Kawan Baru

16 8 0
                                    

"Makasih, Dokter Gani. Zahra pamit."
Zahra membawa keranjang makanan menuju ruangan lain, setelah berbincang dan berkenalan dengan dokter baru yang tampan. Bohong jika Zahra tak kepincut sama Dokter Riyan. Baginya Dokter Riyan punya pesona lain sebagai seorang pria.

"Bagaimana? Cantikkan?"
Tanya Gani sambil melahap nasi gorengnya.

"Lumayan. Kenapa tak kau halalkan?"

Uhuk, uhuk

"Ini minum."
Riyan menyodorkan air botol pada Gani yang tersedak karena pertanyaannya.

"Aku masih ingin menikmati masa muda. Menikahnya masih lama. "

"Memangnya berapa umurmu?"

"28 Tahun. "

"Yak, itu sudah tua. Bahkan aku harus memanggilmu Abang. " cibir Riyan.

"Memangnya usia mu berapa?"

"26. "

"Oh, sudah punya pacar?"

"Belum. Masih belum ketemu yang cocok. "

"Berarti kita sama. Tapi, jangan khawatir disini banyak anak gadis yang manis dan jago masak. "
Ucap Gani bangga.

"Lihat nanti. "

"Permisi, Dok. Ada yang ingin cek golongan darah. "
Ucap wanita berseragam coklat sambil membawa beberapa map di tangannya.

"Ya, tunggu sebentar. Makanannya tinggal sedikit. "
Gani melahap nasi goreng itu secepat kilat, membuat Riyan heran dengan pria satu ini.

"Pelan-pelan saja. Nanti tersedak lagi. "
Riyan pun berdiri mengikuti wanita berseragam coklat yang membawanya pada pasien pertamanya disini. Gani pun tak mau kalah, dia ikut bergabung sekedar menjelaskan beberapa hal jika Riyan masih tak mengerti.

"Sudah, tunggu di luar ya. "
Ucap Riyan yang telah mengambil sampel darah seorang pria muda, sepertinya anak SMA. Gani ikut melakukan tes pada setitik darah yang menempel pada persegi kaca.

"Ternyata kau sudah bisa. "
Ucap Gani kagum.

"Kau pikir aku tak butuh waktu lama mendapatkan gelar dokter. Tentu semuanya harus di uji dan berhasil. Apalagi, ini masih hal umum. Kau paham tentunya. "

"Ya, ku pikir sarjana sekarang sudah beda teknisnya. Apalagi kau bukan dari Universitas SumBar. Oh ya, dimana kau kuliah?"

"Hasanuddin. "

"Ya, itu sangat terkenal. Aku sampai bermimpi ingin menginjakkan kaki ke situ. "

"Namun, sayang. Kau disiram air oleh Ibu mu, saat asik bermimpi mengunjungi Universitas Hasanuddin. "
Ledek Riyan sambil tertawa alakadarnya.

"Itu tak lucu. "

Begitulah hari pertama Riyan bekerja di Puskesmas Tanjung Ampalu. Mendapat teman sekaligus pengalaman baru dalam hidup. Gani pun sangat senang akan kehadiran Riyan. Semenjak ada pria itu, dia merasa lebih semangat karena ada teman untuk bergurau.

"Kau pulang denganku saja. Kalau menunggu ojek jam segini susah. "
Begitulah tawar Gani, mengingat waktu sudah pukul 10 malam. Itu karena tadi cukup banyak pasien. Sekedar cek kesehatan atau mengobati pria terluka cukup parah akibat kecelakaan.

"Ok. Mumpung ada yang gratis. "
Riyan sambil terkekeh dan naik ke atas motor Gani. Gani langsung menancap gas menuju Nagari Tanjung yang letaknya bersebelahan.

Perlu diketahui, perjalanan berjalan mulus walau sempat was-was saat melewati pemakaman Suku Patopang Ateh Bukik. Rumah Gani sudah terlihat, namun jalan ke rumah Riyan terdapat dua jalan menuju Bukit Sopu. Yang satu jalan pintas harus menghadapi rintangan dua pemakaman Suku yaitu Patopang Bawuah dan Piliang. Sedangkan, yang lainnya agak memutar melewati SD 3 Tanjung, yang jalannya cukup sepi. Hanya ada satu rumah di sisi kanan dari arah pulang dan aliran sungai disisi kiri yang curam.
Pernah dikabarkan jika bagian sungai sepanjang jalan setelah Kantor Wali Nagari Tanjung pernah terlihat Buaya. Setelah melewati rintangan itu, kita akan melihat lima rumah dan satu Sekolah Dasar, barulah belok kanan melewati tanjakan menantang. Disini sudah terdapat banyak rumah berjejer bak perumahan dinas.

"Stop disini! Makasih, mampir dulu lah. "
Riyan mengajak Gani untuk mampir sebentar sekedar meminum kopi atau teh.

"Kapan-kapan lah. Takutnya ada yang numpang saat pulang nanti. " gurau Gani.

"Hati-hati, jangan ngebut. Nanti kau tak melihat gadis berbaju putih yang rambutnya panjang. "
Riyan langsung menakuti Gani yang nyalinya mulai menciut, terlihat dari jakunnya yang mulai naik turun ketakutan.

"Jangan sembarangan. Nanti kau yang didatangi dalam mimpi lagi. Apalagi kuburan di sebelah rumahmu. "
Ya, tepat disebelah rumah Riyan terdapat pemakaman Suku Piliang yang berjarak 15 meter dari kediamannya. Jadi, posisi rumah Riyan itu dikelilingi jalan yang berhubungan tadi.

"Amit-amit. "

"Ok, aku pamit. Besok WA saja. Biar aku jemput, daripada kau susah cari ojek. "
Ucap Gani, mengingat mereka sudah bertukar nomor telpon tadi.

"Sip, makasih banyak ya. "
Riyan pun menatap kepergian Gani yang terlihat buru-buru. Apa dia takut?

"Assalamu'alaikum Bi, Paman, Naya, Bian. "

"Wa'alaikum salam. Kok baru pulang? Bibi kira kamu tersesat tadi. "
Wanita usia 38 Tahun itu nampak risau. Apalagi Riyan sudah dianggap anak sendiri olehnya dan tanggung jawab Riyan sudah di percayai sepenuhnya oleh Abangnya Tomi, ayahnya Riyan.

"Tadi banyak pasien, Bi. Jadi, agak telat. Oh ya, dimana Paman sama adik-adikku. "

"Mereka sudah tidur. Naya rewel daritadi, mungkin ada yang mau meninggal. "
Terang wanita bernama Nina itu. Dia sempat khawatir kalau Naya, anaknya yang baru berusia 6 Tahun sakit karena menangis saja seharian ini.

"Apa kaitannya sama orang yang mau meninggal? Mungkin Naya tak enak badan. "
Riyan heran.

"Biasanya begitu. Tapi, kita lihat saja. Hanya Allah yang tahu. Oh ya, sudah makan belum?"

"Belum sih, hehe. "
Riyan bergegas ke dapur sebelum di omeli Bibinya.

"Kalau kerja itu boleh, tapi harus ingat waktu. Nanti, kalau sakit perut bagaimana? Kerja bisa ditunda dulu. Kalau sudah sakit, bagaimana kalau sakitnya mag yang berkepanjangan? Bisa-bisa ususmu rusak nanti. Ingat Yan, kalau sudah waktunya makan, ya makan. Jangan di tunda, paham?"
Tuh kan, baru disebutin.

"Iya Bi. Jangan keras-keras. Nanti yang lain pada bangun. "
Riyan menyantap nasi dilengkapi sambal ikan campur tempe yang di balur sambal merah jadi satu.
Rasanya enak.

"Besok kamu pergi kerja?"
Riyan hanya mengangguk lucu sebagai respon pertanyaan Bibi nya.

"Bibi hanya ingin kau menemui Pak Jorong sini, sekedar melapor kalau ada warga baru. Bawa KTP mu."

"Nanti aku akan mampir sebelum kerja. Mumpung Gani juga bisa menemaniku."

"Gani? Anak Bu Linda itu? Yang tinggal di dekat Kantor Wali?"
Nina tak asing akan nama itu.

"Iya, dia tinggal disana tapi aku tak tahu nama ibunya, hehe."

"Ya udah, terserah kamu. Bibi pergi tidur dulu. Yang banyak makannya supaya kuat dan sehat."
Nina segera berjalan menuju kamarnya setelah mendapat anggukan pasti dari Riyan. Rumah ini cukup besar, memiliki 4 kamar dengan satu kamar mandi disertai sumur dan bak air yang cukup luas. Mengingat suami bibi yang bernama Dodi bekerja sebagai petani dengan mengelola perkebunan sawah dan karet yang sangat luas. Dodi bekerja keras, bahkan di gelapnya pagi setelah menunaikan sholat subuh. Dia akan pergi berkebun dan pulang sore harinya.

TBC

SANDEIAN () Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang