CHAPTER 5

9 1 0
                                    

Aku...

Kehilanganmu.

Hampir seminggu berlalu aku tidak ada kontak sama sekali dengan Arkana. Hampir seminggu pula demamku tidak berangsur sembuh. Tetapi aku paksakan hari ini untuk bersekolah, tentu saja dengan diantar-jemput oleh Nala. Dia dengan sabar mendampingiku, tubuhku masih terasa lemas dan kepalaku sangat sakit. Tetapi karena hari ini ada ujian maka aku paksakan untuk masuk. Aku melewati ujian itu dengan lancar meskipun harus merasakan sakit di kepalaku, aku menjawab seluruh pertanyaan dengan baik tanpa kesulitan. Sebelum pulang aku menyempatkan mampir ke sanggar tari, aku rindu.

"Lalita! Kok kamu masuk? Bukannya kamu masih sakit ya?" sapa kak Reni ketua klub tari yang ternyata ada di sanggar.

"Ah iya kak memang masih sakit.. tapi aku paksain hari ini buat masuk, kan ada ujian hehe."

"Oh begitu.. yaudah sini kamu duduk dulu aku buatin teh ya."

"Makasih kak."

"Tapi tadi kamu kesini bareng siapa?" tanya kak Reni sambil memberiku segelas teh hangat.

"Aku sama Nala kak. Nanti pulang bareng sama dia juga."

"Bagus deh kalo ada temennya.. kalo gak ada temen aku bisa juga anterin." Kak Reni tersenyum.

"Ta pulang yuk udah jam segini." Kepala Nala menyembul dibalik pintu sanggar mengajakku pulang. Akupun mengiyakan ajakannya, karena aku semakin lemas.

"Kak aku pulang dulu ya." Pamitku ke Kak Reni.

"Iya Lalita.. cepet sembuh ya biar bisa nari lagi!" kak Reni menyemangatiku dan menepuk pundakku. Aku membalasnya dengan senyuman lalu aku dan Nala mulai meninggalkan sanggar. Aku berjalan menunduk sambil memandangi kaki, aku terlalu pusing untuk melihat kedepan. Namun tiba-tiba ada yang menghentikan langkahku. Kaki itu, aku mengenalnya. Sangat mengenalnya.

"Kamu sakit?" tanya Arkana.

***

Aku berbaring di kasur dan Arkana yang menungguiku di pinggiran kasur. Oiya, aku berakhir pulang dengan diantar Arkana, Nala pun mengiyakan. Di sepanjang jalan aku hanya bersandar pada punggungnya karena aku merasa sangat pusing. Sesampainya di rumah pun dia menuntunku berjalan hingga sampai di kamar. Dia membuatkanku teh dan bubur, dengan bantuan mama. Aku sangat bersyukur memilikinya, perhatiannya tidak ada duanya bahkan melebihi mama. Dengan sabar dia menyuapiku agar aku mau memakan bubur itu sampai habis. Tapi aku harus bangun dari mimpi ini, mimpi kalau Arkana milikku, mimpi kalau ternyata dia juga menyayangiku seperti aku menyayanginya. Dia hanya kasihan padaku.

"Kamu kenapa bisa sampai sakit gini sih?" aku tidak menjawab pertanyaan Arkana dan hanya diam memandangi sepasang kakiku. "Ta..."

"Aku cuma kecapekan kok mas."

"Badan kamu seminggu ini panas terus? Ini aja masih panas. Kamu udah ke dokter belum?" kata Arkana panjang lebar dengan tangannya yang memegang dahiku.

"Udah.. kata dokter aku gapapa. Cuma kecapekan dan kebanyakan pikiran."

"Kamu mikir apa sih?"

Ingin rasanya aku menjawab "Mikirin kamu tau!" tapi yang keluar dari mulutku adalah "Mikirin ujian, hehe."

"Kamu bohong. Kamu mikirin aku kan?" oke, persembunyianku gagal. "Kamu pasti udah denger kalo aku jadian sama Dewi." Aku diam sambil menunggunya melanjutkan ceritanya. "Lalita maaf.. maaf kalo aku sampai bikin kamu kayak gini. Aku enggak jadian sama Dewi, itu cuma gosip anak-anak. Jangan sampai pikiran ini ganggu ujian kamu dan hasilnya kamu bakal masuk IPS. Kamu maunya IPA kan?" sekolahku memang dari awal belum ada penjurusan, tapi penjurusan diadakan ketika kenaikan kelas 11.

Angkasa MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang