"nilaiku 7 lagi. Padahal aku sudah belajar mati-matian. Kenapa sih, aku harus menerima takdir-ku sebagai remaja yang memiliki nilai pas-pasan! AH, MASA BODOH DENGAN MASA MUDAKU!" Teriakku.
"tak apa, mendapat nilai 7 juga bagus. ayah dan ibumu memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah saat bagi rapot nilai kami 7 semua. Alasan itulah yang kuajukan saat melamar ibumu."
Aku terkejut dan melihat ke arah suara. Ternyata ayah dan ibuku dari tadi di dalam kamarku. Bahkan aku tak menyadarinya.
"sejak kapan kalian di kamarku!"
" hehe, nih Hiroki! Antar makanan ini ke apartemen sensei!" Teriak ibuku.
"siapa? Sensei? Tak ada yang bernama sensei disini." jawabku.
"sudah, antarkan saja." tambah ayahku.
"kenapa sih kita harus mengantarkan makanan ke apartemen sensei gadungan itu?" tanyaku.
"enak aja sensei gadungan. Dia itu adalah sensei yang asli. Dia pembuat puisi yang indah. Walaupun tak terkenal, tapi puisinya sangat indah. Tak ada yang pernah membuat puisi seindah itu."
"lalu apa hubungannya dengan memberikan makanan kita kepadanya setiap hari? Akan kubilang padanya untuk memasak makanan sendiri."
Tiba-tiba ibu berdiri kemudian berlari ke arahku dan memukulku menggunakan kepalan tangannya.
"DASAR ANAK GAK TAU APA-APA!"
"ibu melakukan ini untuk menyalurkan naluri keibuanku ini. Padahal aku punya anak, tapi dia cuek terhadapku juga punya suami lesu yang cuma bilang "enaknya" setiap kali aku masak. Dalam kehidupan dimana ibu tak diperlukan lagi, hanya kehadiran sensei yang dapat membuatku menyalurkan naluri keibuanku ini."
Aku dan ayah hanya terdiam. Keheningan pun tercipta.
"baik-baik! Akan kuantar!" kataku memecah Keheningan.
-Antisosial-------------------------Antisosial-
Akhirnya aku sampai di rumah sensei. Aku tak mengetuk pintunya, tetapi aku menendang pintunya.
"hoi, keluarlah kau. Dasar sensei gadungan!"
Tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan seorang laki-laki berumur 16 tahun-an yang kurus, wajahnya bisa dibilang cukup tampan. Berkulit putih dan berambut hitam.
"siapa kau? Mau apa kau kesini?" selidiknya.
Sekilas aku melihat apartemennya. Berantakan sekali. Banyak kertas dimana-mana, tumpahan tinta dan ada bungkus makanan ringan berantakan di atas meja. Tunggu sebentar, aku melihat sesuatu berlari ke arahku kemudian melompat seakan-akan dia mau menerkamku.
"OH, HIROKI! KAU MENGUNJUNGIKU! teriak anak itu yang ternyata adalah Kotoishi.
"enak aja, memangnya ini apartemenmu? Aku yang membayarnya berarti aku yang tinggal disini! Teriak orang yang biasa disebut orang sekitar sebagai sensei.
"ini! Dari ibuku! Ambillah! Nanti aku akan kembali untuk mengambil mangkuk itu!" kataku tegas.
Aku agak kesal. Dia bisa dibilang orang yang cukup dewasa, tetapi kenapa dia malah mau bermain dengan anak-anak? Dasar orang aneh. Aku pun pergi
meninggalkan apartemennya.-Antisosial--------------------------Antisosial-
"Kenapa orang itu tadi, datang-datang marah-marah. Ah, lebih baik tak usah kupikirkan." gumamku.
"hoi, Kotoishi! Mau mie ini tidak!" tawarku kepada Kotoishi.
"maumaumaumaumau!" jawab Kotoishi.
Aku beranjak pergi ke dapur untuk mengambil dua sumpit. Setelah itu aku kembali ke ruang makan dan memberikan satu sumpit kepada Kotoishi.
"oishi!" komentar Kotoishi.
"ya, memang enak. Aku nanti akan belajar kepadanya cara memasak mie ini."
"sensei, ini bukan mie, ini adalah ramen."
"tapi ini berbentuk panjang, berarti ini adalah mie."
"TAPI INI ADALAH RAMEN! BUKAN MIE!"
"sama saja!" teriak seseorang dari luar.
Oh, ternyata itu Yura. Mau apa dia kesini.
"hai sensei!" sapa Yura.
"oh, hai Yura"
"mau apa kau kesini?" tanyaku.
"memang tak boleh kesini?"
"boleh sih, tapi bukankah kau terlalu sering ke apartemenku? Lagipula, jujur aku merasa keberatan dengan sikapmu. Kemarin kau ke apartemenku membawa banyak makanan ringan. Kemudian selesai makan, kau membuang sampahnya sembarangan."
"biarin." jawabnya cuek.
"Siapa yang membuat makanan ini?" tanya Yura.
"entahlah."
"itu Hiroki!" jawab Kotoishi.
"o." jawab Yura.
Tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki berjalan ke arah kami. Itu Hiroki. Dia pasti mau mengambil mangkuknya yang tadi.
"sensei! Mana mangkukku!" kata Hiroki.
"ini." kataku sambil menyodorkan mangkuknya.
"Hiroki duduklah disini dulu." tawarku.
"ya, Hiroki! Duduklah disini!" tambah Yura.
Akhirnya Hiroki duduk disini. Di hadapanku dan Yura.
"hei sensei, kenapa apartemenmu berantakan?" tanya Hiroki.
"oh itu-"
"dia adalah sastrawan. Dia adalah pembuat puisi yang indah. Walaupun dia tak terkenal tapi puisinya mampu menyihir orang yang membacanya. Emosi mereka akan tampak jika mereka membaca puisi buatan sensei ini."
Belum selesai aku berbicara dengan cepat Yura memotongnya.
"o-oh." jawab Hiroki.
"selama ini dia berusaha membuat puisi yang indah. Walaupun indah menurut orang lain tapi menurutnya, puisi yang dia buat adalah sampah. Bisa kau lihat ke belakangmu." jelas Yura.
Hiroki melihat ke belakang dan betapa terkejutnya dia. Karena ia melihat 5 tumpuk kertas di salah satu ruangannya.
"s-sensei, itu semua puisimu?" tanya Hiroki sambil berusaha menutupi rasa kekagetannya.
"ya, itu semua puisiku. Maaf jika apartemenku berantakan."
Tiba-tiba Hiroki merasa tersindir dengan kerja keras sensei. Hiroki yang selama ini belajar setengah-setengah lalu mengaku bahwa dia telah belajar sungguh-sungguh, tak ada apa-apanya dibanding sensei. Sensei bekerja keras untuk mendapatkan puisi yang terbaik sedangkan Hiroki belajar setengah-setengah lalu menganggapnya bahwa dirinya sudah bekerja keras.
"hasil terbaik itu didapatkan dari bekerja keras, bukan dari yang setengah-setengah. Jika kau setengah-setengah dalam melakukan sesuatu, maka kau akan mendapatkan hasil yang terburuk dari apa yang kau usahakan. Oleh karena itu lakukanlah dengan sungguh-sungguh!" nasihat sensei.
Hiroki merasa bahwa sensei bisa membaca pikirannya. Hiroki menangis mengenang masa lalunya yang selalu melakukan sesuatu dengan setengah-setengah.
"baiklah sensei, mulai sekarang aku akan belajar sungguh-sungguh. Akan kutunjukkan hasil bahwa aku tak setengah-setengah lagi. Oh ya, aku akan setiap hari kesini untuk belajar denganmu dan aku akan mengantarkan makanan buatan ibuku kepadamu. Terima kasih sensei!" tekad Hiroki.
Biasanya, jika ada orang yang dinasihati menjadi bersemangat maka orang yang menasihati ikut semangat. Maka ayo kita lihat isi pikiran sensei mengenai dialog tadi:
"bertambah lagi bebanku."
"lain hari, lain pula ganjaranku."
Ternyata sensei tak sependapat dengan kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
anti sosial
General FictionMenceritakan tentang seorang pemuda yang memiliki pengalaman buruk tentang masa lalunya dan akibatnya ia menjadi seorang "Hikikomori" atau anti sosial. Waktu pun berjalan, ia menemukan anak kecil yang ingin membuatnya menjadi orang normal pada umum...