(2)

25 0 0
                                        

"Kenapa sih, Ibu gak cerai aja?!" Suatu malam Iklila bertanya pada Ibunya yang sedang mengompres pipi. Sedang Ayahnya sudah pergi entah kemana. Seketika Ibu menatap gadis itu tak percaya karena protes dengan cara yang mengejutkan.

"Kamu ngomong apa sih, La? Kenapa Ibu harus bercerai dengan Ayahmu?"
"Ibu! Aku bukan anak kecil lagi, tau?!"

Saat itu Ibunya hanya menghela napas panjang, wajahnya yang terlihat lelah menjadi semakin pasrah.

"Ibu tidak bisa. Keluarga ini selalu menjadi sorotan La, sedikit saja bergerak, media akan mengerubuti seperti lalat. Ibu tidak bisa membiarkan mereka membuat kita menjadi seperti barang kotor. Lagian, Ayahmu adalah pilihan Ibu, jadi Ibu harus bertanggung jawab untuk menjalaninya."
"Ayah memang melakukan hal kotor, Bu! Bisa-bisanya Ibu mau bertahan meskipun jadi babak belur begini! Gila! Aku gak nyangka punya keluarga yang segila ini. Laki-laki itu sudah gak cinta Ibu lagi, Ibu mau bertanggung jawab untuk orang yang tidak bertanggung jawab seperti Ayah?" Iklila seperti tak bisa menghentikan perkataannya. Sedang Ibunya terdiam lama dengan pandangan yang terlihat kosong. Namun setelah itu, dia memandang Iklila lembut. Senyumnya terlihat seperti bidadari. Bidadari yang terluka.

"Ibu bisa menunggu. Ayahmu gak sejahat itu,kok"
"Gila! Lama-lama di sini aku bisa gila!"

Setelah kejadian itu, Iklila remaja selalu mencari cara agar tak berada di rumah. Mendaftar ekskul tambahan, mengikuti les musik dan beberapa mata pelajaran, bahkan masuk ke salah satu perkumpulan kesenian pun dia lakoni. Apa pun selain berada di rumah. Puncaknya, Iklila memohon kepada Ayahnya untuk tinggal di tempat kost yang dekat dengan sekolah. Ibunya menangis, dia tahu ini adalah cara anaknya melarikan diri, namun dia tak bisa berbuat apa-apa.

Tiiiiiin. Ciiiiit.
Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar sangat dekat di telinganya, Iklila bahkan tak sadar telah menyeberang tanpa melihat sekitar. Dia yang masih berurai air mata seketika berhenti sambil membungkuk untuk melindungi diri, namun terlambat. Kemudian semua menjadi gelap.

****

"Aku cinta kamu"
Iklila tertegun, sendok berisi cappucino yang hampir menyentuh bibirnya menggantung lama. Perlahan, perempuan itu meletakkan sendoknya kembali dan menatap Irsya dengan pandangan membunuh.

"Kamu bercanda, kan?"
Iklila bertemu Irsya saat dia ke luar rumah untuk pertama kali. Laki-laki itu menyewa rumah kontrakan di samping rumah kostnya. Ketika itu, Irsya masih kuliah. Daerah itu memang pusat pendidikan, SD sampai Universitas menumpuk di sana. Setelah itu, mereka menjadi dekat, namun Iklila menganggapnya sebagai kakak, Irsya lah pelindungnya dari gangguan cowok-cowok usil dan iseng, juga gangguan pekerjaan rumah yang kadang-kadang di luar nalar.

"Nggak, aku serius. Kita sudah kenal selama 6 tahun, La'. Masa' sedikit pun kamu gak ngerasain apa-apa waktu ngeliat aku, sih?"
"Aku ngerasa tenang dan aman. Kamu kakakku, Sya"
Irsya terbahak, wajahnya menunjukkan dia tak mengerti, antara takjub dan tak percaya Iklila bisa senaif itu.

"Kalau gitu kamu sayang aku juga, kan?"
"Sya, kamu lah yang paling tau aku. Aku gak bisa ..."
"Ila', aku tau kamu gak percaya laki-laki. Tapi selama ini kamu percaya aku, kan? Karena itu, alu yakin bisa membuat kamu cinta aku. Beri aku kesempatan, beri kita kesempatan, La'!"

Iklila mendengus. Perempuan itu menundukkan kepala sembari menggeleng-geleng, seolah perkataan Irsya adalah hal yang paling menggelikan yang pernah didengarnya.
"Aku akan buktikan kalau aku pantas. Jadi, mulai sekarang, lihatlah aku sebagai orang yang cinta kamu, La'. Kamu pasti bisa bahagia"

Bagai asap, bayangan Irsya dan kafe favorit mereka memudar, diganti oleh suasana bioskop yang gelap. Di layar, credit film Rectoverso muncul memenuhinya, dan lampu kembali menyala. Satu per satu orang-orang mulai meninggalkan ruangan itu, namun mereka masih duduk di tempat masing-masing. Irsya menoleh dan melihat mata Iklila basah.

"Sedih ya, ceritanya" Iklila mengusap air matanya. Irsya terbahak, tak menyangka perempuan yang biasanya terlihat tegar itu sekarang menangis karena film.
"Gak nyangka kamu bisa nangis gini, La'. Seharusnya kan aku yang terharu. Curhat Buat Sahabat itu, kayak aku, ya? Bedanya, aku akan merjuangin kamu. Oiya, setelah ini kuanterin ke Denny's roti ya, gak usah berangkat sendiri. Udah kemaleman"

Iklila terpana.


(Bersambung)

Menunggu Hati Iklila (Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang