Zaman Modern

18 7 1
                                    

Mentari menyahut menggantikan letak sinar bulan pagi ini. Tetesan embun dan cuitan burung di pagi hari menambah semangat seorang pria usia 26 Tahun itu. Memulai hari pertamanya sebagai seorang dokter di Puskesmas Tanjung Ampalu setelah susah payah wisuda dengan gelar dokter pada namanya, dr. Riyan Amri, S.Ked.
Jauh-jauh datang dari pulau Sulawesi bagian selatan tepatnya di Jeneponto. Tak membuat Riyan ragu demi mimpinya. Meski sempat dilarang orangtua untuk penempatan kerjanya yang jauh sekali. Harus bagaimana, toh pemerintah menempatkannya di Nagari Tanjung. Lagipula, menjadi dokter sepertinya sekarang sangatlah susah. Harus lulus berbagai ujian sama seperti yang dia lakukan dulu. Lulusan Universitas Hasanuddin ini, bertekad akan membuat keluarganya bangga akan prestasinya.

"Selamat pagi, uda dokter. "
Begitulah sapaan para gadis kurang belaian padanya di pagi ini, saat dia berjalan mencari tumpangan.
Riyan hanya tersenyum sambil ikut bersapa sewajarnya. Meski ada yang bertanya nama, umur, minta nomor WA nya. Riyan hanya tersenyum ramah dan memberi beberapa alasan agar tak diganggu gadis-gadis sini. Ya, siapa yang tak akan terayu untuk mengganggu Riyan, yang nyatanya sangat tampan, gagah, wajahnya di pahat akan rahang tegas dibaluri kulit kuning langsat khas Indonesia, hidung sedikit mancung dan bibir agak bervolume. Rerata dokter itu kan tampan dan fisiknya sangat OK.
Riyan lebih memilih naik ojek untuk sampai ke Puskesmas Tanjung Ampalu yang berjarak 2 Km dari kediamannya. 

Setelah melewati Pasar Tanjung Ampalu, terdapat penurunan yang masing-masing sisi terdapat persawahan hijau menyejukkan.
Motor berhenti di depan gedung dua tingkat bercat putih bertuliskan Puskesmas Tanjung Ampalu. Jejeran tanaman hias maupun obat mengitari gedung ini, menambah kesan nan asri.

"Selamat pagi, anda dokter baru itu ya?"
Sapa wanita usia kepala 3 pada pria keren dengan jas putih dokternya.

"Pagi, ya. Saya Riyan dari Sulawesi Selatan. "
Riyan sambil melihat sekeliling Puskesmas yang sepi, hanya ada dua perempuan yang duduk manis di meja resepsionis yang menyapanya kini. Serta beberapa pria berbaju dinas kecoklatan dan wanita berlalu-lalang.

"Woah, kau memang tampan ya. Sama kayanya di foto. Perkenalkan namaku Ratna Kumalasari, bisa dipanggil Ratna."
Sahut gadis berseragam hijau, sepertinya perawat atau suster disini.

"Oh, saya Khadijah Mirna. Kau bisa panggil Ijah. " jadi, Ijah adalah nama dari wanita yang terlihat berusia 30-an.

"Tentu. Hmm, bisakah kalian memberitahu dimana ruanganku?"

"Oh, mari saya antar. " kata Ijah sambil menarik tangan Pak dokter, namun dicercah oleh Ratna.
"Tidak, aku aja Uni Ijah."
Ratna tak mau kalah dia ikut menggenggam tangan kiri yang bebas dan menariknya berlawanan. Riyan yang tak nyaman pun menarik tangannya dan berdehem.

"Ya ampun, ado apo ribuik-ribuik pagi ko?"
(Ada apa ribut-ribut di pagi hari ini?)
Tanya seorang pria muda berseragam dokter sepertinya.
"Oh, uda Gani. Iko Uni Ijah dak tantu umua. Nak mandakek lo ka nan mudo ko. Apo salahnyo mangalah ka Ratna? Lagian mano namuah Dokter Riyan samo jando anak 2 kayak Uni Ijah tu."
(Oh, Bang Gani.  Ini Kak Ijah tidak ingat umur. Masih berharap ke anak muda. Apa salahya dia mengalah sama Ratna? Lagian mana mau Dokter Riyan sama janda anak 2 kayak Kak Ijah.)
Adu Ratna yang membuat Ijah melihatkan sisi garangnya. Daripada melihat kaum ibu-ibu berantem, Dokter Gani membawa Riyan pergi ke ruangan khusus dokter di bagian tengah gedung pada tingkat 2. Ya, gedung puskesmas disini 2 tingkat dengan sarana serta properti yang didanai pemerintah.

"Oh ya, namaku Gani Oktavian. Kau bisa memanggilku Gani. "
Riyan menyambut uluran tangan itu dengan senyuman ramah.
"Aku Riyan. Apa kau sudah lama bekerja disini?"

"Sudah 2 Tahun-an lah. Dimana kau tinggal? Kudengar kau dari Sulawesi Selatan. Kok bisa kau mengambil penempatan sejauh ini?"
Gani sambil duduk di sofa yang berjejer rapi di tengah ruangan berukuran menengah.

"Aku tinggal di rumah Bibi, kebetulan ada adik ayahku yang tinggal disini. Karena itu juga, aku berani ambil penempatan disini. Kau sendiri asli sini?"
Riyan juga ikut duduk santai melanjutkan obrolan, hitung-hitung cari teman.

"Ya, aku tinggal di Tanjung. "

"Wah, aku juga tinggal di sana, di Bukit Sopu. "

"Kebetulan tu, aku dekat Kantor Walinya dibawah Bukit. Apa kau sudah berkeliling disana? Apa kau sudah kenal dengan kembang desa yang amazing."
Gani menyerang dengan berbagai pertanyaan.

"Belum, zaman modern begini masih ada kembang desa, ya?"

"Kau belum melihatnya, makanya tak tertarik. Tapi, kupastikan setelah kau bertemu dengannya kau akan langsung jatuh hati. Apalagi dia anak Pak Jorong situ."

"Begitu. Apa puskesmas sering sepi seperti ini?"
Riyan memutar bola matanya menscan keadaan dibawah melalui jendela kaca besar yang menampilkan kesunyian dibawah sana. Tak ada yang mampir ke Puskesmas, hanya ada orang yang lalu-lalang mengendarai sepeda motor, beberapa mobil dan pejalan kaki.

"Kadang-kadang ramai. Soalnya masyarakat sini masih sering berobat ke dukun daripada ke dokter. Maklum kepercayaan akan hal gaib yang tak ditemukan obatnya di rumah sakit."

"Zaman begini masih percaya?
" Riyan sedikit heran, teknologi udah canggih bahkan belanja tak perlu keluar rumah sekarang. Namun, masyarakat masih belum meninggalkan kepercayaan mistis begitu.

"Begitulah. Oh ya, kau sudah sarapan belum?"

"Sudah tadi. "

"Sayang sekali. Padahal sebentar lagi ada gadis cantik yang bakalan ngantar makanan enak banget. "
Gani sambil mengangkat dua jempol tangannya.

"Kau sepertinya suka memerhatikan anak gadis orang, ya?"

"Hehe, biasa lah buat cuci mata. Lagian gadis-gadis di puskesmas sini banyak yang tak menarik. Contohnya dua orang tadi. Itu selalu ribut tak pernah absen. Bikin pusing saja. "
Gani menggeleng-gelengkan kepalanya heran.

"Assalamu'alaikum, nasi gorengnya Dokter."
Seorang gadis berbalut baju kaos biru dipadukan jins putih masuk ke ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka sambil menenteng keranjang berisi bingkisan makanan.

Dua dokter itu langsung memalingkan perhatiannya ke arah gadis bernama Zahra itu. Dengan make up tipisnya Zahra tetap dapat memikat hati para kaum adam dalam satu kali tatap. Namun, berbeda dengan Riyan yang tabiatnya bukan pria yang mudah jatuh hati pada gadis-gadis. Riyan memang susah dalam hal percintaan, itulah mengapa hingga saat ini masih single. Dia hanya pernah pacaran saat SMA, itu pun hanya berjalan 4 bulan. Karena Riyan tipe pria yang tak romantis dan lebih giat belajar daripada chat dan telponan tak jelas sama jodoh orang.

SANDEIAN () Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang