Suara ketukkan menelisik indra pendengaranku, menuntun kedua manik mata mengarahkan pandang ke arah sumber suara.
Terlihat Ibu masuk dengan membawa sebuah nampan. Nampan berisi sepiring makanan juga segelas susu hangat.
“Kamu sudah bangun, Nak?”
Dia duduk di sampingku. Menatapku dengan mata yang sembab dan bola mata yang masih memerah. Diambilnya salah satu foto yang ada di tanganku. Menatapnya dengan lekat, sembari menaruh nampan di atas nakas.
“Siapa yang mengirimkan foto-foto itu?” tanyaku penasaran.
Ibu menengok, kemudian meraih tanganku dan mengelus-elusnya. “Dia bilang, sih, sepupunya Ikram,” terang Ibu. “Dia dikirimi via email dari Jerman dan dimintai untuk mengirimkan cetakannya untuk Ibu,” lanjutnya.
“Jerman apa? Ikram itu ada di Bogor, Bu!” ujarku mencoba menjelaskan pada Ibu. “Ibu tahu ‘kan, kemarin malam kami masih berkomunikasi?”
“Sudahlah, Din. Ibu tahu, kamu pasti sedih dan terpukul dengan pernikahan saudara kembarmu, iya ‘kan?” Wanita di hadapanku ini, mendengus kasar. “Ibu juga sama terpukulnya seperti kamu. Sedih rasanya, karena tidak bisa menghadiri pernikahan mereka,” imbuhnya disusul tetesan bulir yang langsung ia seka sebelum berhasil menerjunkan diri.
Astaga! Ibu malah menangis karena tidak bisa menghadiri pernikahan Kak Dimas, sementara aku? Tak adakah simpati untukku yang baru saja batal menikah? Kenapa Ibu selalu seperti itu, selalu pilih kasih.
“Tapi, Bu ….”
“Sudah, sekarang mending kamu makan, nanti kamu sakit lagi,” potong Ibu kemudian bangkit dan meninggalkan diriku, kembali sendiri.
Aku hanya bisa diam tanpa berkata lagi. Kupikir, saat dia menangis tadi, itu adalah tangisan untukku, karena pernikahanku. Namun, ternyata itu semua tak lain dan tak bukan hanya untuk kesedihannya karena tidak bisa menghadiri pernikahan anak kesayangannya.
Aku terdiam, air mata ini tak bisa lagi kujegal. Kubiarkan saja mengalir dengan sendirinya.
***
Larutnya malam, tak dapat terelakan lagi. Bintang-bintang, bertaburan seolah ingin memberitahu betapa cerahnya malam yang pekat ini dengan kehadirannya. Kuseka air mata, menghela nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar.
Aku meraih kunci motor, kemudian beranjak keluar dari kamar.
“Mau kemana malam-malam begini, Nak?” Ibu bertanya padaku. wanita itu bangkit dari duduknya dan menghampiriku.
“Aku mau keluar sebentar, mau nyari angin,” sahutku dengan nada yang datar.
“Mungkin, dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kamu tinggal di rumah saja. Lagipula, ini sudah larut, Nak.” Ibu mencoba mencegahku. Sebenarnya, ini belum terlalu malam. Jam, baru menunjuk pukul sepuluh lewat sedikit.
“Aku butuh udara segar, Bu. Agar aku masih bisa tetap waras!” ujarku dengan penuh penekanan.
Ya, waras dari segala kegilaan yang menghampiriku. Waras dari seorang Ibu yang masih bisa terlihat tenang melihat anak gadisnya batal menikah, dan malah lebih mengkhawatirkan pernikahan anaknya yang lain yang justru bersandirng dengan calon suamiku sendiri. Gila!
Aku berlalu tanpa mendengarkan perkataan Ibu lagi.
***
Suasana jalanan yang cukup lengang di malam hari, membuatku dengan leluasa memacu kendali kendaraan roda dua yang kutunggangi. Suasananya tenang, tapi cukup ramai. Berbeda dengan hatiku yang benar-benar sepi saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Yang Tertukar
ChickLitDinda, yang sudah berbalut gaun pengantin dan riasan ala-ala ratu sehari, tengah menunggu sang pangeran yang akan mengucap janji suci untuknya. Namun, apa jadinya kalau ternyata sang pangeran malah menikahi saudara kembarnya ? cek ceritanya lengkap...