Part 2

946 127 19
                                    

Sehun terus memaksakan langkah saat Chanyeol mengejarnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia juga menabrak beberapa orang tadi.

Laki-laki manis itu memberhentikan taksi yang lewat. Ia langsung masuk sebelum Chanyeol sempat menariknya. Sementara Chanyeol langsung terbayang dengan kenekatan Sehun tiga tahun silam. Dan ia tak mau sampai itu terjadi lagi.

Tanpa permisi Chanyeol meninggalkan rumah sakit dan melajukan mobilnya. Dengan kemampuan mengemudinya ia bisa mengimbangi taksi yang membawa Sehun. Taksi itu berjalan ke arah rumah mereka.

Helaan nafas leganya terdengar samar saat ia tiba semenit setelah Sehun turun dari taksi. Tanpa pikir panjang ia langsung berlari memasuki rumah.

"Sayang, kau dimana?" panggil Chanyeol sambil terus melangkah.

Sehun tak menjawab. Chanyeol terus mencari hingga ia mendapati Sehun di kamar. Laki-laki itu tampak memasukkan bajunya ke dalam koper secara asal.

Chanyeol mengejarnya dan memeluknya dari belakang. "Sayang, sudahlah."

"Lepaskan!" Sehun meronta. Suaranya memekik dan diselingi isak tangis.

"Aku tak akan melepaskanmu jika kau meninggalkanku."

"Kau sendiri yang memintaku pergi, Kak Park. Aku mengganggu kebersamaanmu dengannya. Bukan begitu?" kata Sehun pilu.

"Kau jangan salah paham. Dia hanya dokter baru di rumah sakit. Hanya itu."

Sehun diam. Tangannya yang semula meremat kain, terkulai di sisi koper. Menatap kosong pada kedua ujung kakinya.

"Sayang, kau percaya padaku 'kan?" Chanyeol bertanya lebih lunak dari yang sebelumnya.

Sehun mengangguk lemah. Pada akhirnya ucapan lembut Chanyeol selalu berhasil meluluhkannya. Selalu bisa menutup pemikiran negatifnya pada laki-laki hidung mancung itu. Bahkan semua hal yang tak masuk akal berubah menjadi logis saat Chanyeol merayunya.

Padahal masih banyak pertanyaan yang belum terjawab atas kejadian tadi. Seperti, kenapa Chanyeol sampai rela menutup teleponnya demi tertawa ria bersama dokter baru itu? Kadang Sehun membenci dirinya yang semudah itu dibodohi Chanyeol.

***

Entah sejak kapan Sehun berada di atas ranjang. Seorang diri pula. Pasti Chanyeol yang mengangkatnya lalu kemudian laki-laki itu pergi lagi ke rumah sakit.

Sehun melirik ke arah jam digital berukuran kecil di nakas. Enam lewat dua puluh empat. Sudah petang. Sesuai dengan kondisi langit yang sudah menggelap.

Ia beranjak dari bibir tempat tidur menuju ke jendela. Ia sempat terhuyung lantaran merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Tapi Sehun mengabaikannya lantaran sakitnya tak bertahan semenit. Ia pun melanjutkan langkah untuk menutup tirai jendela.

Kini ia berdiri di depan kaca panjang yang terpajang di dinding kamar. Awalnya hanya ingin menata rambutnya yang berantakan akibat tidur. Tapi, Sehun melihat ada yang ganjil pada tubuhnya. Bukankah ia terlihat lebih kurus? Tapi kenapa? Padahal ia makan dengan baik. Atau itu hanya perasaannya saja?

Tangan Sehun kemudian meraih sebuah timbangan yang ia simpan di atas lemari. Setelah dicek, memang bobotnya turun dua kilogram. Ia pun berpraduga mungkin karena ia sering bergadang mengerjakan tugas.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah panggilan dari Jeremy. Ia langsung mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo, Hun, kau kosong malam ini?"

Sehun menimang beberapa saat. Siapapun yang ditanya begitu pasti akan berfirasat yang sama dengannya. Jeremy pasti akan mengajaknya keluar.

"Ini malam apa, Jer?" tanyanya lantaran terlalu malas untuk sekedar mengecek kalender ponselnya.

"Ini malam sabtu. Jika kau kosong, ikutlah denganku dan tem—"

"Aku tidak kosong, Jer!" Sehun memotong cepat begitu mendengar kata malam sabtu. Agak kurang sopan. Tapi ia tak ingin berlama-lama berbasa basi. "Maaf. Mungkin lain kali kita bisa berkumpul. Aku tutup."

"Huh? Baiklah." Jeremy tidak kecewa. Lebih tepatnya ia terbodoh dengan sikap Sehun yang aneh itu. Tapi ia sudah memakluminya. Karena memang hanya dia satu-satunya yang bisa memahami anak itu.

Sementara Sehun kini diambang khayalan. Memikirkan malam sabtu yang akan ia habiskan bersama Chanyeol. Seperti malam sabtu biasanya. Chanyeol biasanya akan mengatur jadwal supaya bisa pulang lebih cepat dan membawanya jalan-jalan.

Sehun langsung menghubungi laki-laki tinggi itu. Tapi tak diangkat. Ia tak bosan mengulang sampai dua belas kali. Akhirnya ia memutuskan mengirimkan pesan suara, "Kak Park, cepatlah pulang. Aku menunggumu. Jangan lupakan malam sabtu kita, ya."

Setelah itu Sehun langsung mengganti bajunya. Kemudian bergegas menuju ruang keluarga. Dan duduk disana menunggui balasan pesan dari suaminya.

***

Orang-orang yang semula sibuk di ruang bedah itu kini satu persatu berhamburan keluar. Bahkan sang pasien sudah dipindahkan ke ruang rawatnya.

Seorang wanita dewasa bersneli mendekati dokter yang baru saja melakukan pembedahan tadi. Mereka saling melempar senyum.

"Ini untukmu. Kau terlalu banyak bekerja hari ini, tuan Park." wanita itu menyodorkan sebotol es lemon.

Chanyeol menerimanya dengan sukarela dan meneguknya sampai tandas. "Terima kasih, Lisa."

"Kau tidak lapar?" tanya perempuan yang disapa Lisa tadi.

"Hm... Lumayan."

"Mau makan denganku? Aku tahu restoran yang buka di jam dua malam seperti ini."

Chanyeol mengiyakan saja. Tidak ada salahnya ia makan diluar rumah sakit untuk sekedar menyegarkan otak. Seharian di ruang bedah membuatnya rindu pada udara segar. Meskipun sebenarnya udara pada waktu seperti ini tidak begitu bagus.

Tak butuh waktu lama mereka tiba di restoran pilihan Lisa. Chanyeol bukan kali pertama makan pada jam seperti ini di luar. Biasanya tidak seramai ini. Bahkan jalanan pun masih lumayan ramai.

"Kenapa ramai sekali?" Chanyeol baru sempat bertanya saat makanan mereka tiba.

"Mungkin karena ini malam sabtu."

Tak disangka jawaban santai dari bibir Lisa itu justru membuat Chanyeol lumayan panik. Ia langsung mengangkat arlojinya. Hari minggu. Jadi malam tadi adalah malam sabtu? Astaga, bagaimana bisa ia melupakan malam itu.

"Lisa, maaf. Aku harus pulang. Istriku pasti sudah menunggu."

Chanyeol baru melangkah, tapi tangan Lisa mencegahnya. Ia berhenti lagi. Berbalik, menatap biasa saja pada wajah Lisa yang memelas. Wajah yang sama seperti tujuh tahun lalu.

"Kenapa?" tanya Chanyeol. Tidak ketus memang. Tapi Lisa peka jika kata itu menyiratkan kata 'lepaskan' yang lumayan jelas.

Lisa tersenyum kemudian melepaskan pegangan itu. "Tidak jadi."

Chanyeol tak menjawab dan langsung berlari ke mobilnya. Ia mengebut menuju rumah sakit setelah itu buru-buru ke ruangannya. Di sana, ponselnya terbaring dengan banyak panggilan tak terjawab dari Sehun. Juga sebuah rekaman suara. Ia memutarnya sambil bergegas kembali ke parkiran.

Sesampainya di rumah, pria berkaki panjang itu langsung masuk dari pintu utama. Hatinya tercubit mendapati Sehun yang tertidur di sofa dengan masih mengenakan baju bepergian. Jejak-jejak air mata begitu jelas membekas di pipinya. Chanyeol semakin merasa sesal dihatinya menjadi-jadi. Lagi-lagi, Sehun menangis karena ulahnya.

Ia membangunkan Sehun dengan lembut. Chanyeol berniat membujuknya. Siapa tahu Sehun masih berkeinginan untuk berjalan-jalan dengannya.

Tak butuh waktu lama akhirnya sang istri terbangun.

"Sayang, masih ingin kel—"

Sehun langsung berdiri dan berjalan ke arah tangga mendahului Chanyeol. "Kak Park, ayo tidur. Kak Park sudah banyak bekerja, pasti lelah."

Far • ChanHunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang