Pemecut

26 0 0
                                    

Tuhan seperti sedang mengganti apa yang seharusnya aku terima dari sekian tahun yang lalu. Kehidupanku kini bejalan dengan sangat teratur dan penuh dengan kebahagiaan. Semua pekerjaan dan pembelajaran di masjid berjalan dengan lancar.

Tahun berganti tahun, kini aku bukan lagi anak gelandangan yang kumal. Aku telah tumbuh menjadi remaja penuh semangat dan selalu ingin belajar. Pak Ustadz tidak hanya mengajariku tentang ilmu agama tetapi juga beberapa pelajaran umum termasuk ilmu sosial. Aku sebenarnya tidak begitu tertarik dengan ilmu tentang bagaimana kita sebaiknya berperilaku sosial. Pelajaran tentang hal itu selalu sukses megingatkanku dengan kehidupanku yang kelam dulu dan sikap orang-orang terhadap gelandangan sepertiku. Semua itu masih terngiang di kepalaku. Setiap Pak Ustadz menerangkan dan memberi wejangan tentang hal itu aku hanya pura-pura memahaminya, setidaknya aku harus menunjukan rasa hormatku kepada beliau.

Malam itu, selasa malam, seperti biasa setelah selesai shalat isya' aku merapikan alat shalat yang baru saja dipakai, setelah selesai, aku ke pos depan untuk membantu menjaga penitipan barang sembari bercakap dengan Bang Mursyid, salah satu pekerja di masjid ini. Masjid ini merupakan salah satu tempat ikonik di kota ini sehingga selain sebagai tempat ibadah, masjid ini menjadi tempat wisata reliji. Turis-turis dari dalam maupun luar kota selalu ramai berdatangan ke sini.

Bang Mursyid bekerja di tempat penitipan barang, biasanya dia bertugas dari sore hingga pukul 10 malam, kerja paruh waktu dia bilang. Bang Mursyid masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas di kota ini. Pagi-sore dia selalu menghabiskan waktunya di kampus dan sore-malam selalu bertugas di masjid ini.

Aku selalu menyempatkan diri bercakap dengannya. Selalu ku tanyakan padanya tentang kehidupan kampus dan Bang Mursyid selalu menceritakan semuannya dengan penuh semangat dan terdengar sangat menarik. Tanpa ku sadari semua itu ikut membangkitkan jiwaku untuk menempuh pendidikan formal di luar sana.

Teman dari berbagai kalangan, pakaian sekolah yang rapi, deretan buku-buku di perpustakaan yang lengkap dengan berbagai tema. Aku berangan-angan bisa duduk di bangku sekolah dan menggali potensi dalam diriku.

“Kapan-kapan akan ku ajak kau ke kampusku, biar kau ini tidak cuma membayangkan apa yang kuceritakan ini, tapi kau juga tahu benar kampus itu seperti apa. Siapa tau kelak kau bisa kuliah seperti aku ini. Nanti kumintakan izin ke Pak Ustadz,” tawar Bang Mursyid yang begitu mengiurkan dan berhasil menyulut semangatku. Ya, siapa tau nasib orang. Buktinya dulu aku gelandangan yang setiap malam harus beralaskan beton kota yang keras, tapi kini selalu ada kasur empuk yang tersedia untukku sepanjang hari.

“Siap, Bang…,” jawabku penuh semangat.

Aku dulu sering berkelana di luar sana, mekipun aku berjalan tanpa arah dan tujuan. Aku yang sekarang lebih sering menghabiskan waktuku dengan segala pekerjaan dan pembelajaran di dalam masjid ini. Sesekali aku memang diberi kesempatan untuk keluar, seperti tadi pagi aku baru saja dari pasar dengan Mas Hanafi untuk membeli kebutuhan pokok. Disela-sela perjalananku keluar dari masjid aku selalu mencuri pandang ke dunia luar yang dulu setiap hari ku tapaki.

Gedung-gedung yang tampak membelah langit, jalanan-jalanan yang menggores bumi, hilir mudik manusia dan mobil. Semua itu mengingatkanku tentang kehidupan anak kecil penjelajah kota yang kini justru jarang menapaki dunia luar. Suatu saat aku akan mengejar mimpi-mimpiku di luar sana lagi. Aku belum berani megutarakan keinginanku ini kepada Pak Ustadz.

Aku ingat wejangan Bang Mursyid, “kau harus tau pemenang sesungguhnya itu ya yang berani mengambil langkah untuk mewujudkan mimpi-mimpinya.” Itu juga yang membawa Mas Mursyid berani menempuh pendidikan dan merantau dari pelosok desa ke kota besar.

Jam di dinding menunjukan pukul 21.55. Lima menit lagi masjid akan tutup. Aku bergegas pergi dari tempat penitipan barang untuk berkeliling masjid memperingatkan pengunjung yang masih ada di dalam masjid untuk segera keluar, karena masjid akan tutup. Setelah aku menyelesaikan semua tugasku, aku ke kamar tidurku. Ketika memasuki kamar aku melihat Mas Hanafi sedang menata pakaiannya untuk dikemas ke dalam koper. Awalnya aku tidak kaget karena biasanya Mas Hanafi menemani Pak Ustadz bila beliau ada jadwal kajian di dalam maupun luar kota.

“Mau ke luar kota lagi Mas?” tanyaku.

“Bukan ke luar kota, Li, tapi ke luar negri,” jawab Mas Hanafi dengan sumringah sembari meninjukan paspor bergambar burung garuda pada ku. 

Mataku terbelalak mendengar jawabannya, tapi kemudian aku bisa kembali mengembalikan kesadaranku. “Mungkin Pak Ustadz ada jadwal megisi kajian di luar negri dan seperti biasa Mas Hanafi harus medampinginya,” fikirku.

“Wah kemana Mas? Berarti kalian akan pergi cukup lama? Pantas saja bawa koper, biasanya cuma bawa tas punggung.”

“Aku pergi sendiri, Li. Tidak dengan Pak Ustadz,” jawaban itu sukses membuatku mengerutkan kening.

Mas Hanafi nampaknya menangkap kebingunganku ini, ”Alhamdulillah, Li. Aku diberi kesempatan untuk belajar ilmu agama lebih dalam lagi di tanah Arab. Ya memang bukan pendidikan formal, tapi Alhamdulillah. Teman Pak Ustadz dari Arab yang memberiku kesempatan ini.

Jiwaku seperti tersambar petir mendengar cerita Mas Hanafi. Bukan karena aku iri dengan Mas Hanafi. Dia memang pantas mendapatkan semua itu. Dia tangan kanan Pak Ustadz, kontribusinya sangat besar, mungkin dihari yang akan datang dia akan menjadi penerus Pak Ustadz dan dia sedang bersiap dan dipersiapkan untuk itu, entah mas Hanafi menyadarinya atau tidak. Semoga berhasil, Mas.

Semangatku dipecut dengan kisah mas Hanafi. Siapa tahu nasib seseorang yang kita harus lakukan hanyalah terus berdoa dan berusaha, nanti Tuhan yang menyediakan tempat itu, Dia tidak akan pernah mengingkari janji-Nya.

“Tapi sebenarnya apa mimpiku? Pergi keluar dari sini? Menjadi gelandangan lagi? Tak bersyukurkah aku dengan apa yang ku dapat selama ini? Tapi, bagaimana dengan pencarian ku terhadap ibuku? Apa yang akan dan harus ku lakukan?” Semua pertanyaan tentang masa depanku terus berputar dikepalaku dan sukses menyulitkanku memejamkan kedua mataku malam itu.

Sebuah PerjalananWhere stories live. Discover now