"Mas mau mandi dulu, itu Ilmi lagi ngapain?" Mas Agung menunjuk ke arah anak pertamaku yang tengah menatap pintu kamar tanpa bersuara.
Kamar yang belum sempat kubersikan setelah tiga hari yang lalu keluarga kecilku pindah ke rumah ini.
Rumah ini sebenarnya rumah pusaka milik keluarga almarhum Pak Sarman, kakak dari nenek suamiku.
Terakhir kali aku ke rumah ini saat aku dan suami melayat ke Pak Sarman dan istrinya yang meninggal secara bersamaan. Banyak yang bilang kalau kematiannya karena terkena santet dan semacamnya.
Setelah kematian Pak Sarman (pemilik hak waris atas rumah ini), rumah ini dibiarkan kosong. Anak Pak Sarman sudah mapan sehingga lebih memilih membeli rumah dengan berarsitektur modern. Berbeda jauh dengan rumah ini yang lebih mirip bangunan kuno Belanda.
Aku sebenarnya sedikit takut saat mas Agung memutuskan untuk kembali menghuni rumah yang sudah lama kosong ini. Mau bagaimana lagi? Rumah Ibuku dan ibu mertuaku yang sudah tak memungkinkan untuk keluarga kecilku tinggal, mau tak mau harus mengalah.
Ingin mengontrak pun uang tak cukup, mengingat saat ini suamiku masih pengangguran. Terpaksa menempati rumah yang sudah termakan usia, juga tak terawat menimbulkan berbagai sisi menyeramkan di setiap sudutnya.
Yang membuatku ragu juga karena mas Agung belum meminta izin untuk kembali menempati rumah dua lantai ini.
Bukan apa, karena anak pak Sarman tinggal di kota, begitupun dengan pak Toha adik pak Sarman. Jika pergi ke sana artinya aku harus lebih mengirit, menyisihkan uang untuk ongkos pergi ke sana.
"Ilmi lagi apa?" tanyaku seraya membelai lembut puncak kepala anakku.
Aku sangat menyayangi Ilmi Faiz. Aku sangat bahagia ketika aku dinyatakan positif hamil setelah penantian panjang di pernikahanku yang sudah berjalan 8 tahun, waktu itu.
Hingga sekarang aku kembali diberi kepercayaan oleh Allah, dengan usia kehamilan empat bulan ini.
"Ada suara orang nyanyi ma, di dalem," ucap Ilmi. Tangannya bergerak terulur menunjuk pintu bercat putih yang sudah mengelupas.
"Masa sih?" Aku mendekati pintu, telinga kutempelkan pada daun pintu yang masih tertutup.
Lama, tapi aku tak mendengar apapun. "Ilmi ngga ada suara apa-apa nak." Aku menoleh ketika tak kunjung mendapat jawaban dari Ilmi.
Saat aku menoleh, Ilmi sudah tak berada di belakangku. Sekarang kulihat Ilmi yang tengah menatap ke tangga atas. Lagi, hanya diam tanpa suara.
"Ilmi sayang lagi ngapain?" tanyaku. Jujur saja aku sedikit merasa takut.
"Mama, dia siapa?" Ilmi menghampiriku, tangannya menunjuk ke arah tangga teratas.
Mataku mengikuti ke mana arah tangan Ilmi. Aku tak melihat siapapun, lalu siapa yang dimaksud Ilmi?
Aku memeluk Ilmi, membuat bocah polos itu menatap bingung ke arahku.
"Mama kenapa? Itu dia lagi sisiran, rambutnya panjang banget yah ma." Lagi Ilmi menunjuk ke atas tangga.Aku menggelengkan kepala, bergidik ngeri seraya menarik Ilmi memilih untuk masuk ke kamar yang tak jauh dari tangga.
Baru beberapa langkah melangkah, urung ketika mendengar ketukan pintu depan. Aku menoleh merasa heran.
Benarkah itu tamu? Disaat malam seperti ini? mengingat rumah ini sudah lama tak dihuni dan jauh dengan rumah-rumah lainnya.
"Ilmi masuk ke kamar yah, mama mau ke depan dulu." Membuka pintu kamar, mengisyaratkan anakku untuk masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH PUSAKA
HororKetika mata merah itu menatap Marni. Ketika kotak musik kuno itu terus mengalun, membiarkan para makhluk dengan banyak rupa itu keluar seperti asap yang mengepul. Pergi atau mati? Melawan atau mati? Bertahan atau mati?