Shalavwanza

2 0 0
                                    

            "Rein, nyampe jam berapa?" Kataku membunuh sepi di dalam kamar. Reina yang tengah sibuk dengan pikirannya menengok ke arahku.
            "Baru, enggak lama sebelum kamu. Gimana dijalan?"
           "Biasa.. si Tante tukang iseng gangguin gua mulu.." Jawabku malas.
           "Ohh.." Reina berpikir sedikit dan akhirnya mengerti siapa yang sedang kumaksud tadi.
          "Dia gimana kabarnya?" Ia kembali menatapku seolah bertanya apakah 'Dia' yang dimaksud adalah Dewata. Aku balas menatapnya seolah berkata 'iya'.
           "Loh, kok tanya gue. Bukannya yang deket sama dia elo ya? Hmm mungkin baik-baik aja."
            "Besok ke Shalavwanza yuk?" Tanyaku riang. Shalavwanza adalah nama sebuah restoran di Bali, semacam kedai, aku sering makan siang atau menghabiskan waktu untuk bantu-bantu disana. Pemiliknya kenal dengan aku dan Reina, dia saudaranya Dewata yang sudah seperti saudaraku sendiri.
            "Hmm.." Reina berpikir sejenak.
           "Gimana? Ayolahh.."
           "Okedeh.." Akhirnya dia setuju. "Tapi.." sambungnya "Aku mau Choco Float buatan kamu yaa..?" Liriknya manja.
          "Hahaha.. Iyadeh. Apa sih yang engga buat kamu.." Kami berdua tertawa. Malam itu tidak jauh berbeda dengan malam liburan lainnya di Bali, semua keluarga berkumpul saling menanyakan kabar dan mengobrol banyak hal sepuas hati seakan dunia akan selalu menjadi tempat paling menggembirakan yang pernah ada.
          "Gen," Suara khas yang ku kenali itu memanggil lagi dari kejauhan. "Lo gak akan ngelewatin ayam betutu gitu aja kan?" Tanyanya. Aku yang sejak tadi merenung menatap langit di luar akhirnya berbalik demi melihat sepiring ayam betutu kesukaanku yang dibawa Reina.
           "Hahahah.. Bisa aja ah. Makan bareng yo." Kataku sambil tersenyum simpul. Langit yang penuh bintang itu menghiasi makan malamku dengan Reina, dengan makanan kesukaanku juga pastinya.
Hari ini sangat melelahkan, aku harap bisa segera bertemu pantai dan angin laut. Tempat dimana aku bisa sepuas hati bermain dan melupakan semua hingar bingar di Jakarta. Sungguh aku tak sabar bertemu dengannya, ia tak pernah melewatkan kedatanganku ke Bali, bahkan sebelum aku sampai ia pasti sudah menungguku.
Aku rindu pangeranku...

***

          "Udah lama banget loh Gen, kamu gak kemari." Kata pria itu membuka percakapan sambil membereskan beberapa piring kotor di meja.
          "Ah masa? Perasaannya Bli aja kali, kan tiap liburan aku kesini terus." Kataku sambil melihat lihat menu yang makin hari makin bervariasi.
          "Hm iya, tiap liburan kamu gak pernah absen kesini. Tapi ya gitu.. " Ia menghentikan gerakannya, menaruh piring kotor di meja order dan menyandarkan tubuhnya kesamping sambil mengarah kearahku. "Lagian tuh ya kalo gak ketemu kamu seharii aja rasanya kaya setahun cyiin!" Ia mengeluarkan ekspesi anehnya ala bences sambil mengibaskan tangannya ke arahku setelah sekian lama aku tak melihatnya lagi. Orang itu selalu berhasil membuat moodku naik.
          "Haha.. Bli gayanya apaan banget deh. Bilang aja kalo kangen ga ada yang bantuin bikin float tiap hari."
Saking serunya temu kangen dengan Bli Benjou aku hampir lupa dengan pesanannya Reina semalam, terlihat dari raut mukanya sudah bete tingkat dewa memandangiku. "Bentar ya Rein.." Aku menghampiri Bli Ben dan bilang untuk izin pergi ke dapur. Sekilas kalau aku mengatakan Bli Ben jadi terdengar mirip BlueBand margarin itu, ha ha.. #Garing
           "Eh, Magenta? Kamu udah dateng, kapan nyampe? Mbok kangen banget sama kamu, dapur jadi sepi kalo gak ada kamu loh Gen." Seseorang mengagetkanku dari sebelah kiri pintu, ia seorang wanita yang menurutku masih muda dan belum menikah. Haha. Aku memanggilnya Mbok Anya, di Bali kakak perempuan dipanggil Mbok dan yang laki - laki Bli.
           "Iya nih, semalem baru nyampe. Genta juga kangen sama Mbok."
           "Oi, Magenta! Wah.. Apa kabar?" Muncul lagi orang abstrak lainnya setelah Bli Ben dan Mbok Anya,
          "Baik Tuk'a. Sendirinya apa kabar?" Aku menjabat tangannya yang kekar dan bersahabat.
          "Baik, baik. Wah kamu makin gede aja tiap hari ya?"
          "Hehe bisa aja nih, aku udah diet loh padahal." Lalu perbincangan singkat itu berlanjut satu dua kalimat mengingat mereka juga sedang bekerja, saat weekend ataupun bukan menurutku Bali itu tempat dimana liburan adalah setiap hari, jadi wajar kalau hampir semua orang terlihat sibuk tapi santai baik yang bekerja ataupun berkunjung. Lanjut dengan aku yang mulai sibuk membuat Choco Float untuk Rein.
          Di dapur, seperti hari-hari biasanya liburan di Bali, semua orang yang ada disana menyambutku dengan riang sambil melontarkan berbagai candaan khas orang-orang dapur Shalavwanza. Aku selalu rindu tempat ini. Waktu kecil aku pernah bermimpi ingin kerja disini dan menikmati hari - hari penuh keceriaan dimana tiap saat aku bisa bertemu dengan orang baru dari berbagai tempat, teman - teman di dapur yang ramah, dan terlebih lagi aku bisa lebih sering bertemu dengan Dewata tiap saat. Tapi tentah mengapa saat mulai masuk sekolah menengah aku hanya ingin kerja part time saja.
           Sebelum menghampiri basecamp tempatku biasa memasak, aku mencoba berkeliling dan mengobrol sebentar dengan teman - temanku disana. Banyak hal yang kurindukan, aroma masakan khas, obrolan yang berisik, orang - orang yang sudah seperti keluargaku sendiri semakin membuat suasana hidup. Jika berada di dapur aku selalu membayangkan aku adalah Linguini di film Ratatoullie yang sedang memasak bersama seekor tikus. Yah masa kecilku cukup menyenangkan. Di sisi lain dari Shalavwanza aku selalu punya tempat favorit di ujung restoran, dimana aku dan Dewata selalu bermain dan mengerjakan PR bersama. Lelah bernostalgia, aku beristirahat sebentar disana seakan lupa ada Choco Float yang harus aku buat.

***

MagentaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang