Mike
Rami langsung pucat saat aku pulang. Wajahku mungkin sudah mendingan, tapi di kemeja seragamku ada bercak darah. Jadi dia tahu yang tadi itu lebih parah dari biasanya.
"Aku tidak melahirkanmu untuk jadi tukang berkelahi, Mike!"
"Ya, kau melahirkanku untuk jadi tukang bersih-bersih toilet." Sebenarnya aku ingin berkata, kenapa kau bahkan mau mempertahankanku saat ada opsi aborsi? Tapi itu akan mengarah ke pembicaraan menyakitkan tentang betapa jalangnya dia di masa lalu, jadi aku menghindarinya.
Setelah meletakkan sepatu di rak, aku meluyur ke kamarku, yang sebenarnya hanya dua rak tinggi yang disusun sedemikian rupa membentuk ruangan baru di sudut ruang depan, dekat rolling door. Pintunya berupa gorden panjang. Ada kipas exhaust di lubang ventilasi jendela di atas rolling door, tapi udara di kamarku sendiri hampir tidak pernah bersirkulasi.
Rami juga tidak memiliki kamar yang permanen. Kamarnya di sudut dapur, berbagi dinding dengan kamar mandi. Hawanya lebih lembap di sana, bahkan beberapa kali dia mengeluhkan buku-bukunya yang berjamur. Bukannya dia tak pernah berusaha. Ini tempat terbaik yang bisa dia sewa saat ini.
"Kamu perlu ke dokter, Mike?" tanyanya dari luar.
"Jangan masuk, aku lagi ganti baju."
"Mau ke dokter?"
"Astaga, tidak," sahutku jengkel. Semua orang saja sama rewelnya. Tidak Rami, tidak Tikus Lab Nomor Satu.
"Apa kamu perlu pindah sekolah supaya tidak diganggu anak itu lagi?" Mata Rami berkaca-kaca saat aku keluar dari kamar untuk melemparkan seragamku ke mesin cuci.
"I'm good, okay? I enjoyed it, even. Nggak usah ngedrama setiap hari seolah-olah aku habis dibully preman sekampung. Ini cuma mainan ala teman seangkatanku."
"Tapi—" Rami menelan kata-katanya. Aku bisa membayangkan kira-kira apa yang hendak diucapkannya. Tapi bukankah itu sakit? Tapi bagaimana kalau suatu hari kamu tidak bisa terbangun lagi setelah terkena pukulannya?
"Ada kerjaan?" aku memantau kertas-kertas yang ditempelkan di pintu kulkas.
"Membersihkan sanggar Bu Roanna Silva Sabtu siang besok. Aku atau kamu yang pergi?"
Aku mendesah. Sanggar itu lumayan luas. Kalau artis teater itu mempekerjakan kami, artinya dalam waktu dekat ada pergelaran yang sedang digarap.
"Aku saja."
"Kamu kuat, Mike? Mungkin dia bakal sekalian minta rumahnya dibersihkan."
Rumahnya. Dua kali lipat ukuran gedung sanggarnya.
"Mereka selalu ngelebihin bayarannya, kan?"
Sebenarnya bukan hanya karena bayarannya yang mantap, melainkan ada seseorang yang jika aku sedang mujur, bisa kutemui di sanggar itu juga. Tapi belakangan ini sepertinya Roanna Silva mengubah jadwal kegiatan di sanggarnya, jadi murid-muridnya tidak perlu terganggu dengan kehadiran cleaning service.
Aku memakai seragam kerja andalanku, kaus lengan panjang belang-belang dan celana monyet denim yang sudah bulukan. Tidak lupa topi bisbol tim Baltimore Orioles oleh-oleh dari Tikus Lab Nomor Satu tahun lalu. Bukan tim lima besar di MLB, tapi menurutnya, "Logonya lucu." Tikus Lab Nomor Satu menyukai hal-hal yang lucu.
Setelah itu, aku menyiapkan segala peralatan di Corolla butut kebanggaan kami. Karena sudah terlalu sering melakukannya, kurasa memori ototkulah yang saat ini bekerja. Mode autopilot.
Rami masih cemas dengan lebam-lebam di wajahku saat aku berangkat. Padahal aku saja sudah lupa. Dia mungkin berharap aku menjadi cowok kalem manis seperti Ben, anaknya Bu Roanna Silva, tapi cowok itu kan aktor. Seorang aktor tidak memiliki kehidupan sejati. Hidupnya di layar kaca hanya sebatas skenario sedangkan hidupnya di dunia nyata diatur-atur oleh manajer atau semacamnya. Jelas tidak mungkin aku betah hidup seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Arson Project
Teen FictionTERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA Mike selalu ingin membuat Kara terpesona pada keahliannya. Buku keren, musik bagus, hingga api yang ia ciptakan dari batu. Namun sekeras apa pun ia berusaha, jabatan tertingginya hanya cleaning service di sangg...