Goes to Jerman

40 3 0
                                    

Wajah yang teduh dengan rambut dibelah menyamping berjambul, membuat dada berdesir seakan mengharuskan diri menyesali tindakan yang dilakukan beberapa tahun yang lalu.


Reyhan masih menatapku dengan senyum terkembang di bibirnya yang seksi. Jujur saja, sepertinya saat ini aku menjadi salah tingkah.


“Kok, malah bengong, sih?” Sebuah kalimat tanya yang terlontar dari bibrnya, membuat diri terkesiap.


Keningnya berkerut. Mungkin dia merasa aneh dengan apa yang aku lakukan saat itu, sambil merogoh gawai yang terus saja berbunyi dari kedalaman saku celananya. Aku hanya menggeleng kecil dan melangkahkan kaki untuk masuk ke dalam mobil.


Reyhan masih berbincang dan aku masih menunggunya.


“Em, Din, kayaknya kita gak jadi pergi, deh. Tiba-tiba aku ada urusan.” Reyhan berbicara tanpa mengeluarkan kata maaf terlebih dahulu. “Nanti kamu ngobrol saja dengan Ibra, aku sudah kasih tahu soal  rencana mengenai keberangkatan kalian ke Jerman. Itupun kalau kamu setuju.”


What? Ke Jerman?


”Gak apa-apa, kan, kalau kita tidak jadi pergi?” Dia ulangi lagi kalimat itu. Namun, kali ini dengan sedikit penekanan, seolah meminta diriku untuk secepatnya turun dari mobilnya dan membiarkan dia pergi menyelesaikan urusannya.


Untung saja aku berdandan ala kadarnya. Jadi, tidak terlalu terlihat kalau aku sangat menantikan bisa pergi bersamanya. Coba kalau memakai pakaian yang hampir saja kukenakan  tadi? huft.


“Kamu ngobrol saja dengan Ibra, ok.”

Secepat kilat, dia melesat bersama mobil sportnya tersebut. Meninggalkan diriku yang sudah sedikit berharap.


***

“Selamat pagi, Pak.” Sapaku pada pria tambun itu.


“Kenapa baru datang jam segini? Kamu tahu sekarang jam berapa?” Seperti biasa, dia awali hari-hari kami dengan omelan. Entah kami melakukan kesalahan ataupun tidak. Lemak di tubuhnya telah menyumbat peredaran darah yang membuat tekanannya meninggi. Untung saja pembuluh darahnya tidak pecah seketika itu juga. Dasar buntelan lemak! “Ini, saya minta kamu selesaikan laporan ini secepatnya!” Dia lempar sebuah map di hadapanku. Aku hanya diam sambil menatap tajam ke arahnya. “Kenapa melihat saya seperti itu? Kamu sudah bosan bekerja, hah?” Matanya kini melotot seperti ingin loncat dari tempatnya.


Aku hanya diam melihatnya mulai sesak nafas karena berteriak-teriak dari tadi. Dadanya yang busung, membengkak sampai menutupi leher, terlihat naik turun.


“Apa lagi yang kamu lihat? Cepat kerjakan! Kalau tidak, aku pecat kamu!”


Mendengar kalimat itu, aku langsung mengembangkan senyum. Itulah kalimat yang sudah kutunggu dari tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengantin Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang