Menunggu

84 4 0
                                    

Hari ini, diriku duduk mematut wajah di cermin. Memantaskan diri agar layak menjadi ratu sehari bagi sang raja yang akan tersemat di hati selama hayat masih dikandung badan.

Ikram, pria tampan yang kutemui dengan tanpa sengaja di negara yang terkenal dengan tembok Berlin-nya.

Dua tahun sudah cinta jarak jauh kami lakoni. Hingga sebuah janji 'kan kami ikrarkan hari ini.

Aku berduduk manis menunggu pangeranku menyambut tangan ini untuk disematkan cincin bermata putih yang berkilau. Sebagai simbol janji suci yang akan mengikat kami sehidup semati, menuju surga bersama.

"Din, sudah hampir pukul dua." Tiba-tiba Ibu datang menghampiriku di kamar.

Kutengok jam yang menempel di dinding bercat hijau alpukat, di kamar tidurku. Ya, jarum pendeknya hampir menunjuk angka dua dengan jarum panjang berada tepat di angka sepuluh. Aku tertegun.

Harusnya Ikram dan keluarganya sudah sampai sebelum pukul sebelas dan ijab kabul terikrar sekitar pukul yang sama.

"Kenapa mereka terlambat?" tanya Ibu dengan air muka sendu. "Ditelepon pun tak ada yang menyahut," ucapnya kemudian dengan lirih.

Aku pun sama. Berkali-kali kuhubungi Ikram dan tak ada jawaban darinya. Ada apa ini, apa yang terjadi sebenarnya? Apakah dia baik-baik saja?

Banyak pertanyaan berkecambuk di dada. Namun, tak satupun kudapatkan jawaban.

"Kak Dimas belum sampai, Bu?"

Ibu hanya menggeleng pelan. Syukurlah.

"Tunggu saja sebentar lagi, mungkin mereka terjebak macet. Tahu sendiri jalanan di Indonesia tercinta ini padatnya seperti apa. Aku akan coba menghubunginya lagi," imbuhku mencoba menenangkan Ibu, walau hatiku sendiri sedang gusar tak terperi.

"Baiklah kalau begitu. Ibu akan minta Pak Penghulu untuk menunggu sebentar lagi," sahutnya masih terdengar lirih.

Setiap nomor Ikram dan keluarganya yang tertera di ponsel, kuhubungi satu per satu. Aku mendesah. Serempak, semua nomor tak dapat lagi dihubungi. Membuat setetes bulir menjatuhkan diri tanpa sempat kujegal.

Ikram berangkat dari kota kelahirannya, Bogor. Kami masih sempat berkomunikasi semalam dan semua baik-baik saja. Namun, kenapa saat ini semua menjadi sulit untuk dihibungi?

Pikiran burukku berkeliaran di kepala. Mungkinkah mereka ... ah, tidak. Aku harus berpikir positif, mereka pasti baik-baik saja. Tidak, aku tidak boleh berpikiran yang macam-macam.

Bulir demi bulir berjatuhan tak terbendung lagi. Membanjiri pipi, menghapus perona dan riasan yang ter-aplikasi sejak fajar menyingsing.

Ikram, kamu di mana?

Dengan kegalauan yang semakin membuncah, Ibu kembali masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Matanya memerah lagi berembun. Beliau berjalan dengan sedikit gontai, membawa secarik amplop cokelat di tangan.

"Bu ...?"

Tak ada kata terucap dari bibirnya yang gemetar. Embun di matanya semakin menggenang dan dibiarkan menetes, mengalir menganak sungai.

"Bu, ada apa?"

Perasaanku semakin tak karuan. Ibu membisu. Bibirnya seakan menjadi kelu hingga tubuhnya luruh ke lantai dan tangispun pecah di sana.

"Bu ...?"

Kugoncang-goncangkan pundaknya, mengharap sebuah jawaban. Tangannya lunglai. Amplop cokelat yang ia pegang, tercecer di lantai. Kupunguti apa yang ada di dalamnya.

"Ikram ...."

Tubuhku luruh. Pandanganku kabur. Semua menggelap.

***

Beberapa jam yang lalu aku tak sadarkan diri. Foto Ikram dengan seorang gadis mirip denganku dengan gaun pengantin putih yang ia kenakan,  masih bertengger dalam genggaman.

Gadis itu, dia ....

Kulirik bingkai foto yang tersimpan sejak aku masih kanak-kanak. Kami, gambar diriku dan saudara kembarku Kak Dimas masih ada di atas nakas.

Pengantin Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang