TYL • 03

9 2 0
                                    

TYL • 03
"Cintaku abadi meski maut memisahkan kita."
- Gianita Bruce to her husbend -

• • •

Selang beberapa menit setelah Cornelia dijemput temannya, Gianita bersiap hang out. Ia menyiapkan baju ganti untuk beryoga---rutinitas mingguan yang haram dilewati.

Sembari memanaskan mesin mobil, pikiran Gianita berkelana. Usianya kini menginjak 37 tahun. Sepuluh tahun menjanda lantaran sang suami meninggal karena kecelakaan tunggal saat di Indonesia. Sampai pada detik ini, Gianita masih betah sendiri. Cintaku abadi meski maut memisahkan kita, gumam Gianita.

Hidupnya tak sama lagi semenjak ditinggal sang suami. Menjanda tanpa anak bukanlah hal yang Gianita inginkan. Namun ketetapan Tuhan adalah hal yang harus diterima dan diikhlaskan. Seolah belum cukup penderitaan, tiga tahun yang lalu Gianita dikabari Jackson bahwa Kakaknya, Gram Brandy, berpulang kepada Sang Pencipta.

"Bantu aku mengurus Cornelia." Begitu ujar Jackson di sambungan telepon, tepat pukul 01:15 WIB.

Melihat situasi dan kondisi, Gianita memutuskan pindah ke New York untuk menemani Cornelia hingga kini. Ia tidak tahu kemana istri Bram. Kaburkah? Meninggalkah? Pikiran Gianita mengabu. Ketika ia bertanya pada Cornelia, anak itu sekadar menjawab, "Ibu sudah tiada."

Kalau memang begitu, lantas mengapa Gianita yang notabenenya kerabat dekat tidak dikabari perihal kematian istri Bram? Namun, saat Gianita meminta kejelasan kepada Jackson, pria itu hanya mengangguk sekali dan enggan untuk bercerita terkait apa yang terjadi.

Bram menikahi wanita kaya. Gianita tidak bersusah payah memikirkan bagaimana itu bisa terjadi, tapi ia menyakini, takdir adalah jawabannya. Hubungannya dengan istri Bram tidak bisa dikatakan lancar, namun tidak dikategorikan buruk. Bentang jarak dan komunikasi yang nihil membuat keduanya tidak pernah beramah-tamah. Setiap Bram menghubungi Gianita, ia tidak pernah memberikan gawainya kepada sang istri untuk sekadar menyapa Gianita di sambungan telepon.

Mereka hanya bertemu sekali ketika pernikahan berlangsung. Istri Bram bernama Fay, wanita cantik keturunan Belanda. Dan, tidak ada pertemuan lagi setelahnya.

Gianita menaiki mobil, melesat menuju rumah kawannya. Mereka satu perumahan. Perumahan kelas atas di Manhattan. Ditemani alunan musik keroncong khas Indonesia, Gianita berbelok memasuki salah satu kediaman. Mobil merhenti, ia menyalakan klakson. Seorang wanita kurus berambut ikal keluar dari dalam rumah dengan pakaian olahraga super ketat. Usianya tak beda jauh dengan Gianita.

"Hai, Eve," sapa Gianita, menurunkan kaca mobil.

"Hai, G," balas Eve, menyengir amat lebar. Kehadiran Gianita adalah hal yang paling ditunggu-tunggu di akhir minggu.

"Eh, Wait, say, ada yang ketinggalan di dalam," sahut Eve sebelum meraih pegangan pintu mobil. Ia berlari kecil dengan gaya elegan ke dalam rumah, serta kembali bersama kacamata hitam yang bertengger manis di hidung bangirnya.

"Sorotan matahari tidak baik bila langsung mengenai mata," katanya, sedetik setelah mendudukkan diri di kursi samping kemudi. Eve mencium sebelah pipi Gianita, bertanya, "Kenapa kau tidak memakai kacamata juga, say?"

Gianita mengedik. "Maybe aku lupa. Kau tahulah."

Eve tertawa-tawa kecil dan mobil pun kembali berbaur di jalanan New York.

• • •

Tempat kebugaran di Cristopher St. Di sana mereka mengikuti kelas yoga, di mana membernya mayoritas wanita berusia 30 tahun ke atas. Di sini tempatnya para konglomerat berolahraga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Three Years Later [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang