Tiket untuk Mimpi-mimpiku

13 0 0
                                    

Kamis siang ini setelah shalat dan makan siang, aku beristirahat sebentar di kamarku. Ku baringkan tubuh ini diatas kasur sambil kubaca buku pemberian Mas Hanafi sehari sebelum dia pergi ke Arab untuk menimba ilmu agama. Benar kata Mas Hanafi, buku ini buku ajaib dan sukses membakar semangatku. ‘Ya mustahillah mengharapkan hasil yang berbeda, jika aku tak bergerak, oleh karena itu aku harus berani mengubah hidupku,’ salah satu kalimat yang  kukutipan dari buku Paris Je Reviendrai, Aku kan Kembali karya Alijullah Hasan Jusuf. Aku tidak bisa seperti ini terus, aku harus bergerak, mimpi-mimpiku sudah terlalu lama menunggu. Untuk saat ini tujuan yang ingin segera ku raih yaitu pendidikan, entahlah ini keputusan yang tepat atau tidak, tapi aku punya keyakinan kalau pendidikan akan memberiku jalan yang terbuka lebar untuk menggapai mimpi-mimpiku yang lain.

Siang itu aku tenggelam dalam buku, hingga tak menyadari jam sudah menunjukan pukul 13.40, padahal jam 13.00 aku ada jadwal pembelajaran rutin dengan Pak Ustadz. Aku segera mengambil bukuku dan bergegas ke ruangan Pak Ustadz. Ku ketok pintu ruangan beliau dan segera masuk setelah terdengar jawaban mempersilahkan dari si empu ruangan itu.

“Assalamu’alaikum, Pak Ustadz. Maaf Ali terlambat.”

“Wa’alaikumsalam Wr. Wb, Li. Tidak Biasanya kamu terlambat. Biasanya selalu semangat kalau mau belajar.”

“Maaf pak. Ali masih dan akan selalu semangat belajar pak, hanya saja tadi Ali terlalu asik baca buku pemberian Mas Hanafi sampai Ali lupa waktu.”

“Ya sudah, ayo kita mulai saja tinggal sisa waktu satu jam.”

Aku belajar mengenai ilmu alam hari ini, sebenarnya aku sedikit kaget dengan materi pembelajaran hari ini karena menurut jadwal hari ini harusnya aku belajar sejarah islam, bahkan aku sudah membawa buku Sejarah Dunia Versi Islam karya Tamim Ansari, Pak Ustadz yang memberikan buku ini. Jadwal belajarku itu hari senin dan selasa materi pengetahuan umum, rabu sampai jumat materi yang berkaitan dengan islam, sedangkan sabtu dan minggu aku diberi kebebasan memanfaatkan waktuku untuk kegiatan lain, tidak ada pembelajaran dari Pak Ustadz pada hari itu.

Jam dinding menunjukan pukul 14.30, kami mengakhiri pembelajaran hari ini, karena harus bersiap untuk shalat.

“Ali, ini ada buku untukmu, pelajarilah,” Pak Ustadz memberikan sebuah buku.

“Sukses Ujian Nasional SMP,” ku baca judul buku itu. Dahiku berkerut lalu ku pandang Pak Ustadz, menuntut penjelasan.

“Bersiaplah sekitar 1 bulan lagi ada ujian kejar paket B. Itu ujian setara dengan Ujian Nasional SMP, kalau kamu bisa lulus ujian itu, kamu bisa daftar SMA di sekolah umum,” jelas Pak Ustadz.

Aku terpaku mendengar semua itu. Tuhan mendengarkan dan memberi jalan atas doa-doaku. Akhirnya setelah bertahun-tahun aku akan mengenyam pendidikan formal. Aku tidak boleh menyia-nyiakan ujian kejar paket B ini. Ini kesempatan besar yang diberikan kepadaku. Ayo, Ali pasti bisa.

“Alhamdulillah, terimakasih Pak Ustadz,” kusalami dan kucium tangan beliau sebagai bentuk terimakasihku, saat ini hanya itu yang bisa ku lakukan. Mataku berkaca-kaca menahan tangis kebahagiaan ini, tapi kemudian aku tersadar akan satu masalah yang selama ini menghalang-halangi langkahku untuk memperoleh pendidikan formal, identitas resmiku.

“Tapi bagaimana dengan segala urusan terkait identitas saya, pak? Bukankah saya belum bisa bersekolah sampai data diri saya tercatat di catatan sipil?”

“Semua sudah beres, Li,” jawab Pak Ustadz diiringi senyum yang menenangkan hatiku.

Beberapa minggu yang lalu sebenarnya aku telah mengisi formulir yang di berikan Pak Ustadz. Formulir itu terkait berkas-berkas yang diperlukan untuk megurus pencatatan data diriku secara resmi dan diakui oleh pemerintah. Setelah aku menyerahkan formulir itu aku tidak pernah menerima kabar baik terkait hal itu. Beberapa kali aku sempat menanyakannya namun Pak Ustadz hanya menjawab, “Sabar ya, Li. Kita tunggu saja.” Hari ini, akhirnya kabar baik itu kudengar. Tentu aku sangat senang, ini sudah lama kutunggu, lega rasanya. Setalah 15 tahun menjadi penduduk gelap di negeri sendiri akhirnya status kewarganegaraanku sudah resmi.

“Bersyukurlah dan tetap semangat untuk terus belajar. Ingat kamu hanya punya waktu satu bulan untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian itu.”

“Baik, pak. Ali tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, Ali pasti lulus,” tekadku.

Gerbang kesuksesan itu sudah tampak di depan mataku. Aku hanya perlu berusaha untuk mendorongnya, membukanya atau jika itu tak bisa kulakukan aku bisa memanjatnya. Aku tidak akan pernah berhenti bergerak hingga akhirnya aku berkenalan dengan sesuatu yang namanya ‘kesuksesan’ yang ada di balik gerbang itu.

************************************

“Bang Mursyid, lihat ini,” ku tunjukan buku pemberian Pak Ustadz.

Setelah shalat, aku ke tempat penitipan barang menemui Bang Mursyid. Aku sudah meminta maaf padanya terkait ulahku saat di kampusnya. Tentu dia memaafkanku dan untungnya dia tidak mengadukan hal itu ke Pak Ustadz.

“Hah, kau mau ujian?” Bang Mursyid tampak terkejut.

“Iya, bang. Kejar Paket B, lalu lanjut SMA atau SMK, belum ku putuskan.”

“Hahaha, tercapai juga mimpi kau.”

“Belum, bang. Aku harus lulus ujian ini bang, kalau tidak lulus ya aku tidak bisa lanjut SMA/SMK yang artinya aku tidak akan pernah kuliah. Jadi bang, Tolong ajari aku materi untuk menghadapi ujian ini,” pintaku.

“tenang-tenang, abang akan ajari. Setiap hari selepas shalat isya’ kau kemarilah, OK.”

“Siap, bang. Makasih.”

Setelah hari itu, sesuai janji Bang Mursyid, setiap malam dia menjadi tutorku untuk mengajariku materi-materi ujian, selain itu aku juga belajar mandiri yang biasanya kulakukan sebelum shalat subuh. Aku bekerja keras dalam mempersiapkan diri, tapi rasa lelahku akan segera terbayar dengan nyatanya mimpi-mimpiku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 29, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Sebuah PerjalananWhere stories live. Discover now