Prolog

152 3 0
                                    

"SENDU!"

Kepalaku berputar sembilan puluh lima derajat mendengar seruan dari arah belakang. Secara implusif aku berhenti. Mencari asal suara tadi dan menemukan rombongan manusia berbaju hitam yang kini memperhatikanku dari emperan toko roti yang baru buka-- tapi bukan mereka pelakunya. Orang yang memangilku barusan tengah melompat kecil dari kejauhan. Bisa kulihat ekspresinya yang seolah-olah meminta bantuan mendapati dirinya terapit oleh belasan orang di pinggir jalan.

"THUNGGUIN GUEHHH!!"

Bibirku berkedut kecil.

Perkenalkan namanya Dhenia Vitaloka, Dhea adalah nama panggilanya. Gadis dengan tas kuning nyentrik itu menghampiriku. Kami berada di persimpangan jalan raya tepat menuju ke arah gerbang utama sekolah kami, SMA Tripati.

Suara napasnya berhembus kencang. Bisa ku tebak 'lagi-lagi' dia berlari dari rumah sampai ke sekolah. Aku menggelengkan kepala membayangkannya. Dia memang seorang atlet lari sejati.

Pukul enam lewat dua puluh tepat. Aku sudah terbiasa datang dijam segini. Mungkin, karena jarak antar sekolah dengan kost-an ku cukup dekat hingga hanya memerlukan waktu 10 menit.

Sebagai informasi aku memang tinggal disebuah kost-an khusus putri. Tidak jauh, dan kebanyakan anak-anak yang berpergian sekolah sama denganku, berjalan kaki atau diantar. Itu semua karena peraturan sekolah yang melarang siswa-siswinya membawa kendaraan ke sekolah.

Aku tak tahu mengapa ada peraturan seperti itu namun, dari beberapa gosip yang ku dengar, sekolah kini dalam tahap renofasi sehingga parkiran serta lapangannya tak bisa digunakan seluruhnya. Itu sebabnya membawa kendaraan ke sekolah hanya akan memadati tempat saja.

Kami tiba di depan kelas. Pintu coklat dengan garis lurus ke atas itu masih tertutup rapat. Tanpa menunggu Dhea membukanya. Pemandangan pertama yang kulihat adalah tirai yang masih tertutup rapat. Padahal, sudah ada satu tas yang tergeletak di barisan paling belakang.

Aku mengedik, tak tahu. Berjalan ke tempat duduk sementara Dhea mencari saklar lampu.

"Sendu."

"Iya?" Aku menoleh.

"Temenin ambil pel-an yuk." Dhea berdiri di depan kelas.

Aku mengangguk. "Boleh."

Ini hari Selasa. Hari di mana aku piket bersama Dhea. Aku beranjak dari kursi menghampirinya. Kami berjalan beriringan ke luar kelas.

Pagi-pagi begini suasananya masih sangat kondusif. Langit berwarna biru terang dengan bau tanaman yang semalaman habis terguyur hujan, sangat menenangkan begiku.

Drumm Drumm

Drumm Drumm

Suara yang nyaring itu sedikit membuatku terperanjat. Aku melirik Dhea lalu mengikuti arah pandangannya. Disana, motor-motor besar dengan suara knalpot yang berisik masuk dengan teratur ke parkiran.

Ah ya, jika tadi aku bilang tidak ada satupun yang diperbolehkan membawa kendaraan ke sekolah, maka itu semua tidak berlaku untuk kelima orang di sana. Atau bisa dibilang, mereka kakak kelasku.

Yang paling menonjol dari penglihatanku kini adalah kak Aksa. Petir Laksa Anugrah namanya. Anak yang katanya cucu dari pemilik sekolah dari beberapa cerita yang ku dengar. Namun, sampai kini tak ada yang berani menjamin kebenarannya sebab cerita itu masih sebatas gosip dari mulut ke mulut. Tak ada yang pernah tahu mengapa kak Aksa terlalu biasa saja dengan peraturan di sekolah. Sedangkan guru-guru seperti memperbolehkannya. Atau, memang terlalu lelah hanya untuk melarang?

Dhea buru-buru menarikku saat kak Aksa menoleh ke arah kami. Aku hanya diam mengikuti. Pikiranku melayang tentang sosok lelaki dengan slayer hitam yang terikat di lehernya itu. Entah kenapa menurutku dia terlalu --misterius.

♧♧♧♧♧♧
Prolog selesai

You, Who I WantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang