Dua

2 0 0
                                    

Hari-hari di bumi berputar seakan ia tak pernah bosan, mengitari matahari dan bahkan mengitari dirinya sendiri. Seakan ia adalah bumi, Agneta tetap menjalani harinya seperti biasanya. Berkutat dengan dunianya yang tampaknya itu-itu saja. Terkadang ingin rasanya menerima kejutan, tapi takutnya malah dikejutin dengan yang tidak-tidak.

Pikiran Agneta berlayar hingga ke Negri Cina. Jujur ini hanya kiasan, karena harusnya orang ke Negri Cina untuk belajar, tapi Agneta? Ntahlah.

"Ailsa..."

Seperti ada yang berbisik, pikirnya.

"AILSA AGNETA!"

Ha! Bukan berbisik ternyata. Hentakan gelombang suara tadi membuyarkan lamunan perempuan berambut ikal kembang tersebut. Kelopak matanya seolah sudah terisi sumber dayanya, alias, terkejut.

Agneta membenarkan postur duduknya, membulatkan matanya, dan menempatkan tangannya di atas meja, rapih. Di kehidupan formal, ia dipanggil Ailsa. Kalau ada seseorang yang memanggilnya Ailsa, sudah pasti orang tersebut tidak seakrab itu dengannya. Ya iya saja, beliau kan wali kelasnya!

"Iya, Pak. Maaf, Pak... Saya izin bilas wajah ya, Pak," sahut Agneta diiringi cekikikan kecil teman-temannya.

"Mengurus berapa anak sih kamu ini, masih jam kedua sudah ngantuk. Sana cepat! Materinya tidak akan saya ulang ke kamu, nih!" perintah Pak Petra seloro.

Agneta menyusuri jalan lorong kelas demi kelas. Menuju tengah lapangan, mencari wastafel terbuka yang ada di sana. Sebenarnya Agneta bukannya merasa ngantuk, hanya saja... entahlah, enak saja rasanya untuk tidur di jam seperti ini. Ngerti gak sih? Kaum rebahan matanya ngalah-ngalahin sayupan senja matahari.

Sambil berjalan perlahan dan menempatkan kedua tangannya di saku roknya, sementara ia mengarahkan tatapannya ke bawah, mengikuti irama langkah kakinya dengan petak segi keramik yang terpaut di lantai,

"Aw!"

Agneta terjatuh seketika dengan rasa sakit di kepalanya. Tangannya meraih jidatnya yang tersentak oleh... ia mencari sumber tubrukan tersebut, menaikkan pandangannya, lalu matanya bertemu tatap dengan seorang yang tidak sepenuhnya asing menurutnya.

Lengan berkulit pucat pasi, uratnya terbaca mata kasar meliliti lengan bawahnya, dan tangannya menjulur ke arahnya, orang itu sedang membantu Agneta untuk berdiri kembali. Tak ingin bersusah payah sendirian, Agneta menyambar tangan tersebut, lalu ia merasa tubuhnya terbantu berdiri. Lalu ia merapihkan seragamnya yang kusut dan membenarkan benar tidaknya tampilannya saat ini, sebisanya saja.



"Maaf ya, nggak lihat jalan tadi. Kamu tidak apa-apa?" tanyanya khawatir jangan-jangan jidat menonjolnya menghantam sakit tubuh orang itu.

Orang itu, seorang pria, yang semakin diperhatikan, semakin jelas sketsa wajahnya. Wajahnya bulat lonjong dan meruncing di dagunya yang cukup kecil. Mata yang sempat berjumpa tadi sekilas tampak gelap, namun ternyata cukup teduh. Tulang-tulang wajahnya tidak terlalu menonjol, namun bibirnya cukup menyita perhatian, mengingat ia yang sangat pucat dan hanya bibirnya yang berwarna, cukup merah, apa orang ini pakai tinted lip balm?

"Eh, maaf. Sakit gak? Ada yang luka?" tanya pria itu sambil menelusuri seperti detektif, mencari ada tidaknya sumber perdarahan, ataupun memar.

"Aduh, lutut kamu lecet tuh, berdarah. Ke UKS sini aku temenin."

Agneta yang tak merasa perih di lututnya cukup heran, sembari menjatuhkan tatapannya di sumber lecet tersebut. Apakah cangkang lututnya lebih tahan banting daripada cangkang tengkoraknya? Karena kali ini ia merasa jidatnya jauh lebih sakit daripada lutut nya sekarang. Nah iya, 'kan main papan skate sudah sering lecet begini. Sakit pun bisa beradaptasi tingkat nyerinya. Sering-seringlah patah hati, mana tahu jadi kebal sakit hati. Hehehe.

"Tidak usah, nanti wali kelas aku ribet. Tadi cuma izin bentar, ini juga lecet dikit aja udah biasa kok, kamu-nya gak kenapa-napa, 'kan?"

"Aku aman kok, kamu biar aku izinin ke wali kelas kamu saja, kelas berapa? Siapa walinya? Ntar lukanya malah infeksi kalau tidak segera di bersihkan ke UKS..."

Agneta mengernyitkan dahinya, membentuk garis-garis halus di sana tanda kurang yakin dan 'aku harus gimana ya?'

"Tenang saja, aku wakil ketua OSIS, santai saja, pasti aman kok. Aku antar ke UKS dulu aja, ya?"

Tanpa pikir panjang, pria itu, si wakil ketua osis (waketos), seseorang yang bahkan belum Agneta tahu siapa gerangan nama pria ini, pria perhatian ini, menarik tangan Agneta membawanya dalam genggamannya, menuntunnya ke UKS.

Sesampainya di sana, penjaga UKS ternyata sedang tidak berada di sana. Cukup awkward mengingat mereka hanya berdua di sana.

"Ini aku siapkan baskom air untukmu, bersihkan terlebih dahulu lukanya, pakai kasa basah rendaman air di dalam baskom ini ya. Biar aku lapor kamu dulu, kelas berapa tadi? XII-Sci-1 'kan, ya?"

"Lah, iya kok kamu tahu? Pak Petra wali kelas aku, pas sekali sedang mengajar tadi di kelas," ujarnya masih terheran pria itu tahu kelasnya.

"Nama kamu siapa?" sambung Agneta ringkas.

"Namaku Galen, XII-Sci-4, kalau begitu tunggu sebentar ya, brb."

Galen? Waketos? Kok seperti tidak asing tapi tidak kenal juga? Dimana ya? Agneta menyeka lukanya sambil memutar keras otaknya, mencari semua info yang ia punya tentang Galen. Galen? Galin? Galon? Loh?

Haishhhhh. Pikiran Agneta kacau sekali. Susah diajak bekerja sama. Ia membuyarkan gelembung pikirannya lalu fokus dengan lukanya. Lama-lama terasa perih juga nih sedikit. Tetesan air kasa pembersihnya menetes hingga sedikit membasahi kaus kakinya. Ia pun melepas kaus kakinya dan sepatunya. Terpampang jelas kulit kaki coklatnya yang sedikit belang, mencetak bekas sendal jepit. Kuku kakinya ia cat hitam metalik. Tapak kakinya menginjak lantai, dan seketika ia meringis kedinginan.

"Kaki kamu terkilir juga ya? Sini coba aku cek? Petugasnya masih belum dateng juga? Heran banget!" Tiba-tiba Galen muncul langsung meraih pergelangan kakinya dan memindai sesuatu di situ.

Sedikit tidak nyaman, Agneta terlihat berusaha menarik kakinya dari kungkungan Galen.

Kenapa sih orang ini langsung sentuh sana sini! Baik sih, tapi gak nyaman banget nih! Duh! batinnya.

Tapi Galen malah mengeratkan pegangannya.

"Mana yang sakit nih?"

"Eh engga... nggak ada yang sakit, kok. Tadi netes saja airnya jadi aku lepas sekalian biar gak lembab" jelasnya cepat dengan wajah mulai memanas.

Mendengar hal itu, Galen akhirnya membenarkan posisinya lalu berdiri di depan Agneta yang sedang terduduk di bibir matras ranjang UKS.

"Lukanya gimana sudah bersih?"

Apa Galen ini part time kerja sebagai petugas UKS ya?

"Kamj tidak masuk kelas?"

Sambil membantu membersihkan dan merawat lukanya, Galen menjawab, "Tadi sebenarnya mau ke ruang OSIS ada rapat panitia penyelenggara pameran kampus minggu depan. Jadinya aku izin nih, santai aja."

"Apa kamu tidak kenal aku, ya?"

Nah? Agneta juga bertanya hal yang sama, untuk dirinya sendiri?

"Kayaknya gak asing tapi lupa nih. Apa mirip aja ya? Aku juga kurang yakin," jawab Agneta dengan wajah penuh sejuta pertanyaan.

"Kamu yang becut kemarin nungguin aku sama anak lain sewa studio."

Bingo.

Bibir Agneta membentuk bulat sempurna dengan suara 'oh' yang cukup panjang dan lama seakan mengonfirmasi kembali ke pusat informasi di otaknya.

"Pantas saja gak asing. Baru saja jumpa sudah lupa. Pikun nih aku, maaf."

"Tapi kamu kok tahu kelas ku?"

Galen membentuk senyum tipis, tipis sekali, di sudut bibirnya.

"Aku suka sama kamu."

Berlanjut...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Crushed - Stronger than EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang