Selang beberapa hari dari kecelakaan yang dialami Drian, cowok itu sudah masuk sekolah. Kembali pada aktivitas awalnya sebelum kejadian itu terjadi, kecuali perbedaan pada fisik yang dialaminya yaitu bekas luka yang belum hilang.
Dan segala hal yang terjadi juga tak membuatnya trauma untuk menaiki motor. Namun sayangnya kejadian kemarin mengharuskan motornya menginap di dalam bengkel bekas akibat goresan-goresan parah yang diterima dari pepetan habisnya pada sebuah truk. Dan tentu saja cowok itu harus berangkat sekolah bareng dengan papanya. Dan mengharuskan dirinya bangun lebih pagi karena mereka tidak satu arah.
Drian mendesah frustasi mengingat bahwa motornya di bengkel, dia berangkat bareng dengan papanya, dan nanti sore… entah ia akan pulang sekolah naik apa. Drian tak yakin Tian mau dengan senang hati memboncengnya pulang nanti, apa lagi cowok ini juga tahu Tian selalu pulang bareng Naya.
Tapi, kalo Tian naik mobil….
“Sep, lo bawa motor atau mobil?”
Tian menaikkan sebelah alis. “Motor.”
Drian medesah lagi. Alamat nggak akan dapet tebengan deh.
Tian melirik sekilas Drian, terkekeh melihat wajah ditekuknya Drian. ia menyelesaikan diri melepas seragam dengan badge Garda-nya, sebelum mengganti dengan seragam olahraga. “Kenapa lo?”
“Kenapa,” decak Drian mengulang. “Mau nebeng lah, nggak bawa motor.”
“Lah motor lo kemana?”
“Bengkel,” jawab Drian singkat.
Tian mengucap kata ‘oh’ pelan. “Ya… kalo mau nebeng sama gue sih… lo kan tau—“
“Iya gue tau lo bareng sama Naya,” potong Drian.
Tian nyengir. “Tuh tau. Ya masa iya kita bonceng tiga,” ucapnya, Tian tertawa pelan membayangkan kalau saja mereka benar-benar bonceng tiga. Pastinya bakal disorakin satu sekolah!
Drian mengangkut seragamnya dari atas meja ruang ganti. “Udah ayo keluar ah,” ajaknya, sebelum akhirnya mereka berdua keluar dari ruang ganti ke lapangan utama sekolah.
-o-
Lima anak berlari mengitari lapangan yang luas itu. Sementar sang guru duduk di kursi pinggir lapangan sambil menghitung menit yang dicapai setiap murid. Sampai pada Lusa yang selesai pertama dibandingkan teman-teman cewek sesuai absen yang berlari bersamanya.
Lusa berlari pelan dengan napas tersendat-sendat menghampiri kursi pinggir lapangan yang kini ditempati Tian dan Naya. Sementara Drian, cowok itu pergi entah ke belahan kantin mana untuk membeli minum karena rombongan cowok yang selesai duluan, dan kini tinggal rombongan cewek yang berlari.
“Bentar lagi gue nih,” ucap Naya, cewek ini paling malas berolahraga namun tak berarti kalau mengejar cewek ini adalah hal yang mudah. Dibandingkan Lusa, Naya lebih cepat lagi.
Lusa mengepalkan tangannya ke atas. “Semangat,” ucapnya, ia beralih untuk duduk di sebelah Naya.
“Nih,” Seseorang menyodorkan sebotol air mineral di depan wajahnya, membuat Lusa mengangkat kepala sambil menaikkan alisnya. Melihat sebuah tangan kekar yang terhubung sampai… wajah Tian. “Ini, Lus,” ucap cowok itu lagi karena Lusa tak kunjung menerima.
Lusa nyengir lantas menerima. “Hehe, makasih.”
“Anaya, Alissya, Anita, Brianna, Citra! Maju cepetan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lusa
Teen FictionKadang hati dan pikiran suka nggak berjalan seirama. Di satu sisi, Lusa nggak bisa bohong kalau ada rasa nyaman saat bersamanya. Namun, di sisi lain, Lusa masih berpegang teguh kalau ia menyukai yang lain. Sampai akhirnya, timbullah rasa bimbang. ...