Kara
Memasuki semester genap kelas 5, ada semacam kelompok teater yang mengadakan audisi ke sekolahku. Katanya, mereka hendak menggelar sebuah operet untuk anak-anak dan sedang mencari pemeran-pemeran yang tepat untuk para tokohnya. Seorang aktris ternama juga datang waktu itu, memakai baju serba putih yang modelnya tampak mencolok di antara seragam-seragam sederhana murid dan guru. Wajahnya yang hispanik juga tampak sangat salah tempat di sini. Luar biasa cantik sampai rasanya menakutkan.
Dia adalah Roanna Silva. Dia juga menjadi juri dalam audisi, yang entah mengapa harus kuikuti karena dipaksa oleh wali kelasku.
Orang-orang berkata aku pintar dan cantik dan cocok berakting. Padahal ketiga hal itu tidak berhubungan sama sekali. Mereka bahkan tidak peduli walaupun kubilang aku takut berdiri di panggung. Mereka tetap memaksaku karena sebagai anak pintar aku seharusnya bisa melakukan apa saja untuk mengharumkan nama sekolah.
Jadi aku mengikuti audisi itu tanpa berharap apa-apa.
Audisi diadakan di aula sekolah. Rasanya seperti mau ikut audisi Indonesian Idol, tapi bedanya aku tidak perlu bernyanyi. Aku diminta membacakan sebuah puisi. Itu sejenis puisi yang kusukai, tentang kepedulian pada orang-orang yang lebih tidak beruntung dari kita. Aku membacakannya dengan sepenuh hati, larik demi larik. Tapi sebelum aku berpindah ke bait kedua, Roanna Silva sudah menghentikanku.
"Oke, lolos."
Kedua juri lain mengangguk setuju hampir sama cepatnya dengan ucapan Roanna.
"Siapa namamu tadi, Sayang?" Dia tersenyum padaku.
"Kara."
"Baiklah, Kara. Kamu sangat berbakat membaca puisi. Saya sangat suka. Saya berharap kamu bisa membacakan puisi seperti itu di pementasan nanti. Apa kamu bisa bernyanyi juga?"
Aku meringis dan menggeleng. Jangan suruh aku bernyanyi, suaraku sumbang sekali.
"Sebenarnya kamu juga bisa berlatih vokal di sanggar nanti," kata juri lain.
"Intinya, kamu cocok dengan peran Kacang Panjang dalam operet ini. Dia suka membaca puisi dan wajahnya agak melankolis, tapi terutama dia sangat peduli pada teman-teman sayuran yang lain."
Duh. Satu-satunya yang konyol dari semua ini adalah cerita operetnya sendiri. Alih-alih tokoh dunia fantasi seperti pada Operet Bobo, tokoh-tokoh di operet ini adalah sayuran dan alat pertanian. Memangnya anak-anak yang kesehariannya menonton Naruto atau One Piece seperti abangku akan tertarik?
Sepulang sekolah, aku menunjukkan Mama formulir pendaftaran sanggat teater anak dan surat izin orangtua. Mama mengerutkan alis saat membacanya.
"Sejak kapan kamu tertarik sama teater, Dek?"
"Disuruh guru," jawabku kecut.
"Tapi sebenarnya Adek nggak mau?" Mama menatapku lekat.
Aku menggeleng pelan. "Tapi kata jurinya aku bagus baca puisi."
"Nanti kamu cuma disuruh baca puisi?"
Tidak, pastinya. Menyimak para juri saat membicarakan operet tadi, aku yakin akan banyak nyanyian, tarian, bahkan akrobat di panggung. Itulah yang kucemaskan.
Karena aku diam saja, Mama lanjut membaca kertas-kertas itu hingga selesai. Kemudian wajahnya terangkat cerah.
"Yang nyelenggarain artis terkenal lho, Dek. Boleh juga untuk pengalaman."
Aku terbayang adegan yang paling tidak kusukai dari buku To Kill A Mockingbird dan Wonder: pementasan drama. Tampaknya akan sangat membosankan.
"Orang-orang di sini nggak terlalu suka nonton operet, opera, dan sejenisnya, kan?"
"Belum tentu. Apalagi kalau diadain waktu liburan."
Yah, Roanna Silva bilang pertunjukannya memang akan diadakan pada liburan kenaikan kelas nanti. Mungkin aku bisa mengundang Mike.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Arson Project
Teen FictionTERSEDIA DI GRAMEDIA SELURUH INDONESIA Mike selalu ingin membuat Kara terpesona pada keahliannya. Buku keren, musik bagus, hingga api yang ia ciptakan dari batu. Namun sekeras apa pun ia berusaha, jabatan tertingginya hanya cleaning service di sangg...