Part (3) Ancaman

474 30 2
                                    

Beberapa kali Kanaya mengusap air matanya yang jatuh. Ia masih ingat betapa kejamnya Brian memperlakukannya. Bukan kebutuhan biologis yang dia minta, melainkan menjadikan dirinya sebagai sasaran menembak. Kanaya diseret menuju sebuah ruangan bawah tanah. Diikat di sebuah riang layaknya penjahat. Apel merah diletakkan di atas kepalanya sebagai sasaran menembak.

"Jangan menangis atau aku akan menembakmu hingga mati!" sentaknya.

"Ini yang Anda sebut dengan melayani, Tuan? Menjadikanku sebagai sasaran menembakmu?" tanyanya dengan terisak pilu.

Brian tertawa keras, ia mengusap wajahnya dengan kasar, menatap tajam Kanaya. "Yaa ... kau benar. Mana mungkin aku meniduri wanita yang jelas-jelas bukan tipeku sepertimu? Lihat dirimu, tubuhmu saja kurus seperti ranting kering. Aku sama sekali tidak tertarik menyentuhmu."

"Sudahlah, bukanya kau harus senang aku tidak menyentuhmu, Nona? Lagipula niat awalku membelimu hanya lantaran karena ingin menjadikanmu wanita menghibur di night club milikku. Tapi nenek tua sialan itu malah menyuruhku menikahi wanita lemah yang hanya bisa menyusahkan sepertimu. Ah, sudahlah. Tak apa, aku bisa menjadikanmu kelinci percobaanku saat ini."

Ia tidak menyangka jika sifat asli Brian seperti itu. Tidak berperikemanusiaan dan bersikap acuh.

Brian mulai mengarahkan senjata berjenis FN pada sasaran. Kanaya hanya bisa pasrah, perlahan kedua matanya tertutup rapat dengan butiran kristal berjatuhan dari kejora miliknya. Beribu-ribu kali Kanaya berdoa pada Tuhan agar peluru itu tidak mengenai kepalanya. Ia masih ingin hidup hingga tua, bukan berakhir di tangan pria kejam seperti suaminya sendiri.

Keringat dingin bercucuran tiada hentinya di pelipisnya. Brian mulai mengukur jarak tempatnya berpijak. Setelah dirasa pas pelatuk dilepas, peluru meluncur cepat mengenai sasaran. Apel merah di atas kepala Kanaya terjatuh ke lantai. Ia mengulanginya beberapa kali berharap pelurunya meleset hingga menembus kulit wanita itu. Namun dewi fortuna berpihak padanya.

Ia meletakan apel terakhir miliknya kembali di atas kepala Kanaya, sesekali melihat korbannya terus menangis. Setan di tubuh Brian bersorak gembira. Berbalik kemudian melangkah ke tempat semula. Brian mulai melakukan ancang-ancang. Bukan apel merah di atas kepala Kanaya yang menjadi sasaran, melainkan lengan wanita itu. Ia mulai mengarahkan senjatanya itu pada sasaran, menarik pelatuk dan ....

"Hai, apa di dalam kau tertidur, ha?!" teriak Brian dari luar kamar mandi.

Mengusap air matanya, membasuh wajah dengan air, mengelapnya menggunakan handuk kemudian melangkah keluar dari kamar mandi. Di atas ranjang Brian duduk dengan berkas di tangan. Ia meletakan berkas itu di nakas kemudian berteriak kembali.

"Apa kau mau menjadi patung tetap berdiri di situ, ha?! Mendekat dan pijat pungungku!"

Tanpa kata Kanaya mendekat. Dihempaskan bobotnya di samping Brian yang sudah tengkurap dan mulai memijat. Kedua tangannya bergetar hebat, keringat dinginnya terasa di seluruh tubuhnya ketika menyentuh punggung pria yang berstatus sebagai suami sahnya.

"Apa kau tidak bisa memijat? Pakailah sedikit tenagamu itu! Apa pria keparat itu tidak memberimu makan hingga pijatanmu sama sekali tidak terasa? Pijat yang benar atau aku akan menjadikanmu sasaran menembakmu lagi."

Kanaya mengangguk patuh. Ia mulai memijat kembali punggung Brian dengan sedikit penekanan. Brian terus saja mengguman tiada hentinya. Kanaya hanya bisa mendengarnya walau telinganya panas akan perkataan kasar suaminya itu.

Brian membalikan tubuhnya menjadi terlentang. Ia meminta Kanaya memijat kepalanya yang terasa pening akhir-akhir ini. Kedua matanya terpejam menikmati setiap pijatan di sekitar pelipisnya. Setidaknya wanita itu bisa sedikit menguntungkan. Walau hanya sebagai tukang pijat.

ISTRI SATU MILYAR (Brian Kanaya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang