Prolog

12 2 0
                                    

Brak

Sebuah buku tebal mendarat kasar di meja sudut perpustakaan. Menandakan seseorang yang memegangnya sedang meluapkan sebuah kekesalan.

"Giska, lagi ngapain sih? Aku bosan di sini. Bukannya tadi kamu bilang udah selesai?" Syla Ayunda Gandana menatap kesal pada gadis yang ada di depannya. Pasalnya ini sudah lebih dari satu jam sejak mereka mendudukan diri mereka di perpustakaan ini. Tapi nona Giska yang terhormat nampaknya masih belum bosan berkutat dengan laptop dan bukunya itu.

"Sebentar, Yun. Ini nanggung. Aku lagi nyari lowongan pekerjaan. Lumayan kan pake wifi, hemat kuota." Si kutu buku itu terkekeh tak bersalah menatap sahabatnya.

"Gis, apa masih kurang kerja jadi barista di kafe Bontana?"

"Ngga kok, ini buat kerja tambahan aja. Lagipula akhir-akhir ini aku punya waktu luang yang cukup banyak. Sayang kalau cuma dipakai rebahan tanpa masukin uang."

"Waktu luang apanya? Masih kurang sibuk? Kamu udah jadi sekretaris BEM, Barista, bahkan ketua BEM fakultasmu. Apa nanti ngga keteteran? Aku cuma takut, tidurmu nanti kurang terus sakit. Gimana, Gis?"

"Ya itu sih cuma masalah pinter-pinternya aku ngatur waktu, Yun. Ngga papa, ngga perlu cemas."

"Terus, udah ketemu lowongan pekerjaannya?"

Giska menatap Ayunda antusias, "Udah udah, Yun. Aku seneng banget serius."

"Apa apa?"

"Ngamen di Malioboro."

"Hah?"

***

Yogyakarta.
Rasanya tidak ada orang yang tidak mengenal kota magis ini. Terkenal memiliki berbagai wisata yang romantis membuat Yogyakarta masuk ke daftar salah satu kota wisata nasional.

Berada di kota ini adalah sebuah hal yang wajib disyukuri oleh Giska. Menempuh pendidikan di sebuah Universitas terkenal di Jogja, juga bekerja sebagai barista di kafe Bontana-kafe terkenal di Jogja adalah hal yang sangat membahagiakan untuk Giska.

Tapi ada satu fakta aneh yang dimiliki Giska yang tak jarang dipermasalahkan orang-orang terdekatnya.

Laki-laki.

Selain menjadi mahasiswi yang pandai berorganisasi dan mandiri, Giska juga sangat menyukai Fotografi. Tak lupa juga hobi dia yang sering sekali mendaki gunung.

Bukankah itu menjadi hal yang menarik bagi para lelaki? Namun sayang. Giska terlalu menutup diri.
Sang introvert itu selalu bersikap malu juga cuek jika sudah berhadapan dengan lelaki. Jika ditanya tentang laki-laki, Giska justru menjawab seperti ini...

"Memangnya kenapa sih? Aku ngga punya waktu buat mikirin itu, Yun. Lagian aku ngga minat pacar-pacaran. Buang-buang waktu."

Dan Ayunda lah yang akan menjadi korban ejekan bagi teman-teman kampusnya.

"Yun, kamu nempel sama Giska terus? Jangan-jangan kalian lesbian?"

Yang hanya dijawab, "amit-amit." oleh Giska.

Giska bukannya tidak mau dekat dengan laki-laki. Tapi Giska takut. Takut kalau kedekatannya berujung gagal sama seperti masa lalunya. Giska masih belum mempunyai jawaban akan setiap tanyanya. Giska masih bingung.
Jika dibilang Giska mudah jatuh cinta. mungkin iya. Tapi demi apapun, Giska masih belum bisa membedakan rasa kagum dengan rasa jatuh cinta.

Giska selalu kagum dengan paras laki-laki. Tentu, siapa sih yang akan menolak pesona orang ganteng? Namun, sepertinya itu hanya sebatas rasa kagumnya. Atau justru ia jatuh cinta pada pandangan pertama seperti di film-film yang sering ia tonton? Entahlah abu-abu rasanya.

Namun entah kenapa, jika ia dekat dengan seorang laki-laki, laki-laki itu juga sama dekatnya dengan teman atau bahkan sahabatnya. Ini yang seringkali membuatnya sakit sekaligus takut. Sakit karena ia tidak menyukai laki-laki itu dekat dengan sahabatnya, dan takut jika ia saja yang terlalu banyak berharap, dan justru laki-laki itu yang menyukai sahabatnya.

Terlihat sederhana. Tapi percayalah ini rumit dan menyebalkan.

Terlepas dari itu semua, ia masih berharap pada seorang laki-laki-teman masa kecilnya. Entah kenapa, Giska selalu percaya bahwa dia benar-benar jatuh cinta pada teman masa kecilnya itu. Dibuktikan dengan perasaan Giska yang masih sama sampai sekarang, walaupun sudah belasan tahun ia tak berkabar atau bersapa dengan teman masa kecilnya itu.

Dan bermimpi tentangnya, adalah sebuah kebutuhan bagi Giska.

Sungguh, Giska teramat menyayanginya.

Ya ... Walaupun rasanya teramat sakit.
Memangnya apa yang bisa diharapkan dari laki-laki yang bahkan tidak ia ketahui keberadaannya. Hanya puing-puing ingatan tentangnya saja lah yang menjadi bahan kerinduan Giska.

"Giska, bagaimana?"

"Apanya, Yun?"

"Yang kemarin malam itu lho. Katamu kamu ketemu sama laki-laki yang nyasar di selokan mataram?"

"Ngga gimana-gimana. Ya aku tunjukkin jalannya aja, terus udah."

"Dih kebiasaan. Ganteng ngga?"

"Ganteng."

"Asik nih. Petrus, Gis. Namanya siapa? Tau nomer WAnya ngga?"

"Apa sih. Aku ngga tau namanya. Ngga tau nomer WAnya juga. Lagian buat apa? Malu."

"Ya apa kek. Masa ngga nanya apa-apa ke dia?"

"Ngga, Yun."

"Dih pengen aku tabok kamu. Masa ngga sama sekali sih. Orang ganteng disia-siain. Parah kamu Gis."

Giska tersenyum, "tapi, aku kagum sama dia, Yun. Ganteng, tapi sayang kayaknya dia dari geng motor. Berandal dong. Takut ah."

"Serius? Mantap-mantap asik. Kayak cerita-cerita di Wattpad, Gis. Dia kayaknya anak pindahan ya? Sampai-sampai ngga tahu jalanan selokan mataram. Ya kan?"

"Pikiranmu, Yun. Fiksi mulu. Iya, dia dari Jakarta."

"Ih rezekimu tuh, Gis. Semoga dipertemukan kembali sama dia, Gis."

Amiin.

***

Sampai bertemu kembali dengan Giska dan Denta.

-00.00em

RENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang