Final (?)

2.7K 274 82
                                    

Let's get this bread.

Happy reading.

.
.

Aku segera mendekati Jimin, memeriksa keadaannya. Dia harus segera keluar dari kamar jahanam ini. "Tunggu sebentar, Jimin. Hyung akan menolongmu," aku berkata lirih di hadapannya. Tanganku bergerak cepat mengancing kemejanya.

Untungnya hanya kemeja yang terbuka, celana hitamnya masih tertutup rapat. Semoga si brengsek itu belum sempat bertindak lebih jauh.

"Kau bisa berjalan?" tanyaku. Dia hanya mengangguk. Aku memapah Jimin yang lemas, menolongnya berdiri.

Sebelum keluar kamar, aku memberi peringatan keras kepada Andy, "Kau beruntung bahwa aku sudah berjanji untuk tidak melaporkanmu ke polisi. Tapi bila sampai terjadi sesuatu pada Jimin, kujamin kau akan sangat menyesal."

Aku memandangnya jijik. Kedua tangannya terangkat dalam gestur menyerah, tapi sama sekali tidak ada ketulusan di wajahnya. Senyum miringnya bahkan masih melekat.

Kami berjalan keluar kamar, lambat tapi pasti. Setelah agak jauh, aku berkata lembut di telinganya, "Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit?"

Dia menggeleng.

"Apakah dia menyentuhmu?" suaraku semakin lirih. Aku sangat takut mendengar jawabannya, tapi bagaimanapun aku harus bertanya. Please, semoga belum terlambat.

Dia menggeleng lagi. Syukurlah, syukurlah.

Selangkah demi selangkah kami kembali ke kamar kami, sepanjang jalan Jimin tidak banyak bicara. Namun begitu pintu kamar ditutup perangai Jimin berubah drastis.

"Hyung...." wajahnya memerah dan matanya menggelap. Tiba-tiba dia memelukku sangat erat.

"Tenang, Jimin, kau sudah selamat," aku mengelus punggungnya.

Tapi ada yang aneh, dia terus merangsek, memelukku sambil mendorong sampai aku terdesak ke tembok. "Hyung...." dia menempelkan bibirnya ke leher dan rahangku, memberikan kecupan kupu-kupu di sana.

Brengsek, apa yang si keparat itu berikan kepada Jimin? Mendadak Jimin menjadi sangat bernafsu, dia memaksa menciumku. Aku terus menghindar, tapi bibirnya terus mengejar bibirku. Malahan kini dia mulai menggesekkan selangkangannya ke pahaku.

"Jimin...hhh... Stop!" aku berteriak di sela-sela kecupannya. Tapi Jimin bagai tuli, dia masih terus menyerangku dengan ganas. Berat badannya dipakai untuk memerangkap tubuhku ke tembok, jemarinya kini membuka paksa kancing bajuku, sementara dia makin gencar menggesek-gesek kemaluannya.

Susah payah aku berhasil meletakkan tanganku di dadanya, aku mendorong dia sedikit keras karena takut dia terluka. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang.

Bukannya berhenti, dia malah kian kesetanan. Sekarang bajunya yang dia buka paksa, kancing berhamburan karena gerakannya sangat tergesa. Sekejap kemudian jemarinya sudah membuka ikat pinggang dan celananya, sebentar saja Jimin sudah telanjang menyisakan boxer hitam. Ereksinya terlihat jelas.

"Hentikan, Jimin. Kumohon," teriakku. Dia pasti akan sangat menyesali perbuatannya ketika dia sadar nanti.

"Aku sangat menginginkanmu, Hyung," jeritnya, "Kenapa kau tidak menginginkan aku?"

Tolonglah, aku amat menginginkan Jimin. Tubuhnya begitu sempurna, kulit putih bersih, otot perut yang tercetak samar, bokong bulat berisi penuh. Tapi bukan begini caranya, tidak bila Jimin dalam pengaruh obat perangsang sialan itu.

Tangan kecil itu sudah akan menarik satu-satunya penutup tubuh yang masih ada. Aku berjalan mendekatinya, untuk mencegah perbuatannya. Tapi Jimin malah memelukku, dia mendekapku dan berjalan mundur mendekati tempat tidur.

Travelling Buddy - COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang