Lusa → 9

69K 4.3K 53
                                    

“Oke, malam ini waktunya kalian cari kayu bakar. Cari di sekitar hutan, tapi jangan terlalu ke dalam. Kita nggak mau kalo sampai ada yang hilang atau kenapa-kenapa. Inget baik-baik siapa aja yang bareng kalian pas nyari, kita bebasin kalian untuk nyari bareng siapa aja, terserah.” perintah salah satu Pembina dengan suaranya di speaker.

Salah satu OSIS menambahkan, “Oh ya, jangan lupa 3S. senyum, salam, dan sapa. Kalau ketemu orang entah itu pake blazer coklat atau enggak, inget ya, mesti disapa. Misalnya, ‘malam kakak’ atau apa terserah. Dan otomatis kalo dia bagian dari kita, dia bakal jawab ‘Garda’, oke? Dan kalo dia nggak jawab ‘Garda’, berarti bukan bagian dari kita. Oke, ngerti semuanya?”

“Ngerti, Kak!” serempak peserta camping menjawab.

“Inget ya, jangan ada yang bengong, ngelamun atau semacamnya. Pikiran nggak boleh kosong.”

Beberapa di antaranya meringis. Secara tak langsung para Pembina mereka memberi nasihat agar mereka tak mengalami hal-hal aneh yang berbau mistis. Tapi ada diantaranya yang hanya memutar bola mata jengah karena tak percaya atau semacamnya.

“Ya udah, tunggu apa lagi? Cepetan, gerak cepet. Jangan lelet dong, Dek!”

Salah satunya teriak, membuat para peserta camping buru-buru membubarkan barisan. Bersiap pada alat penerangnya masing-masing ketika memasuki hutan.

Sejujurnya, ini belum terlalu malam. Karena Pembina juga tak mau sampai hal-hal aneh terjadi, mencari kayu bakar adalah bagian kegiatan untuk mengganti jurig malam karena kalau kegiatan satu itu masih dilakukan takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, terlebih bagi mereka yang memiliki masalah pada jantung.

Dan semetara Drian, cowok itu melenggang masuk dengan santainya ke dalam hutan. Hanya sendiri, karena Tian entah kemana, dan selama di sekelilingnya masih ada peserta camping lainnya, cowok itu semakin santai untuk lebih masuk ke dalam hutan.

Matanya mencari-cari ke sekeliling, berharap menemukan beberapa kayu bakar yang setidaknya, ketika ia keluar dari hutan bisa menyetor kayu bakar kepada OSIS.

Tapi cowok itu melenceng ketika melihat Lusa berjalan di sekitaran tempatnya dengan menggandeng beberapa kayu. Lusa bisa mendapatkan kayunya, mengapa ia tidak? Namun tak terpikir lagi untuk Drian mencari kayu bakar, cewek di depannya itu sudah cukup banyak punya kayu bakar. Berbagi sendikit, mungkin bisa.

“DOR!”

Ada niat mengagetkan cewek itu namun sayang tak ada pergerakan apa pun dari Lusa ketika Drian menepuk pundaknya. “Ngapain sih, ih!” yang ada malah umpatan kesal cewek itu karena terganggu.

“Ye, sensi banget sih,” ujar Drian. Melirik kayu-kayu Lusa, ia bertanya, “Kayunya dapet dari mana?”

“Nyari lah,” ketus Lusa. Cewek itu melangkah menjauhi Drian, merasa terganggu.

“Masa gue nyari nggak nemu-nemu.”

“Nyari yang bener makanya,” jawaban Lusa ketus lagi.

Drian frustasi. “Nggak sensian sedikit sama gue bisa kali, Lus.”

“Nggak bisa.” Nada bicaranya masih ketus.

“Ya udah deh gue minta maaf yang tadi siang, bikin lo susah makan sampe pingsan, tapi taunya hoki lo digotong Abra sampe tenda kesehatan.”

Lusa buru-buru menoleh, wajahnya tak percaya. “Kak Abra gotong aku?”

“Denger Abra aja, semangat banget lo.”

“IH!” Lusa geregetan untuk tak mencubit Drian kali ini. Beruntung cewek itu lagi ribet membawa kayu-kayunya.

“Iya, Abra buru-buru gotong lo ke tenda. Puas?” sarkas cowok itu. Diam-diam Lusa tersenyum, dan meskipun penerangan di hutan—berbatas pada senter yang dibawa—tak secerah hati Lusa, Drian masih bisa lihat bagaimana kedua pipi itu memerah. Entah, tapi ada rasa kesal dalam dirinya ketika melihat itu. cewek itu bisa kalem-kalem ayu di depan Abra tapi kenapa di depan dia berbalik seratus delapan puluh derajat? Ketus minta ampun!

LusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang