Canberra di Akhir Musim

53 2 0
                                    

Kring kringg!

Suara bel apartemen mengejutkanku pagi itu. Kulirik jam dinding yang bergelantung hampir empat tahun lamanya di sebelah jendela balkon. Pukul 8 pagi, hari yang begitu malas- pikirku. Aku masih terbaring lesu di atas ranjang. Sesekali kucoba membuka mata yang enggan melinap barang sebentar, tapi aku masih tersandera oleh rasa kantuk yang menyerangku.

Kring kringg kringg!

Sayup-sayup terdengar lagi suara bel pintu itu. Semakin lama semakin pengang telingaku dibuatnya. Dengan setengah nyawa yang baru terkumpul kuseret kakiku dari atas ranjang. Jalanku masih sempoyongan, antara setengah sadar dan setengah mabuk karena aku terlalu banyak minum soda tadi malam.

" Hello, lazy cat! " seutas senyuman sumringah mengejutkanku di balik pintu. Oh, Katie Bridgestone. Gadis Canberra yang sangat lincah, humoris dan penuh kehangatan itu tinggal satu lantai di bawah apartementku. Katie berasal dari keluarga notaris kaya di Adelaide. Ia memberanikan diri menginjakkan kaki ke Canberra sejak usia 17 tahun. Dia adalah sosok yang sangat ikonik akan sebuah kebebasan. Rambutnya yang keriting blonde dibiarkannya tergerai bebas menari-nari diterpa angin lorong apartemen 24 lantai itu. Aku bisa menebak kalau dia baru saja bermanja ria dengan shower rancangan khas Italia yang sengaja dipesannya dari situs online internasional dua tahun yang lalu. Dan aroma rambut itu, hmmmm... Semacam aroma mawar yang sugar dan lembut seperti madu, tidak pernah berubah semenjak aku mengenalnya empat tahun lalu ketika pertama kali menginjakkan kaki di sebuah universitas ternama di negeri kangguru itu.

Selama empat tahun juga kami menjadi teman baik. Akrab, lebih tepatnya. Katie seorang wanita humoris dan energik. Umurnya lebih tua dua tahun dari umurku. Katie seolah sosok yang melengkapi kepribadianku yang melankolis dan tidak begitu ambis. Sosok yang heboh, mempesona dengan rambutnya yang terpelihara dengan baik dan bibir tipisnya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Katie. Belakangan aku tahu dia ingin segera "memperbaiki" kondisi bibirnya. Katanya ingin memiliki bibir seperti Angelina Jolie. Belakangan itu pula aku tahu kalau Katie adalah fans berat Jolie yang dikenalnya sejak ia menyaksikan Jolie berlaga di film Thomb Rider.

" Guess what?" Katie sumringah setengah berteriak di hadapanku. Aku hanya tersenyum melihatnya menyodorkan sebuah botol alumunium abu-abu. Botol yang biasa dibawanya setiap saat kemanapun ia pergi. Bahkan hampir setiap pagi ketika ia datang ke apartemenku dia selalu membawa jenis minuman yang berbeda.

" Juice? " seperti biasa aku hanya menebak seadanya karena aku tahu selama ini dia belum pernah membawakanku jus. Wajahnya sedikit cemberut dan aku mengerti bahwa tebakanku salah.

" Just drink it! You always say juice and juice and juice everyday. Don't you have another choice? Like maybe a hot chocolate or coffee or cinnamon or whatever, I'm talking too much again!" Sergah Katie dengan nada bicaranya yang jelas sekali terdengar British accent yang khas di telingaku.

" Ok, let see what inside this little cuddle bottle," segera kubuka tutup botol abu-abu itu. Kurasakan hangat dari botol itu ketika tanganku menyentuhnya. Kepulan asap tipis menyembul dari dalam botol membawa aroma jahe dan vanilla. Bagaimana dia mau meminum jahe? Bukankah selama ini dia tak pernah suka jahe? Seperti aku yang tidak pernah suka cinnamon yang biasa diminumnya?

" I'm trying to drink a glass of milk with ginger and vanilla. For the first time I tried it felt like I wanted to throw up, but after that I was addicted", raut wajahnya begitu bangga karena telah melewati muntahan pertama setelah meminum jahe. Aku selalu bercerita pada Katie bahwa rempah-rempah yang biasa dipakai sebagai bumbu dapur oleh kebanyakan orang Asia selalu membuatku rindu akan kampung halamanku tercinta. Hampir empat tahun lamanya aku meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi ke Canberra, dan selama itu juga aku tidak pernah pulang. Mama pun tidak pernah datang meski hanya sekadar membesukku. Mama terlalu sibuk mengurus toko semenjak papaku terserang penyakit leukimia tujuh tahun belakangan. Tapi di sini aku masih bisa mengobati kerinduan itu ketika liburan musim semi tiba karena aku akan berkunjung ke rumah bibiku di Sidney dan bibi akan membuatkan masakan Indonesia untukku.

" Hey, Sacha! Drink it drink it drink it! " Katie berteriak menyuruhku segera meminum susu jahe racikannya.
" Ok, ok.. I'll try this, " kurasakan hangatnya jahe yang masuk ke tenggorokanku. Ah, betapa aku merindukan susu jahe buatan mama yang sering mama seduhkan setiap pagi ketika kami masih kanak-kanak.

" My momma always gave us a glass of ginger milky every morning when we were in childhood, " kenangku pada Katie.
"Yes, I know so that I bring it to you, " Katie berusaha menghiburku. Ia tahu bahwa aku sangat merindukan mama. Di sisi lain, aku pun mulai memikirkan kerinduan yang akan kurasakan pada tempat ini dan tentu saja, kepada Katie, setelah bulan depan aku akan kembali pulang ke tanah air.

-----------------------------------------------------------

Hari itu aku dan Katie menghabiskan waktu hanya untuk sekadar berjalan-jalan di sekitar taman kota. Bunga-bunga di sepanjang jalan jantung kota Canberra bermekaran. Bulan Oktober yang sungguh memikat suasana, Satu bulan terakhirku di Canberra sekaligus satu bulan mendekati akhir dari musim semi yang menakjubkan. Suasana kota terasa begitu hangat. Belum lagi spring Festival tahunan yang diadakan di Southern Hemisphere, festival Floriade, perayaan menyambut musim semi terbesar di Australia. Dan ini sudah hampir memasuki minggu terakhir festival berlangsung.

Setiap tahun juga aku melewati musim semi dengan menyaksikan bentangan tulip, apiun, dan jutaan bunga berwarna-warni membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona ketika mengunjungi tempat itu.

" So, what's your plan? " Katie menanyaiku ketika kami mulai memasuki kawasan Commonwealth Park tempat festival Floriade diadakan.
" My plan? Well, I'll enjoy this trip with my bestie and these wonderful flowers blooming in each place, " tukasku.
" Idiot! " Katie mendengus. " You're gonna be married to Aaron. "

Barulah setelah ia berkata begitu aku tersadar kalau dia menanyakan apa yang akan aku lakukan setelah kembali ke Indonesia. Terlebih setelah mendengar nama Aaron, pria Sidney yang kukenal ketika masuk universitas pertama kali. Dia adalah seniorku yang lebih tua tiga tahun dariku. Aaron seorang laki-laki tampan, berambut cokelat terang, bermata biru laut, badannya tegap gemerlap, kumis tipis di atas bibir tipisnya menambah pesona seorang bule itu di mata para wanita gaul di kampus. Tapi Aaron diisukan menyukaiku. Hah? Lucu juga jika kuingat perkara itu. Bagaimana mungkin seorang pria bule setampan Aaron menyukai gadis Asia sepertiku. Bahkan aku semakin tidak percaya diri karena tubuhku yang lebih pendek ketimbang orang-orang di negeri aborigin itu. Awalnya aku menganggap hal itu hanyalah guyonan belaka. Namun, lama-lama Aaron semakin beringas. Berkali-kali ia berusaha mendekatiku. Berkali-kali pula aku menghindarinya.

Ya, aku cukup tertutup dari kebanyakan orang. Terlebih masalah hati dan perasaan aku tidak terlalu mengindahkannya. Entahlah, sejak dulu aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Aku sulit memahami keinginanku mengenai cinta dan kekasih, semenjak beberapa kali gagal membangun hubungan dengan beberapa laki-laki beberapa tahun belakangan. Sekarang aku benar-benar ingin fokus pada karir dan masa depanku yang lain. Tidak ada Aaron atau siapapun yang mengusik hati dan pikiranku. Untuk saat ini demikian, entah apa jadi esok yang berada di tangan Tuhan.

" We'll gonna be okay, don't worry about that, " ucapku mengalihkan perhatian Katie. Dengan cekatan Katie segera menarik lenganku dan mengajakku berpose di sebuah taman tulip merah dan menyalakan video di telepon genggamnya. Dengan senyum sumringahnya, Katie mengambil video kami berdua yang membelakangi taman tulip itu.

" You should love someone who loves you, not loving for someone you love! "

Suara Katie terdengar lebih lengking dari biasanya. Aku hanya menutup mataku dan menepuk pundaknya. Ya, dia tidak tahu malu! Tapi begitulah Katie, gadis energik nan periang dan apa adanya.

ADOPTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang