Part (7) Pantaskah Aku Bahagia

478 38 5
                                    

Part 7
Pantaskah Aku Bahagia?

Kanaya tak hentinya memandang gerak-gerik sang suami yang sedang menelpon dengan serius di depan jendela. Di tangannya, sebatang rokok menyala dengan asap mengepul ke udara. Sebuah benda menyumbat salah satu telinga, berguna mendengar telepon yang masuk. Beberapa kali ia menghela napas ketika melihat kemarahan pria dengan julukan malaikat maut itu. Entah apa yang membuatnya marah, Kanaya tidak tahu.

"Kumpulkan semua anggota, kita rapat malam ini. Aku akan ke sana sekarang," katanya sebelum menutup sambungan telepon.

Rokok di tangan dibuang begitu saja ke tong sampah di dekatnya. Brian melangkah menuju walking closet, mengambil jaket hitam kulit mengenakannya dengan cepat, kemudian melangkah keluar.

"Tuan, malam-malam begini mau ke mana?" tanya Kanaya takut. Wanita itu terbaring dengan punggung bersandar di kepala ranjang. Selimut tebal menutup sebagain tubuhnya yang lemah.

Menoleh, Brian memutar bola matanya malas. "Bukan urusanmu! Tidurlah, sebelum Nenek tua itu membakar rumah ini jika mengatahui kau tidak tidur," katanya dengan marah.
Kanaya menunduk dalam. Perkataan Brian cukup membuatnya sakit hati. Ia tahu apa jadinya bertanya pada pria tak berhati seperti suaminya. Cemburu? Mungkin saja begitu.

"Nenek tidak akan melakukan hal itu."

Brian tertawa sinis. "Bisa saja. Kau, 'kan cucu kesayangannya sekarang. Dia akan lebih membelamu ketimbang aku, cucunya sendiri."

Benar sekali, dia cemburu.
Kedua mata Kanaya berkaca-kaca. Hingga butiran kristal jatuh membasahi pipi. Brian menghela napasnya melihat wanita itu terus menangis. Cengeng, satu kata yang menggambarkan sifat wanita itu. Dan Brian tidak menyukai wanita cengeng seperti Kanaya. Ia melangkah keluar namun tertahan ketika mendengar Kanaya mengatakan sesuatu.

"Apakah aku tidak pantas bahagia, Tuan?" Kanaya mengangkat wajahnya, memandang lekat punggung lebar suaminya. Air matanya terus mengalir tiada hentinya.

"Apakah sepanjang hidupku, aku harus merasakan pahitnya kehidupan tanpa merasakan secuil pun kebahagiaan?"

"Di saat kau menikahiku, aku berpikir Tuhan mengabulkan semua doa-doa yang kupanjatkan setiap harinya. Tapi ...." Kanaya menggelengkan kepalanya teratur. Air matanya terus mengalir, menganak bagaikan aliran sungai terus mengalir hingga sampai di ke laut lepas.

"Nyatanya aku terlalu berharap doaku akan dikabulkan. Aku kembali mendapat perlakuan tidak manusiawi. Dulu dari Ayahku yang menganggap akulah penyebab kematian Ibu hingga setiap harinya dia menghukumku. Dan sekarang darimu, tapi aku tidak tahu apa sebabnya hingga kau melakukan hal itu padaku."

Brian memejamkan kedua matanya. Tangannya terkepal erat merasakan dadanya serasa dicengkeram. Sesak ia rasakan sekarang mendengar kata demi kata Kanaya rangkai.

Kanaya menyibak selimut, melangkah mendekat, berhenti di depan pria itu. Ia meraih salah satu tangan Brian, menggenggamnya, tanpa hentinya menjatuhkan air matanya. Brian membuka mata merasa tangan besarnya di genggam oleh seorang. Seketika kedua netra mereka bertemu.

Brian sama sekali bisa mengalihkan pandangannya pada kejora milik sang istri. Ada luka yang tidak bisa ia mengerti dari sorot mata Kanaya.

"Tolong, Tuan. Berikan aku sedikit saja kebahagiaan itu. Aku lelah terus-menerus merasa menderita seperti ini. Aku ingin bahagia walau hanya sebentar. Kumohon ...."

Kanaya mengelurkan pisau entah sejak kapan ia memegangnya, memberikannya pada Brian. "Tolong, Izinkan aku bahagia walau itu sakit," katanya.
Brian menggeleng kuat. Senyum sinis tercipta setelah mendengar permintaan konyol Kanaya.

"Kau gila," desisnya. "Apa dengan kematian akan membuatmu bahagia, ha?! Itu sama sekali tidak bisa! Kau sama saja membuat penderitaanmu bertambah dua kali lipat. Bukan begitu caranya bahagia!"

Pisau di tangannya dilempar sembarang. Ia menarik Kanaya dalam pelukannya, membenamkan wajahnya di cerutuk wanita itu. Tubuh Kanaya tersentak dengan perlakuan Brian yang tiba-tiba saja memeluknya. Dadanya berdesir merasakan gelenyar aneh menjalar di seluruh tubuhnya.

"Tapi seperti ini. Menangislah sesuka hatimu, bila perlu menjeritlah agar bebanmu hilang. Tapi jangan mencoba untuk mati. Setidaknya, jadikan aku alasanmu tetap hidup di dunia ini."

Kanaya tersenyum sembari terisak dalam pelukan Brian. Ia membalas pelukan sang suami dengan terus menangis histeris. Ponsel di saku celana pria itu terus menjerit namun diabaikannya begitu saja. Ia lupa akan tujuan awal, pergi ke markas besarnya mengadakan rapat rahasia dengan bawahannya.

Di luar pintu, seorang wanita tua menghapus air matanya, senyumnya merekah membayangkan hubungan cucunya dengan sang istri mulai membaik.

"Setidaknya aku akan segera mendapatkan seorang cicit," kikiknya membayangkan tangan tuanya menggendong seorang bayi.

Nenek melenggang menuju kamarnya dengan bersenandung kecil. Beberapa pelayan yang melihatnya pun bertanya-tanya pada temannya mengenai tingkah aneh Nyonya besar rumah ini.

"Sungguh bahagia hati ini ...."
Di markas besarnya, James berkali-kali menghubunginya namun sekalipun tidak diangkat.

"Apa bos masih tidak mengangkat panggilannya, Tuan James?" tanya seorang pria dengan rambut klimis.
James menoleh, mengangguk lemah. "Begutulah. Sepertinya Nyonya besar melarangnya pergi. Kau tahu sendiri wanita tua itu ketika mengamuk. Tuan Brian saja tidak akan membantah apapun yang diucapkan Nyonya besar padanya. Dan kudengar istri Tuan Brian pulang malam ini setelah dirawat di rumah sakit beberapa hari. Bisa jadi, Tuan menghabiskan malamnya ...."

Keduanya terdiam sejenak sebelum tertawa keras membayangkan wajah garang Brian yang tunduk pada seorang wanita. James berdoa agar sang Tuan bisa mencintai istrinya hingga sampai lupa bernapas sekalipun itu.

"Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku akan mengirim pesan padanya nanti. Aku rindu istri dan anakku di rumah."

"Ya, Anda benar, Tuan James. Beberapa pekan ini saya merasa menderita harus berangkat pagi pulang pagi. Istri saya selalu mengomel tidak jelas ketika harus membuka pintu di pagi buta. Saya dianggap kurang perhatian padanya," kata pria itu, meringis malu.
Keduanya kembali tertawa membayangkan rumah tangga mereka masing-masing sebelum menghilang di balik kemudi.

***

Seorang wanita tersenyum menyeringai memandangi iPad di tangan. Pengawal di sampingnya memandang wanita berambut sebahu dengan kening mengerut. Dia tidak tahu wanita berumur 55 Tahun itu pikirkan ketika melihat foto seorang pria yang tak lain adalah Brian.

"Dasar anak nakal. Rupanya kau mulai memerangiku secara tidak langsung. Baiklah, mari kita tunjukkan siapa yang akan bertahan hingga darah penghabisan," gumannya. Matanya menatap tajam jendela di depannya.

Cuaca kurang membaik dengan datangnya badai salju di kota itu, Las Vegas.  Kota yang dijuluki sebagai Ibukota Hiburan Dunia. Merupakan kota terpadat ke-28 di Amerika Serikat. Kota dengan kapasitas penduduk mencapai 1. 865 juta jiwa lebih penduduk pada Tahun 2008.

Tempat lahirnya seorang aktor berbakat Adam Hicks, pemeran film Down and Debry sebagai Brady Davis dan film The 12 Dogs of Christmas sebagai Mike Stevens pada Tahun yang sama.

Menoleh, wanita itu kemudian bangkit dari kursi kebesarannya. "Blockade of all networks in the name of Brian Alexander Demorta. I want to see, how he cried seeing her business destroyed in my hands."

"Yes, Madam Christina."

"Ah ... satu lagi, aku hampir saja lupa. Cari tahu mengenai istri bocah sialan itu. Aku mendengar jika dia sudah menikah diam-diam," tambahnya.

Pria yang bernama Elios membungkuk hormat kemudian keluar dari ruangan. Senyum sinis tercipta dari bibir wanita itu. Ia meraih pistol di nakas, mengarahkannya pada vas bunga sebagai sasaran. Sekali tembakan, vas bunga pecah berhamburan. Asap keluar dari ujung senjata. Wanita bernama Christina meniupnya layaknya lilin di atas kue ulang Tahun.

"Sebentar lagi, Sayangku. Kau akan bertemu denganku. Aku berjanji padamu," katanya dengan menerawang jauh.

To be continued

ISTRI SATU MILYAR (Brian Kanaya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang