Bersalahkah?

12 4 0
                                    


Hidupku kelam beratap kelabu. Takdir tak mesti jadi sesuatu yang sungguh berkalbu. Dimana keadilan ditegakkan, disaat tubuh biru ini, menggigil di balik jerusi besi yang penuh dengan karat kenaifan. Atas nama Tuhan, aku bersumpah bahwa diri, memang tak pantas dianggap bersalah. Aku takut. Bingung. Frustasi.

Apa ini karmah yang aku terima dari kelalaian menampis nasihat bapak?

Di saat mulut berbau asbak itu, berkata kepadaku bahwa keputusan bulat itu, bukanlah keputusan bijaksana. Aku minta maaf. Aku tak pernah berserapah bahwa peradilan di negeri ini adalah biadab. Tapi bagiku, yang bukan merupakan anggota barbar tersesat, keputusan itu dirasa, tak bisa dinalar logika walau hanya sebatas candaan lalat.

Cadar.

Apa yang salah dari kain lemas yang penuh denga penjagaan itu?

Teroris. Komunis. Aliran sesat!?

           

Serampah, cercaan, dan hujatan itu tak ubahnya sudah menjelma menjadi musik pahit yang kerap menusuk, menembus gendang telingaku, tidak hanya di permukaannya. Perih. Akupun  meringis.

Aku hanyalah gadis 18 tahun yang masih terombang- ambing di atas riak air yang terasa sesak. Salahkah aku , jika ingin mencari perlindungan besar kepada-Nya berperantara benda  licin gelap itu? Aku hanya ingin menyembunyikan raga dari sentuhan  makhluk- makhuk tak beretika yang kerap menghantuiku.

Aku menggigit jari kelingkingku keras- keras. Amis. Darah terasa pekat di ujung bibirku. Aneh, kenapa aku tak merasakan sakit? Ah, sudahlah! Itu sudah tak penting di bahas untuk saat yang kelam seperti ini.

Seekor kecoak berantena miring tiba- tiba bertengger lekat tepat di ujung jilbab panjangku. Aku tak menjerit. Namun, aku hanya, hanya tersenyum miris. Kupegang punuk keras kecoak itu. Kemudian, kutekan keras- keras hingga kaki- kakinya nyaris sejajar dengan tubuhnya. Aku tertawa. Apa aku sekarang sudah mulai gila? Kenapa aku merasa, setidaknya ada setitik kepuasan. Kepuasan yang membuat aku dalam seper sekian detik memutuskan untuk  menelan kecoak gepeng itu dengan wajah tak bersalah. Aneh, kenapa aku tak merasakan rasa apa- apa? Apa semua kini, sudah mati rasa?

Jreeeet… Jreeet… Jreet….

Jeruji besi seakan dikorek kasar. Ada sebuah sosok kelam berjubah putih yang datang menghampiriku, menembus jeruji itu.

 Tunggu, menembus? Sejak kapan manusia normal pada tabiatnya dapat menembus jeruji? Ini sudah mulai tak bisa dinalar logika. Tapi kurasa, aku sudah tak peduli.

Sosok itu semakin membuat jarak yang minim diantara kami. Dia menempuk pundakku, lalu mengangguk. Dari sudut manapun juga, aku tak dapat menangkap wajahnya. Tapi ada satu hal yang aku yakini dari anggukan dalamnya itu. Ia ingin, agar aku melihat sesuatu.

Akupun berdiri. Berjalan mengikutinya. Kami berjalan mendekati jeruji. Aku berpikir dan bersikeras bagaimana agar aku dapat menembus jeruji penjara yang sama sepertinya. Tapi, memang ini bukan saatnya bagiku untuk mendewakan logika. Aku mencoba berjalan dan menembusnya. Dan alhasil, itu memang berhasil.  Sudah kubilang ini aneh. Tapi, sudahlah. Aku tetap tak akan peduli.

Entah tadi jenis manusia atau mahluk apa, tapi kini aku tak berani berpikir bahwa Si Jubah Putih adalah seorang manusia. Wajahnya samar. Tertutup kain tipis putih pucat. Ia tak menolehkan kepala menghadapku. Hanya isyarat tangan tegas dan bercahanya yang kini sudah mulai menerangi koridor deretan penjara suram.

Tak kuasa pupil mataku mengecil di saat tiba- tiba seberkas cahaya putih, sukses sudah mengguyur koridor ini. Ini ruang hampa. Hanya ada satu layar proyektor kusam yang menjadi satu- satunya item di dalam ruangan ini. Kusapu pandangan elangku sesaat. Tak kudapati sosok Si Jubah Putih di sepanjang ruang hampa itu.

Layar itu terdegar sayup-sayup menggumam memanggilku. Takut-takut, aku pun mendekati layar putih kusam berdebu itu.

Kretek….kretek…kretek… tek.. tek….tek…

Layar raksasa itu berbunyi. Dari tubuhnya, aku dapat menangkap dengan jelas suatu tayangan aneh. Awalnya gambaran fakta tentang kebakaran hutan yang mengerikan, kemudian gempa, perang, tabrakan , perompak, serta para pemabuk.

Gambaran di layar kusut itu terus berganti. Berputar cepat, semakin cepat, sangat cepat, pergantian gambar yang luar biasa cepat! Hingga akhirnya, kecepatannya berkurang, berkurang, berkurang dan berhenti.

Dan sekarang, di layar setinggi pohon pisang itu, aku melihat….

Aku!

Aku di layar itu terlihat begitu ketakutan. Cadar gelapku basah oleh buih air mata.  Di sana, ada satu sosok laki- laki bersamaku di dalam ruangan setan itu. Jubahnya hitam. Panjang. Matanya legam, terlihat lapar.

Ya, kini aku telah ingat semuanya. Apa yang terjadi pada diriku, jiwaku, ragaku pada kala itu. Sesuatu yang pada akhirnya harus membuat aku mendekam telak di penjara. Kiamat semakin dekat. Dunia memang sudah tak aman. Setiap step demi step adegan itu aku amati sembari merenggangkan dahak yang terasa sesak.

Mungkin tak semua orang bisa membayangkan. Bagaimana dia menyentuhku. Memperlihatkan seringai nafsu tak beradabnya. Sakit. Dia sudah kehilangan akal nalar. Setan sudah menguasai otaknya. Dia, tokoh masyarakat besar yang sudah lupa akan keberadaan Tuhan. Tuhan Yang Maha Melihat, Tuhan Yang Maha segala- galanya. Apa ini salahku, atau salahnya?

Aku memang sudah tertipu. Wajahnya yang bermaknet aura perkasa. Dakwahnya yang bagai kalimat malaikat. Aku percaya, lalu tertipu. Untung saja aparat kepolisian datang menangkap kami dan memisahkan kami dalam sel penjara yang berbeda. Aku lega. Tampaknya, Tuhan masih menyayangi aku.

Parau.

Layar pengakuan dosa  tampak mulai redup. Tak ada yang tahu scenario apa yang akan terjadi selanjutnya, sebelum Si Jubah Putih tiba- tiba muncul kembali. Ia datang kepadaku sembari membawa sebuah kapak yang  tanpa diterka, ia layangkan kapak itu tepat. Tepat menyayat leherku.

Aku tak menutup mata. Tak menjerit. Tak ada rasa sakit. Hanya terkejut. Sedikit rasa terkejut. Akhirnya, aku terbangun juga,dari mimpi buruk itu.

***

Sel penjara yang kini menjadi tempatku berpijak setelah sekian pekan, dirasa tetap saja terasa dingin. Kini tubuhku sudah tak kuat menompa lutut kakiku yang semakin menyusut. Aku sakit. Sepertinya cukup parah, karena kini, aku terpaksa memuntahkan darah. Ini yang ke lima belas sepanjang enam jam belakangan ini.

Aku takut kematian. Aku masih belum siap. Tapi, aku juga tak merasa akan ada secuil kebahagiaan yang tersisa jika aku masih ditakdirkan untuk  hidup.

 Aku duduk bersandarkan dinding berlumut. Meraba- raba pijakan lantai semen ruang inapku untuk mencari debu. Akupun bersuci dengan tayamum.

Kerongkonganku kering, Pandanganku buram dan hidungku mulai basah. Aku menangis dalam diam. Sungkan pula aku kepada Tuhan. Bagaimana nanti, ketika aku harus menghadap- Nya?

Jreeeet… Jreeet… Jreet….

Untuk yang kedua kalinya, aku mendengar suara itu. Ia datang lagi. Menembus jeruji besi lagi.  Kali ini  jubahnya tak putih.

Hitam.

Aku berusaha tersenyum. Kupaksakan dengan keras agar pertanyaan itu kini dapat meluncur mulus dari bibir pucatku,

Haruskah Anda……

Haruskah Anda……

Haruskah Anda membawa aku,  pergi ke neraka?

***

(Oleh: Zilfania AM-pernah dimuat di Majalah Magnet) 

Dunia Penuh CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang