Kampoeng Halaman

10 2 0
                                    

Hari yang dinanti tiba. Mawar bergegas untuk berangkat pulang ke rumahnya. Tas besar sudah menempel di punggungnya tetapi bukan karena pakaian, melainkan buku pelajaran yang ia bawa untuk persiapan ujian nanti.

"Bismillahirrahmanirrahim." Langkah Mawar terhenti saat ponsel yang berada di sakunya bergetar.

"Assalamu'alaikum ... Mawaaar!"

Mawar mengerinyitkan dahi, menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Wa'alaikumussalam ... Biasa aja kali! Gue tunggu di gerbang asrama, cepett!"

Bukan balasan 'iya' tapi terdengar rengekkan manja dari sahabatnya itu. "Gue nggak jadi ikut,"

"Hah? Kenapa?"

"Gue tadi ditelpon, katanya mamih papih udah pulang kerja. Besok gue liburan ke Bali,"

"Oh gitu. Syukurlah, akhirnya lo bisa pergi bareng orang tua lo. Selamat liburan, jangan lupa bawa oleh-olehnya!"

"Sorry ya! Lo jadi pergi sendirian. Gue anterin ke terminal, ya?"

"Ngak apa-apa gue sendiri aja, gue bahkan lebih seneng lihat lo bisa liburan bareng keluarga."

"Kalau gitu hati-hati ya, cintaku. Assalamu'alaikum,"

"Juga cintaku, wa'alaikumussalam .... " Mawar menghela nafas kasar sembari mengantungi ponselnya kembali.

Jam sudah menunjukkan pukul 07:30 pagi, ia bergegas pergi karena takut bus yang ia tumpangi sudah pergi. Langkahnya kembali terhenti saat melewati asrama putera.

"Mawar!" panggil seseorang.

Mawar menoleh ke samping kiri, ia mendapati tiga orang lelaki sedang asyik berjemur di halaman depan asrama.

"Hati-hati!" ucap Bobby sambil melambaikan tangannya sangat tinggi.

Mawar hanya memberi anggukkan, lalu bergegas melanjutkan langkahnya.

"Tuh anak, kenapa? Dari kemarin aneh banget," gumam Mawar.

"Kalian yakin nggak akan bilang hati-hati gitu sama Mawar?" ucap Bobby dengan tawa ledeknya.

"Hilih. Bukan urusan gue, peduli amat sih!" ketus Aldo.

Dias hanya terdiam, tak ada yang tahu. Sebelum mereka mengucapkan 'hati-hati', dirinya sudah melakukan itu terlebih dahulu.

"Gue kepengen liburan, bro!" ucap Bobby.

"Serah lo!" ketus Aldo.

"Ya elah, gue tahu kalian bosen di sini. Gue punya ide, kita ke tempat yang masih alami gitu. Misal pedesaan gitu, soalnya gue bosen di Jakarta mulu!" saran Bobby.

"Ya elah, Bob. Kampungan banget sih!" ketus Aldo.

"Gue setuju." Dias melepas earphone-nya dan menjawab dengan spontan.

"Hah? Selera kalin kampungan banget sih!" Lagi-lagi Aldo mengelak keputusan kedua sahabatnya.

"Ya udah, gue berdua aja sama Dias! Ya, nggak?" ucap Bobby sembari merangkul pundak Dias.

"Hm."

"Oke-oke, terpaksa pangeran tamvan ini harus pergi ke kampung," ketus Aldo.

"Nah, gitu dong. Kita kemana, ya?" tanya Bobby sembari memasang dagu.

Dias beranjak dari duduknya, "biar gue yang cari."

Bobby dan Aldo menatapnya heran, tak biasa Dias seperti ini.

"Serius, lo? Lo yang bawa mobil, ya?" Bobby tersenyum semangat.

"Hm." Dias meninggalkan kedua sahabatnya memberikan seribu tanya.

"Tuh anak biasanya bomat. Tumben kek gini!" heran Aldo.

"Udahlah, nggak usah dipikirin! Mungkin dia butuh holiday karena murung mulu di kamar!" Bobby berjalan semangat menuju kamarnya, meninggalkan Aldo sendiri di taman.

"Gini, nih! Resiko punya temen kampungan!" gumam Aldo sembari beranjak dari tempat tidurnya.

***

"Maasyaa Allah," ucap Mawar saat melihat hamparan hijau persawahan di kampung halamannya.

"Eh, neng Mawar sudah pulang?" tanya seseorang yang sedang mengangkut tumpukkan padi.

"Eh, Mang Justin. Iya nih, Mawar kangen suasana yang adem gini."

"Eh. Jaja, Neng. Pasti heureuy teh kitu wae, haha." [1]

"Eh, 'kan Mang Jaja yang bilang suka Justin Bieber 'kan?"

"Eh, inget keneh ning. Nu nyanyina teh kieu .... " [2]

"Eh, Mawar pulang duluan. Soalnya ibu udah nungguin, Mang. Assalamu'alaikum .... " Mawar bergegas pergi meninggalkan pamannya sembari menggelengkan kepalanya.

"Eh, buru-buru pisan si neng teh. Ai rek nyanyi kalah kah ditinggalkeun, apan sorana alus kieu, duh." [3]

Langkah Mawar terhenti, memandangi rumah sederhana itu. Sudah satu tahun ia tak bisa menginjakkan kakinya di sana.

"Assalamu'alaikum .... " ucap Mawar sembari menoleh ke kanan dan kiri rumah.

"Wa'alaikumussalam .... " balas seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari rumah itu.

"Ibu selalu saja cantik dengan jilbab itu," batin Mawar.

"Ibuuuu, Mawar kangenn!" teriak Mawar sembari memeluk ibunya dengan erat.

"Aduh, anak ibu sudah besar ya."

"Refan sama ayah mana, bu?"

"Refan belum pulang sekolah, ayah palingan nanti larut malam."

"Oh gitu, ya. Bu, Mawar lapeerrr."

"Aduh kasian, ibu udah masak makanan kesukaan kamu lho."

"Maasyaa Allah, ibu masak opor?"

Bu Jasmin menganggukkan kepalanya disertai senyuman manis. Sudah hampir satu tahun ia tak melihat anak perempuannya ini.

***
Dias terdiam memandangi setumpuk buku di atas meja belajarnya. Kembali menghela nafas kasarnya.

Tok tok tok tok

Ia berjalan malas menuju pintu.

"Ada apa?"

"Kapan kita berangkatnya, bro?" tanya Bobby dengan semangat.

"Lusa."

"Hah? Serius? Cepet amat?!" Bobby tersentak mendengar jawaban temannya ini.

Dias tak menghiraukannya, kembali menutup pintu kamarnya. Lagi-lagi ia terdiam memandangi setumpuk buku menyerupai album yang ia ambil sore kemarin dari sekolah.

"Hurf. Apa keputusan gue bener?" gumamnya.

Dalam hatinya berulang kali membaca tulisan yang tertera pada buku itu.

"Identitas Siswa Kelas Sepuluh."


[1] Pasti heureuy teh kitu wae = Pasti becandanya gitu terus
[2] Eh, inget keneh ning. Nu nyanyina teh kieu ... = Eh, ternyata masih inget. Yang yanyinya tuh seperti ini ...
[3] buru-buru pisan si neng teh. Ai rek nyanyi kalah kah ditinggalkeun, apan sorana alus kieu = buru-buru banget si neng. Waktu mau nyanyi malah ditinggalin, 'kan suaranya bagus gini.



Terima kasih telah membaca😊

Perfect to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang