Jilid. 10

35.2K 4.1K 62
                                    

Kala berusaha maksimal menormalkan laju jantungnya. Tiap kali ia entaskan rindu pada kedua orang tuanya—terutama Rianto, sang ayah—ibunya selalu bisa membuat ia kembali kerdil. Rindu yang demikian menyuruk harus susut karena beragam ucapan dari wanita yang mengandung dan melahirkannya itu.

Setiap kali ditanya mengenai pekerjaannya, Kala tau ia berdosa. Akan tetapi ia belum siap untuk mengambil risiko harus dipaksa kembali ke kampung halaman. Bukan ia sudah mulai merasa menikmati pekerjaannya, bukan. Kala memilih lebih baik di sini, ketimbang harus kembali mendengar banyak hal yang masih berlarian di kepalanya.

Satu hal yang pasti ia rasakan sekarang. Pedih tanpa luka yang tercetak di kulitnya. Ketika di akhir telepon, ibunya berkata, "Bapakmu titip pesan, jaga diri baik-baik. Kamu itu sekarang kembali di bawah pengawasan kami, Nak."

Rasanya ingin sekali ia membalas kata-kata itu namun, semuanya tercekat di tenggorokan. Apa mau Kala harus menerima ini semua? Sama sekali tidak. Kala mengerti maksud sang ibu baik. Mengkhawatirkan dirinya yang ada di perantauan. Selayaknya dua sisi mata pisau, ada yang tumpul juga ada yang tajam. Itu yang ia rasakan ketika mendengar kata-kata yang masih bergema di kepalanya.

Enam belas tahun lalu Kala menerima sebuah rasa yang berakhir dalam ikatan mahligai rumah tangga. Awalnya ia memang ragu, tapi pesona pria itu sungguh menyilaukan. Membuat dirinya buta akan cinta dan kasih yang diberikan sang pria. Semua hal mengenai pria itu sungguh membuat Kala merasakan hal yang berbeda mengenai arti cinta.

Mengenakan kebaya putih bertabur payet mewah, serta kain lilit yang cukup menyulitkan langkahnya tak membuat senyum dan rona bahagia lari dari wajah Kala. Ia benar-benar bahagia sebagai seorang perempuan. Menumpukan berjuta harapan akan masa depan pada pria yang dengan mantap mengucapkan ijab kabul di hadapan kedua orang tua, saksi dan juga penghulu.

Ketulusan, kesungguhan, arti sebuah kata tanggung jawab, imam yang baik, juga sukses dalam karir, semuanya ada pada pria itu. Begitu sempurna layaknya mutiara yang memukau setiap orang yang melihatnya. Kala berpikir, ia sangat beruntung dipersuntingnya saat itu. Menjalani kehidupan rumah tangga selayaknya pasangan yang harmonis, rukun dan akur, nyaris tanpa cela. Hingga apa pun yang dilakukan pria itu bisa ia dimaafkan begitu saja.

Betapa bodoh dirinya di masa lalu.

Waktu sengaja Kala biarkan berjalan. Langitnya masih sama. Cerah bertabur bintang. Embusan angin malam juga suara gesekan daun saling bersahutan terdengar olehnya. Pada akhirnya tempat ini dijadikan tempat favoritnya menghabiskan malam. Dilirik jam tangan perak itu, sudah menunjuk pukul sebelas malam. Walau kantuk belum mendera, ia harus tidur. Esok akan menjadi hari yang panjang.

Ia tak ingin mengambil risiko kelelahan mengikuti seorang Sheryl dalam kesehariannya. Sebelum ia memutuskan untuk tidur, ia memilih ke arah dapur untuk menyeduh segelas susu vanilla hangat.

"Kamu belum tidur?"

Kala hampir terjungkal saat mendengar suara berat itu menegurnya. Persis seperti maling yang ketahuan mencuri, Kala tidak berani mengangkat matanya dari marmer yang menjadi pijakannya. Bukan tanpa sebab, dirinya juga sedang berusaha menormalkan degup jantung saking terkejut.

"Mbak Kala?"

"Iya, Pak."

"Saya pikir Mbak hantu, lho."

Ingin rasanya Kala tertawa kecil tapi mana berani. "Saya permisi, Pak." Ia lebih memilih menyingkir dengan segera.

"Mbak enggak melupakan sesuatu?"

Kala menghentikan langkahnya yang baru saja beranjak. Keningnya berkerut mengingat hal apa yang ia lupakan.

"Susu Mbak Kala." Daru menunjuk menggunakan dagu pada mug yang ada di dekat kompor.

"Ah, iya." Kala tidak tahu harus menyembunyikan malunya dengan cara apa. "Sekali lagi saya minta maaf menggunakan dapur ini tanpa permisi."

Tawa Daru menyembur sudah.

"Mbak bebas menggunakannya. Saya tidak sepelit itu."

Bertambah sudah malu yang mendera Kala. Ia makin tak berani mengangkat matanya kecuali berjalan pelan menuju mug yang ditinggalkannya itu.

"Tapi..."

Karena ucapan Daru yang mengantung itu, Kala akhirnya memberanikan diri menatap sang tuan rumah yang berdiri tak jauh darinya. Pria itu menurunkan tangannya, memilih menyembunyikan di saku piyama. Berjalan dan duduk di kursi tempat biasa ia duduki setiap kali sarapan atau pun makan malam.

"Saya minta tolong buatkan secangkir teh bisa?"

Menimang sebentar sebelum akhirnya Kala mengangguk pelan.

"Dengan irisan lemon with less sugar, ya, Mbak Kala. Tolong."

"Iya, Pak."

Kala dengan sigap menyiapkan cangkir, mengisinya dengan irisan lemon tipis, satu sachet gula rendah kalori, dan menuang air panas sedikit. Mengaduknya hingga berubah warna dan aroma lemonnya mulai menguar, ia beri sedikit air biasa agar bisa segera dikonsumsi sang majikan. Setelah ini, ia akan segera kembali ke kamar. Menghabiskan segelas susu seperti rencananya, lalu pergi menyongsong alam mimpi.

"Ini tehnya, Pak." Kala mengangsur cangkir itu pada Daru. "Ehm... kira-kira ada lagi, Pak?"

"Enggak. Terima kasih tehnya, Mbak Kala."

***

Kala peka kalau Sheryl memberi batas padanya. Sejak kejadian malam ulang tahun Anka, Sheryl berubah. Gadis kecil itu jarang bicara dengan Kala. Sikap manisnya hanya ditunjukkan saat mereka berada di tengah Anna atau pun Daru. Selebihnya? Sheryl sama sekali tak menunjukkan wajah ramah pada Kala. Kata-kata ketus, teriakan, bahkan tak segan Sheryl sering membentak Kala jika dirinya tidak melakukan apa yang diminta gadis kecil itu.

Seperti saat ini.

Entah sudah berapa kali Kala menghela napas frustrasi dengan perlakuan gadis itu padanya. Hanya karena ia tak segera menemani anak itu belajar, Sheryl sudah berteriak tak keruan.

"Mbak tau enggak, sih, pelajaran matematika?"

Sabar, Kala. Sabar.

"Kemarin PR aku salah dua. Biasanya benar semua. Mbak kalau enggak ngerti bilang aja!" Mata Sheryl mendelik marah pada Kala yang masih tersenyum menatapnya.

"Coba Mbak lihat dulu, bagian mana yang salah."

"Udah deh, pokoknya salah! Kalau aku bilang salah, ya, salah!"

Kala mengambil tas sekolah gadis itu yang berada di sudut, memeriksanya. Sementara sang gadis kecil itu masih setia dengan tatapan garangnya. Saat menemukan buku yang dicari, Kala segera mencari lembaran yang menjadi tugas sang gadis kemarin.

"Kemarin Mbak, kan, sudah ajari Non tentang tambah di angka 8."

"Enggak!"

"Kita belajar lagi, ya?"

"Enggak perlu! Aku mau belajar di tempat les aja. Mbak emang enggak bisa!"

Kala mengusap dadanya lembut. Merapal banyak mantera sabar yang kini sepertinya menjadi sebuah keharusan bagi dirinya.

"Tunggu apa lagi, Mbak? Aku berangkat sekarang!"

"Tapi hari ini Non enggak ada jad—"

"Kalau aku bilang ada jadwal les, berarti ada! Yang punya jadwal itu aku. Bukan Mbak!"

***

Jangan lupa mampir ke story aku lainnya ya

LOVE YOU, OM judulnya.

Kisahnya bikin tegang 😅😅

(Repost) KALA MANTARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang