TYL • 01

25 3 0
                                    

Jika berkenan, berikan vote dan komentarnya sekalian. Gue menerima baik krisar kawan-kawan.

• TYL •
Chapter 1
- Birthday -

~

"Alam membuatku dewasa, alam membuatku tahu cinta." -My beloved father

~

Cornelia Brandy merupakan gadis blasteran Indonesia-Belanda yang tinggal di New York. Sedari kecil, ia hidup bersama ayahnya. Harta yang melimpah tidak membuatnya bahagia, karena Cornelia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Kata ayahnya, ibu Cornelia telah tenang di surga. Hanya saja, ayahnya itu tak pernah memperlihatkan potret sang ibu, bahkan cenderung tertutup jika Cornelia mempertanyakan itu.

"Apakah ini surga?" Netra sewarna cokelat terang itu berbinar diterpa surya.

Dilingkup kesangsian, Bram Brandy berujar dalam bahasa Inggris, "Why, Nak? Ya, ini surga ...," jedanya cepat, "... surga dunia." Ia mengikik, sementara Cornelia Brandy, putrinya, masih terkagum-kagum ria. "Kita di pegunungan Catskill, Nak," ungkap Bram berselang.

Pegunungan Catskill, sebuah daerah di New York, sebelah barat laut New York City dan barat daya Albany, adalah sebuah plato[1] terpisah asli, yaitu daerah terangkat yang mengalami erosi menjadi relief. Pegunungan Catskill adalah pegunungan yang membentang ke timur serta bentangan tertinggi dari Plato Allegheny.

"Kau menyukainya?" Cornelia mengangguk cepat. "Kapan-kapan, ayah akan mengajakmu ke tempat lain yang tak kalah mengagumkan." Bram meraup udara, merasakan segar yang mengisi paru-parunya.

"Apa yang ada di benak ayah tentang alam?" Cornelia menelengkan wajah, mengamati Bram di sebelahnya.

"Alam membuatku dewasa, alam membuatku tahu cinta," jawab Bram tanpa keraguan sambil merangkul pundak Cornelia. Ucapan ayahnya selembut kain sutera, sehangat mentari pagi. Pernyataan serupa tiga tahun yang lalu kala Cornelia masih sekolah dasar. "Sehabis ini mau ke mana lagi, atau mau apa?" Bram mengamati air muka Cornelia, juga kibaran rambut cokelatnya yang digoyangkan angin.

Aku hanya ingin tahu siapa ibuku, lirih Cornelia dalam hati. Haruskah ia kembali mengiba? Cornelia menggeleng samar. Ia enggan membuat ayahnya terbungkam dalam kesuraman. Biarkan waktu yang berbica dan melesapkan pertanyaan. Maka yang terucap, "Bagaimana kalau berbelanja? Mari kita pulang ke kota." Remaja berjaket beludru ungu muda dengan celana jeans biru tua itu tersenyum menampiaskan nelangsa.

Sementara itu, Bram hampir terperanjat. Benarkah ini keinginan putri semata wayangnya? Ego Bram menggelegak, menutup kobaran tanya dan keraguan. Ia segera menuntun Cornelia menuju mobil sebelum putrinya mengutarakan hal lain serupa tahun-tahun yang telah usai.

• • •

Mobil mewah Bram singgah di Madison Avenue di Manhattan. Di sini pusatnya toko-toko barang bermerek terkenal, seperti Prada, Gucci, dan Coach. Bram menawarkan berbagai macam benda dan pakaian tanpa peduli harga yang tertera. Dengan alasan berhemat, Cornelia lantas menolak.

"Uang ayah lebih dari cukup untuk sesuatu apa pun yang ingin kau beli. Ayo, pilih saja yang menarik perhatianmu," bujuk Bram sembari menaik-turunkan kedua alis, berniat menggoda.

Cornelia mencebik, menelisik tubuh tinggi nan tegap ayahnya. Wajah tampan, rahang tegas yang ditumbuhi rambut-rambut halus, kumis tipis, kulit kuning langsat khas Asia (diwariskan kepada Cornelia), jaket kulit cokelat tua, serta serentetan lainnya yang tampak berkelas. "Aku ingin membeli buku saja," putus Cornelia tanpa peduli lipatan dahi ayahnya.

"Realy? Today id your birthday, sweety. Ayah sangat senang sekalipun kau menghabiskan banyak uang hari ini." Bram mendorong lembut kedua bahu Cornelia, memaksa putrinya masuk ke salah satu tetoko baju dan keluar dengan berkantung-kantung tas belanjaan.

Berikutnya, Bram mengajak Cornelia ke surga bagi pecinta buku. The Stard Bookstore terletak di antara 12th Street dan Broadway, dekat dari Union Square Park. Cornelia berjingkrak-jingkrak bahagia, melewati setiap etalase dan jutaan kali berdecak kagum. Gemas bercampur keingintahuan yang berat, ia berhasil mengumpulkan setumpuk buku, di antaranya novel berbagai genre, buku sejarah Indonesia (rekomendasi Bram, katanya agar Cornelia mengetahui sedikit-sedikit tentang tanah kelahiran ayahnya), buku seputar psikologi, dan buku masakan ringan.

• • •

"Ayah sudah menyiapkan kue ulang tahunmu di ruang makan." Cornelia menerima uluran tangan ayahnya yang membukakan pintu penumpang dengan antusias. Tetiba tubuh Cornelia menyerobot masuk duluan ke dalam rumah daripada mengimbangi langkah sang ayah. Tak lupa, ia merebut paksa kantung belanjaan dengan lengkingan girang.

"Ayah akan menangkapmu ...." Bram Brandy menirukan gaya Superman ketika terbang, walaupun dalam benaknya berputar adegan Hulk yang siap mengamuk.

Cornelia terbahak, pun larinya semakin pesat. Mereka berdua mengitari meja makan, kemudian Cornelia terengah-engah menuju ruang televisi. Sementara Bram jauh tertinggal, putrinya bersembunyi di sebalik sofa panjang dengan masih menggenggam erat pegangan kantung belanjaan. Cornelia mengatur napasnya seraya menggigit bibir bawah dan pipi bagian dalam menahan tawa.

Satu menit. Tiga menit. Lima menit. Pilar-pilar lampu redup di atas Cornelia tetap bergeming. Pandangannya mulai menerawang. Ia menajamkan pendengaran. Di mana Bram? Lama terasa Cornelia berjongkok. Maka dengan masih mempertahankan sunyi, kaki Cornelia melangkah perlahan menembus temaram ruangan. Ruang televisi? Nihil. Perpustakaan? Jelas kosong. Cornelia terserempak cemas. Bersicepat ia menapaki ruang makan. Astaga!

"Ayah!" pekik Cornelia histeris. Kantung-kantung belanjaan terlepas, berserakan di atas lantai pualam. Sontak perempuan itu berlari tersaruk-saruk menuju sang ayah yang tergeletak di atas karpet. Napasnya tersengal-sengal sementara telapak tangan kanannya meremas dada. Ia tampak kesakitan.

"A-ayah ... menyayangimu, Nak," sela Bram sebelum Cornelia bersua, angkat bicara. Kenapa ayah berbicara begitu? pikir Cornelia. Bram menangkup tangan Cornelia dengan jari-jemarinya yang bergetar.

"Aku juga menyayangi ayah," jeda Cornelia cepat, "tapi, sungguh, bertahanlah, Yah ...."

"Jika ayah tiada, berjanjilah, kau akan tetap bahagia. Jackson akan menjagamu." Bram mengatup-atupkan bibirnya. Meraup udara dengan tergesa. Sesak teramat yang ia rasa.

"Apa yang ayah katakan?! Pelayan! Pelayan!" Cornelia meraung-raung. Selusin pekerja rumah berbondong-bondong dengan mata membulat sempurna. "Telepon ambulan! Cepat!"

Jackcon, tangan kanan Bram sekaligus kawan baiknya, menghampiri Cornelia yang sedang memeluk tubuh ayahnya. Cornelia berpaling. Wajahnya merah padam, matanya sembab, bibirnya terisak. "A-apa ... yang terjadi pada ayah, Paman?" tanyanya tersendat-sendat, namun dengan suara yang cukup menyentak. Jackson bergeming, tak kuasa menjawab. Wajah kebapakanannya tersenyum getir. Telapak tangannya terulur mengelus punggung Cornelia yang terguncang hebat.

Suara sirine terdengar dari luar. Cornelia sesak. Ia menatap nanar kue ulang tahun bertingkat lima dengan angka tiga belas di puncaknya. Sementara itu, beberapa orang pria menggotong Bram, masuk ke dalam mobil ambulan. Cornelia hendak mengikuti, tetapi tubuhnya limbung, dan kegelapan menyambutnya, seolah menelan Cornelia bulat-bulat. Gadis itu tak sadarkan diri.

• • •

To be continued ....

Three Years Later [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang