2. Lamaran

25 2 3
                                    

Pria itu mengelus wajahnya dengan kasar. Menunggu Ayahnya di bandara untuk menjemputnya benar benar melelahkan. Ia tiba, setengah jam sebelum Ayahnya selesai miting. Mau naik taxi online pun, ia di larang. Katanya akan di ajak ke suatu tempat.

Ia berdiri dari duduknya, menggeret kopernya keluar dari keramaian. Kaca mata hitam bertengger di atas hidungnya, sekaligus masker untuk menghindari fans brutalnya. Hodie hitam lengkap dengan topi berwarna hitam melekat sempurna pada tubuh atletisnya.

Ia berjalan dengan lelah. Cukup hampir bisulan menunggu Ayahnya di tempat tadi.

"Regan!" panggil seseorang, yang tak jauh dari dirinya. Regan menelusuri dengan kelopak matanya, mencari sumber suara itu.

"Ayah?" tanya Regan pada dirinya sendiri. Ia menurunkan kaca mata hitamnya, berusaha melihat dengan jelas. Tampak seorang pria bayah yang baru saja turun dari mobilnya. Tak jauh dari tempat Regan berpijak.

"Ayah kan bilang, tungguin disana. Jangan kemana-mana!" tuturnya dengan penuh penekanan saat sudah berada di depan putra semata wayangnya.

"Bisa bisulan pantat Regan, Yah,"

Sang Ayah terkekeh. Ia berjalan kembali ke arah dimana mobilnya terparkir.

"Ayok!" ajaknya. Ia mendahului langkah Regan, tanpa berniat membantu anaknya menggeret koper besarnya.

Regan mencibir, memutar bola matanya. Selalu seperti itu jika bertemu dengan Ayahnya. Namun mau bagaimana pun, Regan selalu menyayangi Pandu.

"Yah, kita mau kemana sih?" tanya Regan yang sudah duduk di kursi kemudi samping Pandu.

Pandu menoleh. Menatap putranya. "Dengar waktu Ayah nelpon, kan?"

Regan mengangguk. "Dengar," balasnya dengan datar.

"Yaudah. Nggak usah tanya-tanya. Sekali lagi nanya, Ayah turunin kamu. Terus suruh jalan kaki,"

Regan tertawa dengan miring. "Turunin aja, yang rugi juga Ayah,"

Ayahnya berfikir sejenak. Kemudian bergumam, "Iya yah?!"

Hal itu membuat keduanya terkekeh geli. Kemudian saling menatap, dari mata masing masing sudah terpancar seberapa sayangnya mereka pada satu sama lain.

***

Regan menatap kedua orang tua paruh baya yang seumuran dengan Ayahnya, sopan. Tak lama kemudian, seorang pria masuk dengan tergesa-gesa. Menyalimi kedua orang tuanya, dan tersenyum ramah pada mereka.

Regan memicingkan matanya, merasa jika pria yang baru saja masuk tidak asing baginya.

"Lo, Gio yah?" tanyanya. Keningnya masih berkerut bingung. Sementara Ayah, dan si empunya rumah tengah berbincang dengan ramainya.

Ia kembali duduk di tempatnya tadi. Pria itu tersenyum ke arahnya. "Lo masih inget gue?"

Regan mengangguk. "Astaga, lo beneran Gio?"

Gio ikut mengangguk, membenarkan pertanyaan Regan. "Kirain lupa. Sembilan tahun gue nggak pernah ketemu lo. Udah bangga aja lo," tuturnya dengan bercanda.

Regan memperhatikan penampilan Gio dengan seksama. Berbeda dengan yang dulu, pria itu kini tampak lebih ganteng dari sebelumnya. Dulu mereka memang bersahabat, tetapi berpisah setelah memilih di kota Jakarta untuk fokus pada cita-citanya.

"Kenapa lo merhatiin gue? Normal 'kan, lo?" tanya Gio, saat merasa di perhatikan oleh Regan.

Pria itu terkekeh. "Normal lah. Kalo nggak, gue nggak mungkin kesini,"

Jodoh Untuk AristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang