Prolog

3.9K 500 44
                                    


Dipa

"So, how's your day?" Jam sepuluh malam akhirnya gue bisa merebahkan diri di kasur.

"Not bad." Jawabnya. "Aku seharian ini di coffee shop temen."

"Mural yang kemarin belum kelar?"

"Belum."

"Berarti aku belum bisa kesana dong?"

"Iya. Minggu depan kamu bisa kesini pas aku udah selesai bikin muralnya. Aku kirim alamatnya barusan." Gue kemudian membuka iMessage dan mendapatkan share location yang Dia kirimkan. "Gimana hari ini?" Kini ganti dia yang bertanya. Suaranya membuat gue nyaman ketika lelah kayak gini.

"Aku seharian di studio, ada kerjaan yang harus selesai minggu ini." Kemudian kami hening sejenak, gue melihat langit malam Jakarta yang pekat. "Hari ini, ada kejadian yang bikin aku terjebak di studio seharian." Gue memulai untuk bercerita.

"Apa?" nada suaranya berubah menjadi penasaran.

"Jadi—" dan mengalirlah cerita gue malam itu. Begitu lama dan mendetail, gue bahkan sempat membuat mie rebus sambil terus bercerita. Lalu jeda sejenak karena gue tinggal buat mandi selama sepuluh menit, dan melanjutkan cerita gue dengan Dia melalui sambungan telepon yang sempat terputus.

Gue dan Dia, nggak sengaja kita tahu tanpa pernah bertemu. Waktu itu malam-malam sekali ada nomor asing nelpon gue, yaitu Dia. Dia menangis malam itu dan bercerita perasaannya tanpa gue bisa cegah.

"Sorry, gue random telepon orang pakai hape kakak gue." Katanya waktu itu. "Nomor lo ada di last call hape kakak gue. Jadi, gue telepon aja. Sorry kalau gue ganggu. Kenapa kakak gue nelpon lo?"

Well, gue juga merasa aneh malam itu. Seminggu sebelum kejadian telepon Dia, memang ada yang menghubungi gue buat pakai jasa gue untuk ngedesain rumah. Setelahnya, orang itu nggak menghubungi gue lagi dan gue lupa follow up karena minggu itu kerjaan gue lagi padet banget.

Hari itu.

Tepat setahun yang lalu.

Dia

Malam ini peringatan setahun kepergian Kakak. Dan malam ini juga tepat setahun aku secara random menelpon Dipa. Orang yang nggak aku kenal sama sekali dan menangis kayak orang bodoh di telepon. Tadinya malam itu adalah terakir kali aku menelpon Dipa seperti orang nggak waras karena malu. Namun, di tujuh hari peringatan Kakak, aku kembali menelpon Dipa. Selajutnya dan selanjutnya hingga menjadi rutinitas tanpa sadar bagi kami berdua.

Aku nggak tahu Dipa seperti apa, pun aku rasa Dipa juga nggak tahu aku seperti apa. I mean, physically. Karena kami berdua pernah sepakat untuk nggak mencari tahu latar belakang dan profil masing-masing secara mendetail. Aku hanya sebatas tahu kalau Dipa bekerja sebagai desain interior. Dan Dipa juga tahu kalau aku juga menggeluti bidang desain dan ilustrasi. Juga sudah setahun belakangan ini, aku nggak lagi menggunakan social media seperti instagram atau twitter. Aku juga nggak kepo akun social media milik Dipa.

"Eh, mungkin nggak kita ternyata pernah ketemu tanpa sengaja?" tanyaku.

"Aku rasa nggak." Jawab Dipa.

"Kenapa? Aku yakin setidaknya kita pernah berapapasan tanpa sadar."

"Karena aku tahu kalau itu kamu di sekitar aku."



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Scardey CatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang