Langkah

13 1 0
                                    

Banyak yang bilang aku itu gila. Aku gak percaya rindu. Jelas, bagaimana aku bisa percaya jika aku tak mengindranya? Langkah untuk mencapai rindu sama sekali belum ku gapai.  Aku punya teman, ku panggil namanya Michel. Kemanapun aku pergi aku selalu bersamanya. Dikampus ada dua organisasi yang kerjaannya tubir mulu. Organisasi P dan H, Michel bergabung dengan organisasi P dan aku diorganisasi H. Orang bilang pertemanan kami tidak mungkin awet dan hangat.
"Cy kamu udah ngerjain tugas bu Indah belom?" Tanya michel yang berjalan disampingku.
"Belom lah kamu tau sendiri aku mageran banget, apalagi ama tugas ibu itu ih ribet. Paling besok langsung selesai seenggaknya h-3 kelar sih" kataku sambil berjalan dan memegang buku pengantar psikologi.

Aku bertemu michel karena aku melihat dia sendirian dikelas, yang lainnya seperti sudah saling mengenal. Aku adalah mahasiswa rantauan. Tak punya siapapun di kota ini. Orang-orang selalu bertanya alasan mengapa aku mau kuliah dikota mati dibandingkan kuliah dikotaku yang terang benderang dengan segala kebutuhan yang selalu ada. Aku biasanya hanya menjawab, "ya pengen punya kampung". Padahal begitu banyak alasanku untuk kuliah disini. Pertama pendidikanku dulu SMK Teknik, jalur undangan universitas bagus mana yang mau menerima anak teknik ke psikologi? Sakit jiwa juga mereka kalau menerima, walaupun kampusku yg sekarang menerima lewat jalur undangan sih hahaha. Kedua, aku ingin kuliah. Sejak dulu kuliah adalah cita-cita. Jika orang lain menjadikan kuliah sebagai jembatan untuk mencapai cita-cita. Nah aku menjadikan kuliah sebagai cita-citaku. Aku bukan dari keluarga yang serba ada yang bisa kuliah dengan leluasa. Ketiga, aku pengen kuliah di luar kota biar bisa naik pesawat. Betapa randomnya keingian ku.

"Ah kuliah di psikologi ribet, ngertiin orang. Enak juga jadi anak informatika. Ngoding kalo error ya dikasih tau terus benerin, selesai." Dumelanku dalam hati.
"Cy, kamu kenapa loh?" Kata michel yang melihatku bingung karena kekusutan mukaku.
"Ini ribet banget sih ngapain amat kita ngepelajarin cara manusia mengingat segala long-term memori gitugitu apa coba sih" (aku menaruh palaku ke buku berharap pelajaran itu dapat masuk ke otak)
"Wkwkwk kamu tuh gak bisa belajar banyak orang begini. Coba deh nanti kamu belajar sendirian aja di rumah" (dia tertawa sambil membereskan buku)

Langkah demi langkah ke kosan pun ku hentakkan. Demi mencapai kasur empukku yang tak seempuk kasur rumahku. "ah akhirnya bisa rebahan juga" (aku sambil tiduran dan mengarah pada sebuah fotoku bersama kekasihku) sambil duduk bertekuk lutut aku berfikir "ko aku gak bisa rindu ya sama kamu. Cintapun aku belum mampu. Apa aku ini kelainan yak?aku jahat banget gak sih sama kamu? Kamu emangnya gak ngerasa aku permainkan ya?" Aku terus merenungi kata rindu dalam fikiranku. "Aku janji deh buat nyari makna rindu supaya aku bisa ngerasain rindu ke kamu, kamu tungguin aku ya!" (Tanpa sadar tanganku sudah menggapai foto di depanku).

Aku janji aku akan menyusuri langkah demi mencapai sesuatu yang tidak rasioanal. Aku benci sesuatu yang tidak rasional dalam hidup. Tapi aku harus mencapai itu. Karena itu tentang belance antara 2 hal seperti rasional dan unrasional. Antara akal dan hati.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hegemonik RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang