Part 2

2 0 0
                                    

Matahari sudah hampir di atas kepala, aku baru saja selesai mandi mengenakan baju santai, ini adalah hari libur hanya nanti sore ada rapat, jadi masih bisa bersantai sambil menikmati acara tv.

"Pagi" ucap ku saat menangkap sesosok wanita sedang menikmati acara tv.
"Eh, pagi juga, baru bangun?" Ia menggeser duduknya mempersilahkan aku duduk di sampingnya.
"He eh, kemana Bibi Gil?" Sedari tadi memang ia tidak melihatnya walaupun hanya sekelebat.
"Oh, suaminya sakit jadi dia ijin pulang, tadi membangunkan mu tapi tidak bisa" jelasnya tanpa melihat ke arahku.

Aku tidur apa latihan mati sampai tidak bisa di bangunkan? Malu sendiri jadinya tapi biarlah.
"Kau belum sarapan ya? Mau aku buatkan makanan? Aku juga sedikit lapar" tawarnya sambil tersenyum ke arahku.
"Boleh" aku hanya tersenyum sambil melihat kearahnya yang berjalan menuju dapur.
Sebenarnya aku terbangun karena rasa lapar.

Aku berjalan ke dapur, melihat sesosok perempuan dengan cekatan memotong bahan-bahan makanan, aku tidak tau apa yang akan dia lakukan.

"Eh kenapa kau kesini?' ucapnya tanpa menghentikan kegiatannya.
"Tidak aku hanya ingin melihatmu. Eum, ralat melihat masakan mu" terlihat dia hanya mengangguk samar, aku mengambil tisu yang berada di meja sebrang mengelap di jidatnya.

"Apa yang kau lakukan" ucapnya sedikit gugup.
"Kau berkeringat, kalau jatuh ke makan, makanannya tidak higienis" matanya Melotot ke arahku. Aku tidak memperhatikan lantas pergi kembali ke ruang tv.

Tersenyum entah apa yang membuatku tersenyum. Ia begitu lucu, baru semalam bertemu tapi ia lebih dari seorang tamu, dia pintar mengambil hati, dia adalah teman baru yang sangat baik.

"Zivandra makanan mu sudah siap" teriaknya dari dapur. Aku lantas bangkit menuju sumber suara. Di atas meja makan sudah tersedia dua piring nasi goreng yang sangat menggiurkan.
"Wah, ini sepertinya sangat nikmat" ucapku sambil menarik kursi untuk melahap sepiring nasi goreng yang berada di depan ku. Dia terlihat juga menarik kursi di depan ku.

"Hai bisa kah kau makan di tempat yang berbeda, bukan apa hanya saja aku tidak nyaman makan berdua dengan orang yang belum terlalu aku kenal"  dia menatapku tajam lantas membawa makanannya ke ruang tv sambil mengumpat. Tak ku hiraukan aku lebih memilih melahap makananku. Tak ku sangka masakannya sangat lezat.

"Ehem" berdehem di belakang wanita yang sedang asyik menikmati makanan sambil menonton kartun, "nanti malam aku ada acara bisa kah kau menunggu di rumah?" Tanyaku setelah sekian lama menunggu jawabannya.
"Ralat nanti sore. Eum kalau kau tidak bisa kau bisa pulang, lagian ini bukan tempat penampungan" aku beranjak meninggalkan wanita itu.
'buk' satu bantal melayang ke tubuhku
"hai apa yang kau lakukan?" melempar bantal ke tempat asal.
"Apa kau bilang barusan hah? Saya bisa keluar dari rumah ini? Tapi saya memenuhi janji dari ibu anda. Saya orang yang selalu memenuhi janji, jika anda kurang berkenan anda bisa menganggap saya tidak ada, sampai janji saya terpenuhi!" nadanya meninggi, aku hanya Melotot tak terima berusaha menahan emosi.
"Ehem baiklah baiklah, terserah kau saja" ucapku seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Menyebalkan" ucapnya irih tapi masih terdengar jelas di telingaku.

Aku merebahkan tubuhku, mengambil hpku tidak ada satupun pesan masuk, menyebalkan. Yah aku mengirim pesan ke ibu.
'Bu, siapa wanita yang ibu kirim ke rumah?' yah tanpa basa-basi memang kebiasaan ku.
Lima menit kemudian sama sekali tidak ada jawaban. Aku melangkah menyiapkan berkas yang nanti akan ku bawa, hanya lima belas menit semua selesai.

'prank' suara sesuatu jatuh di bawah sana membuat niatku membuka hp ter urungkan. Aku melangkah ke sumber suara di sana kosong ada pecahan gelas dan genangan air berwarna hijau, mungkin itu jus.
"Eh" suara perempuan membuyarkan lamunanku.
"Kau yang memecahkan?" Dia hanya menunduk dan mengangguk samar.
"Yah cepat bersihkan, ini sangat berantakan, dan ingat jangan memecahkan gelas lagi, ini gelas mahal" aku menghembuskan napas berat lalu meninggalkannya.

Aku mengambil hpku di meja, mengecek pesan dari ibu.
'dia Dira, calon istrimu' hanya tulisan itu yang aku dapati. Mataku masih melotot, berkali-kali membaca namun tulisannya tak berubah.
'hah apa? Aku tidak mau di jodohkan, ibu tau kan?' balasku, aku masih belum paham dengan maksud ibu tadi.

Sehabis membaca pesan tadi, suasana di rumah terasa pengap dan panas. Aku memutuskan untuk berkeliling sambil menunggu waktu pertemuan nanti.

Aku membersihkan tubuhku, mengganti pakaiannya dengan setelan jas warna hitam mengambil berkas yang tadi sudah ku siapkan. Tak lupa memasukkan hpku ke dalam saku. Aku mengenakan dasi yang kemarin ibu kirim untukku.

Aku melangkah ke bawah, di ruang keluarga aku menemukan Dira sedang video call dengan wanita yang sangat tidak asing baginya, siapa lagi kalau bukan ibunya.
"Dira apa kamu belum mengatakan perjodohan ini sama Andra?" Ucap wanita di layar monitornya.
"Belum Bu, aku masih takut" balasnya sambil memperbaiki anak rambutnya. Percakapan itu terdengar jelas, jadi selama ini Dira tau kalau dia di jodohkan dengan aku? Tapi kenapa dia tidak memberi tau ku? Dia malam membohongi ku.

"Dira" aku memutuskan untuk menanyakannya. Dia menatapku kaget, ia tangannya berusaha memutus sambungan video call-nya dengan ibu.
"I..iya?" Jawabnya gugup, ia menunduk ketakutan. Yah aku tadi memangilnya dengan nada tinggi, mungkin ia kaget.
"Apa maksud semuanya" aku sedikit merendahkan nadaku. Dia hanya menggeleng tanpa menatapku, wajahnya yang selalu ceria seakan hilang begitu saja.
"Apa maksudnya jawab!" Dia hanya menggeleng sambil berjalan mundur menghindari tubuhku yang terus berjalan maju.
"Aa..aku tid, aww" tubuhnya menabrak dinding, tanganku mengunci kedua tangannya, tas kerjaku sudah jatuh sedari tadi.
"Apa yang kau inginkan?" Ucapnya panik, sambil berusaha melepaskan cengkraman ku.
"Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau inginkan? Harta? Status? Apa hah?" Nadaku mulai meninggi, cengkraman ku semakin kuat.
"Ahhh, sakit bisa kau melepaskan tanganku, aku tidak mau ap" tanganku meninjau tembok di sampingnya. Ucapannya terhenti seketika, wajahnya berubah bias, tak luput air matanya jatuh begitu saja. Aku meninggalkannya begitu saja tanpa  mengeluarkan sepatah katapun. Yah kini tanganku membiru, untung saja tadi tidak terlalu keras menghantam tembok.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 04, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang