Diakah?

24 2 0
                                    

Suara bantingan pintu mobil terdengar dari arah luar, berlanjut dengan ketukan sepatu vantofel yang beradu dengan ubin, menghentak berirama. Sepertinya, Bela sedang menuju kemari. Buru-buru kusembunyikan rangkaian bunga itu di bawah meja.

"Din, kayaknya aku langsung pulang aja, deh. Barusan Ranti nelpon minta aku ke tempat spa-nya. Mau ikut gak?" terang Bela sambil melongo di ambang pintu. Aku hanya diam mematung, menatap wanita itu dengan tegang. "Kok , malah bengong, sih? Mau ikut gak?" Nada suara Bela agak dinaikan.

"Em, kayaknya aku gak ikut, Bel. Masih capek!" ujarku sembari memijit-mijit tengkuk.

"Elah, nanti 'kan bisa ikut massage di tempatnya Ranti, massage gratisan. Yuk!"

"Iya, kapan-kapan aja, deh."

Bela mendengkus, "ya, sudah!" Sambil berlalu pergi dengan bibir yang sedikit dibulatkan.

Kuraih buket bunga yang ditaruh di bawah meja, membawanya ke kamar dan meletakkannya di atas tempat tidur sementara diriku membersihkan badan.

Malam ini, entah kenapa tubuhku terasa agak sedikit relaks. Bau wangi bunga yang menyebar keseluruh ruang di kamar tidurku, membuat tenang untuk sejenak. Entah karena bau wanginya, ataukah perasaan lain dalam hatiku. Ah.

***

"Din, bangun, Nak. Kamu gak pergi kerja?" Samar suara Ibu menelisik telingaku. Ditepuknya pelan pundak ini, membuat aku mengerjap. "Bangun, Nak, sudah pagi," bisiknya lagi.

Kuraih jam yang ada di atas nakas, dan ....

"Astagfirullohalazdim, kok, Ibu baru bangunin, sih!" Aku langsung bersiap. Tak ada waktu lagi bahkan untuk saparan sekalipun.

Kupacu kuda besiku untuk mencapai tempat kerja, membelah jalanan, menerobos kemacetan yang sudah tak bisa terelakkan lagi. Beruntung, aku masih punya waktu sepuluh menit sebelum bel kantor berbunyi.

Kuempaskan tubuh ini di atas kursi, membiarkan penat menguap sebelum memulai aktivitas seperti biasanya.

"Din, ke ruangan saya!" ujar Pak Erga secara tiba-tiba. Entah datang dari mana, pria tambun itu seketika ada di hadapanku kemudian berlalu melengos ke dalam ruangannya.

"Iya, Pak?"

Aku berdiri di hadapan pria dengan bobot badan yang kutaksir pasti lebih dari satu kwintal itu. Wajahnya masam, seperti biasa. Namun, kali ini dia nampak kesal karena hidungnya kulihat kembang kempis dengan nafas yang terengah dengan bahu yang naik turun.

"Sudah berapa lama kamu bekerja di tempat ini?" tanyanya dengan nada suara yang berat.

"Em, sekitar empat bulan, Pak."

"Baru empat bulan tapi sudah banyak gaya!" ujarnya membuat aku terheran.

Memang apa yang telah aku lakukan? Beberapa kali kami memang sempat berdebat mengenai suatu hal, tapi semuanya akan beres hari itu juga dan itu wajar dalam pekerjaan kami. Sepertinya kemarin tidak ada hal aneh yang kulakukan, lalu apa yang membuat dia kesal dan mengumpat seperti itu?

"Maksud Bapak apa?" tanyaku tak terima.

"Teman kamu, siapa itu namanya? Yang kemarin melamar kerja?" Dia balik bertanya.

"Yang kemarin interview? Ibra, maksud, Bapak?"

"Nah, iya!" ujarnya sambil menggebrak meja. "Kurang ajar sekali dia! Masa saya telepon untuk interview selanjutnya, dia malah bilang 'Maaf, Pak, sepertinya saya tidak akan melanjutkan di perusahaan Bapak karena saya sudah dapat pekerjaan lain.' begitu katanya!" Pak Erga menyepertikan apa yang Ibra katakan dengan bibir mencebik.

"O iya?"

"Apa kurang jelas yang saya katakan?" Sorot matanya tajam seolah ingin mencabik-cabik diriku. "Harusnya dari awal saya tidak usah menerima orang yang kamu rekomendasikan itu. Dasar kaum belagu!"

Pengantin Yang TertukarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang