4. Pacar🥀

73 13 1
                                    

Didunia ini, ada banyak hal yang tidak aku suka. Salah satunya, terlibat urusan yang tidak penting dengan orang asing. Buatku yang antisosial ini, bertemu orang asing adalah kutukan yang harus selalu aku hindari. Huft, kesal.

Tapi seperti biasa, bumi memang selalu tidak suka padaku. Dalam seminggu ini, rasanya sudah lebih dari tiga kali aku harus menyesuaikan diri dengan orang-orang yang tidak ku kenal. Dan lagi, lihat sekarang, bagaimana semesta benar-benar menjebakku dalam situasi awkward saat empat orang laki-laki menatap kedatanganku di depan bangsal rumah sakit.

Kalau bukan karena handphone sialannya Liu Yangyang, aku tidak akan membuang waktu berbasa-basi disini.

"Hai, Athena ya?" sapa Winwin ketika aku sampai di dekatnya. Mengagumkan, bahkan dia tau namaku.

Aku tersenyum kikuk, as always.
"Iya, maaf saya nggak bisa lama-lama."

"Aduh, gimana ya?" Winwin tampak ragu ketika aku menyodorkan iPhone milik Yangyang yang sempat terbawa olehku.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tadi Yangyang bilang nggak mau ambil handphone nya kalo bukan kamu yang ngasih," kata Lucas yang duduk di kursi panjang sampingku sambil menggaruk belakang leher.

"Lho, kenapa?"

"Nggak ngerti, anak itu emang bandelnya udah level dewa. Tapi kalo nggak diturutin, dia nggak mau minum obat," jelas Hendery.

"Iya," angguk Xiaojun.
"Jadi kamu kasih sendiri aja ya? Bentar doang lagian. Nanti kalo udah kamu langsung keluar aja," imbuhnya.

Lalu mereka semua mengangguk bersamaan — menatapku penuh harap.
Aku diam sebentar, apa alasan Yangyang tiba-tiba ingin aku menemuinya? Mau bilang terima kasih? Bisa jadi.

Huft. Oke lah. Tidak akan lama juga sepertinya. Setelah mengucapkan 'sama-sama' padanya, aku akan langsung pulang. Lalu selesai.

"Ya udah. Saya boleh masuk sekarang?"

"Nah, gitu dong," Lucas tersenyum lega, lalu berjalan kedepan pintu dan membukanya.
"Silahkan masuk."

Aneh. Tapi aku tidak tau bagian mananya, perasaanku mendadak tidak enak. Dengan ragu aku melangkah masuk ke ruang rawat Liu Yangyang.

Ada rasa lega yang menjalar didadaku ketika melihat laki-laki itu sudah lebih baik. Dia disana, duduk bersandar pada sandaran ranjang sambil memainkan kertas origami.

Saat pintu dibelakangku tertutup dari luar, dia menoleh. Aku bisa melihat beberapa bagian wajahnya dihiasi lebam kebiruan dan luka-luka lecet lainnya yang sudah bersih. Tangan kirinya di perban entah kenapa. Rambut ungunya yang berubah warna menjadi agak abu-abu, sudah bersih dari lumpur.

Aku mendekat kearahnya bersamaan dengan seulas senyum simpul yang ditunjukkan laki-laki itu.

"Hai," sapaku.

"Hai. Duduk," suaranya terdengar lebih serak, dan itu membuatku dua kali lipat lebih gugub. Aku segera menarik kursi disamping ranjang dan duduk di atasnya. Yangyang masih menatapku tanpa mengatakan apapun sambil terus tersenyum.

Sial, aku degdegan.

"Terima kasih, ya," katanya singkat.

Aku mengangguk.
"Maaf, saya nggak sadar kalau handphone kamu kebawa," ujarku sambil menyodorkan benda pilih itu padanya.
"Tapi saya nggak buka apa-apa kok, beneran."

"Iya, aku tau," dengan gemetar, tangan kanannya terulur untuk mengambil handphone dari tanganku. Tapi belum sempat aku berkedip — bahkan belum menyelesaikan satu tarikan napas ketika tiba-tiba dia mencengkram erat pergelangan tanganku, menarikku sampai aku terduduk di samping pahanya.

[1] 𝐁𝐢𝐭𝐭𝐞𝐫𝐬𝐰𝐞𝐞𝐭 | Liu YangyangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang