_Esok Harinya_
Siang ini sepulang sekolah. Arif kembali mengunjungi Tata, di rumah sakit. Pagi tadi Mutya mengabari, bahwa sahabatnya itu sudah sadar. Arif bisa bernafas lega.
Arif menarik kursi, dan duduk di sebelah ranjang. Tersenyum kearah Tata yang menatapnya sayu. Arif usap lembut, kening Tata.
"Rif," ucap Tata lirih. Arif tersenyum. Tata mengedarkan pandangannya.
"Mama.."
"Tante Mutya pulang. Gue nggak tega, liat mama loe kelelahan. Makanya, gue saranin pulang dan istirahat," jelas Arif.
"Kaki gue, sakit," rintih Tata.
"Iya lah, sakit. Kan abis dijahit, kemaren. Untung aja, nggak ada luka yang lebih parah," balas Arif. Tata memijit pelan pelipisnya. Masih sedikit pusing.
Tangan Arif, beralih genggam lembut tangan Tata. Diusapnya perlahan, punggung tangan terbalut infus itu.
"Arif, gue...."
"Ssstt !! lupain aja !! gue nggak marah. Tapi loe harus tahu, Ta. Cowok nggak tahu diri itu, emang nggak pantes loe tangisin. Apalagi si cewek itu. Dia udah keterlaluan, ngejambak loe sampai kesakitan," jelas Arif.
Tata meneteskan air matanya, mendengar penjelasan Arif. Memang benar, Jevan harus ia lupakan. Percuma jika ia mengejarnya.
"Rif. Loe mau nggak, bantu gue lupain dia ?!" tanya Tata.
"Dengan senang hati, gue. Yang penting, loe sembuh dulu," ucap Arif.
Ia menghapus air mata sahabatnya, dengan kedua ibu jarinya. Keduanya saling melempar senyuman.
Tbc..