Asal Usul

23 9 2
                                    

Malam yang gemerlap diisi sahutan guntur yang membuat sejumlah makhluk hidup bersembunyi, sekedar melindungi diri dari derasnya aliran air yang terjun membasahi tanah kering.


Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum Pak Umar."

Buk Nur yang terduduk dalam temaramnya lampu minyak tanah bersama keluarga kecilnya langsung bergerak menuju pintu.

Ceklek.

"Apo nyo Mus?"
(Ada apa Mus?)

"Iko Mak, ado Apak di dangau? Inyiak mintak coliak-an kok takojuik, lah payah nyo dek sakik kapalo baliak manakiak tako."
(Ini Buk, Bapak ada dirumah? Nenek minta di obati karena sakit kepala setelah pulang menoreh karet tadi.)

"Lai ado, masuak lah dulu. Ari ujan."
(Ada, silahkan masuk. Hari masih hujan.)
Buk Nur membuka lebar pintu kayu itu mempersilahkan Imus masuk dan menepikan payung yang sejak tadi meneduhinya dari amukan air turun mengguyur desa mereka.

"Oh Imus, ado apo nyo?"
Tanya Pak Umar setelah melihat wajah Imus dalam sayup-sayup penerangan lampu minyak tanah.

"Iko Pak. Inyiak sakik kapalo baliak manakiak tadi."
(Ini Pak. Nenekku sakit kepala setelah menoreh tadi.)
Buk Nur ikut bergabung duduk bersimpuh di atas dinginnya lantai yang diselimuti karpet pandan yang di rajut.

"Ka bananti ujan odo lu atau ka balongsongan? "
(Mau nungguin hujan reda atau kita terobos aja?) Tanya Pak Umar sambil menyesap gulungan tembakau berisi cengkeh yang diapit jari tengah dang telunjuk.

"Angsu lah Pak. Imus ly mambaok payuang tako. Takuik e Inyiak Ndak talok manunggu. Dek lah sakik Bana kapalonyo."
(Terobos saja lah, Pak. Imus bawa payung kok. Takutnya sakit kepala Nenek malah parah.)

Dua orang itu pun menerobos hujan dibalik masing-masing payung berwarna hitam. Jarak yang tak terlalu jauh, membuat mereka cepat sampai pada tujuan.

Didalam rumah kayu berlantai tanah itu, sudah berbaring nenek usia 67 Tahun yang merintih kesakitan sambil memegang kepalanya.

"Iko inyiak nyo sapo dek roh mah. Takojuik yo lo, dingin tapak kaki e. Kok dapek dialok tawow. Ado asam kape ndak nggak limo, aie dipinggan untuak paondom e?"
(Ini nenek di sapa Roh. Dingin telapak kakinya. Kalo bisa dikasih tawow¹. Ada jeruk nipis lima buah, air dipiring untuk merendamnya nggak?)
Kata Pak Umar setelah mengecek telapak kaki nenek yang memang bersuhu dingin dengan kepala yang panas.

Imus pun mengangguk dan segera mengambil jeruk nipis didapur berbekal penyinaran dari obor yang tadi sempat dia bawa saat menjemput Pak Umar dalam gelap dan derasnya hujan. Meski obor tersebut padam saat terkena percikan air hujan diluar tadi. Imus beruntung cahaya kilat bisa menuntunnya untuk berpijak menuju kediaman Pak Umar.

"Iko pak. "
(Ini pak.)
Imus menyodorkan 5 buah jeruk nipis yang masih hijau beserta satu piring lengkap dengan air didalamnya.

Pak Umar pun membelah dua jeruk nipis itu dan memeras nya hingga bijinya jatuh didalam air yang menggenang dipiring. Pak Umar membacakan Basmallah dan do'a diikuti piring yang sedikit digoyang-goyangkan hingga air tersebut bergerak membawa beberapa biji didalam air, tapi ada tiga biji yang tetap diam dipiring walau air telah menyapunya.

"Iko Iyo takojuik mah, Alok tawow dek e ny ko. Deyen Pai cari Alok e lu. Lay Ado sitawow, sidingin, sikumpey, siriah dokek ko?"
(Ini memang takojuik². Harus dikasih penawar ini. Saya cari dulu. Dekat sini ada daun sitawow, sidingin, sikumpey, sirih kan?)

"Lai pak. Bia deyen nan maambiak an. Laibatanam dimuko dangau."


SANDEIAN () Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang