keputusan suamiku telah menumbuhkan sebuah perasaan baru di hatiku. Perasaan yang ketulusannya tidak lagi murni.

Mas Haris bisa hidup bahagia dengan pilihannya, lantas kenapa aku harus mengubur diri dalam duka?

Rasanya tidak adil jika aku hanya menerima tanpa memutuskan untuk berbuat sesuatu. Aku bukan lagi Reina yang polos. Mataku tidak lagi memandang segala hal dengan penuh ketulusan, karena ada sesuatu di dalam diriku telah rusak parah.

"Terserah Papa," jawabku cuek saat Mas Haris mengutarakan niatnya untuk mengajak Mbak Ratih tinggal satu atap denganku.

"Terimakasih, Ma," timpal Mas Haris dengan raut wajah cerah. "Papa akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian, karena kalian adalah jiwa raga Papa."

Aku menanggapinya dengan gedikan bahu. Terlalu malas berbasa-basi dengan kalimat-kalimat penuh kepalsuan. Menjijikkan. Itu bukanlah bagian dari gaya hidupku.

Kemudian Mbak Ratih datang dengan kedua anaknya. Aku menikmati sorot kekaguman mereka akan kemegahan rumahku. Aku mendecih sinis saat perempuan itu menggamit lengan Mas Haris, namun sedetik kamudian aku kembali memasang wajah datar.

"Ya ampun, Reina, Malik masih berumur satu tahun, dia belum membutuhkan kamar sendiri," protes Mbak Ratih padaku saat aku menolak anak-anak mereka menempati kamar di lantai atas.

"Barang-barang Malik cukup banyak, makanya dia memerlukan kamar sendiri," jawabku kemudian.

"Tapi Malik masih bayi, Rei. Sebaiknya dia tidur bersamamu," bujuk Mbak Ratih lagi. "Sedangkan Delia dan Diana sudah besar, mereka harus punya kamar sendiri," ujar Mbak Ratih mencoba meruntuhkan pertahananku.

Aku menggeleng tegas. "Di bawah masih ada dua kamar kosong."

Mbak Ratih tampak keberatan dengan usulanku. "Aku ingin kamarku berdekatan dengan mereka."

Bibirnya maju sepanjang lima senti, wajahnya dibuat sesedih mungkin. Mas Haris mungkin akan luluh melihatnya, tapi aku tidak. Maaf saja, ya.

"Kalau begitu silakan Mbak Ratih tempati kamar di lantai bawah bersama mereka."

Mata maduku itu mendelik tidak terima. Ia baru saja akan melontarkan kata-kata penolakan, namun Mas Haris langsung menengahi kami.

"Sudahlah, Reina. Biar Malik tidur di kamar kita, ya," bujuk Mas Haris dengan suara lembut. Wajahnya memohon kepadaku agar mengabulkan keinginan mereka.

Aku menggeleng tegas. "Aku tidak akan mengalah di rumahku sendiri. My home, my rules! Kalau Mbak Ratih nggak suka, aku tidak memaksanya untuk tinggal di sini," jawabku dengan suara dan ekspresi yang begitu dingin.

Mas Haris mengusap wajahnya, ia kalah telak. Sementara Mbak Ratih tampak jengkel saat melihat suaminya takluk dibawah keangkuhanku.

Ketika Mbak Ratih mulai tinggal di rumahku, hal pertama yang kulakukan adalah memecat asisten rumah tangga dan hanya mempekerjakan baby sitter paruh waktu untuk menjaga Malik.

"Kenapa para pembantu dipecat, sih?" keluh Mbak Ratih saat ia harus menyiapkan sendiri makan malam untuk anak-anaknya. Ia menatapku berulang kali seolah meminta jawaban.

"Terserah aku, dong," jawabku kalem.

"Ya nggak bisa gitu, dong Rei. Jangan seenaknya main pecat-pecat aja," protes Mbak Ratih lagi. Wajahnya tampak keberatan sekaligus kesal karena harus mengerjakan segala sesuatu sendiri.

"Aku yang membayar gajinya, mau kupecat atau kuangkat jadi saudara tidak ada yang bisa melarang," jawabku tanpa bisa menahan nada ketus.

Mbak Ratih menghela napas sejenak. "Kalau begini 'kan repot. Padahal sudah enak pakai pembantu, ada yang beresin kerjaan, malah dipecat."

Aku menahan tawa melihatnya bersungut-sungut kesal. "Kalau mau pakai pembantu, ya sudah, nanti kutelpon lagi agennya. Tapi Mbak Ratih yang harus membayar gaji beserta tunjangannya."

"Hah? Aku?" Mbak Ratih menunjuk wajahnya sendiri.

"Memangnya siapa yang mengeluh dan membutuhkan pembantu?" tanyaku sambil menatapnya dengan alis terangkat.

"Masa aku yang harus bayar gaji pembantu, kamu 'kan tahu sendiri kalau aku tidak bekerja," jawab Mbak Ratih dengan jujur.

"Nah, itu dia!" cetusku secara tiba-tiba.

Kuletakkan cangkir tehku dengan sedikit hentakan. Lalu aku berjalan mendekati perempuan yang kini jadi maduku. Aku bersedekap di hadapannya yang terlihat jauh lebih pendek dariku. Mbak Ratih tertegun sejenak, bola matanya yang coklat menatapku tanpa kedip.

Dengan ujung jari yang terangkat lentik, kusingkirkan rambut yang jatuh di wajahnya. "Jangan berpikir bahwa dengan menikahi Mas Haris kamu akan menjadi nyonya di rumah ini," ucapku pelan.

Mata Mbak Ratih menyorotku dengan begitu terkejut dan juga waspada.

"Kamu masuk ke sini tanpa membawa apa-apa, jadi jangan berharap bahwa kita akan berada di lwvel yang setara," uajrku penuh penekanan.

"A-apa maksudmu?" tanya Mbak Ratih dengan suara yang tergagap. Ia mendongak, menatapku tajam. Embusan napasnya yang cepat dan tidak beraturan sampai ke wajahku.

"Aku paham kenapa kau bersikeras mengajak Mas Haris menikah lagi. Aku bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti alasanmu menjadikan anak-anak sebagai tumbal keegoisanmu." Kunikmati wajah Mbak Ratih yang perlahan berubah pucat.

"Dulu kau menggugat cerai suamimu karena dia adalah laki-laki berpenghasilan minim yang tidak mampu memenuhi gaya hidupmu yang berlebihan. Sekarang ketika dia sudah mulai menapaki hidup dengan cara yang lebih baik, kau rela menjadi duri di dalam pernikahanku. Apa kau pikir aku akan mengalah terhadap perempuan licik sepertimu?"

Mata Mbak Ratih sedikit memicing, namun menatapku begitu sengit. Aku tahu dia sedang mengalami gejolak batin akibat ucapanku barusan. Namun ia memilih untuk bungkam karena tidak tahu harus menjawab apa.

Aku tersenyum manis, akan tetapi wajah Mbak Ratih semakin tegang. Oh, ternyata aku tahu bagaimana cara mengintimidasi hanya dengan sebuah senyuman.

Aku sedikit menunduk untuk membisikkan sesuatu tepat di telinganya.

"Selamat datang di neraka, maduku sayang."

****

E G O I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang