Tulisan Tentang dan Untuk Langit
......Hai, Kamu?
Hmmm.. kamu... masih ingat nggak, ya..? Kalau kutebak, pasti sudah lupa. Karena... apa, ya..? siapa juga yang peduli dengan momen yang cuma sejenak itu? Sayangnya aku peduli. Aku selalu peduli.
Aku masih ingat itu. Memori tentang masa-masa itu bahkan masih kusimpan dengan baik. Tapi.. sekarang aku mulai takut. Ya. Kamu benar. Aku takut lupa. Aku takut dengan semakin beranjak dewasanya aku, aku akan melupakannya dan juga kamu. Tapi kamu harus percaya kalau aku sangat-sangat nggak ingin lupa.
O iya, tulisan ini akan berisi tentangmu. Karena tulisan ini memang sengaja kubuat untukmu. Aku harap kamu akan tahu meskipun sebagian besar diriku menolak agar kamu tetap saja dalam ketidaktahuanmu.
***
Di bangku sekolah, saat jam istirahat, di saat semesta sepertinya sengaja memberi ruang untuk kita berdua...
"Langit, nama adikmu siapa?"
"Jingga. Namanya Jingga."
Kamu tahu tidak? sejak saat itu, sejak aku bertanya padamu, aku sudah mulai tertarik. Bukan! bukan langsung denganmu, tapi dengan ceritamu tentang adikmu. Kamu bilang adikmu bermata sipit, berkulit putih, dan.. apalagi, ya..? Dia masih kecil dan akan sekolah di tempat kita sekarang jadi alumni. Aku jadi bisa membayangkannya. Dia pasti mirip sekali denganmu dan ternyata benar, ya? Dia adalah kamu versi perempuan. Dia cantik juga lugu. Binar matanya terlihat polos sekali, Langit. Setidaknya, waktu melihatnya langsung- beberapa hari setelah percakapan kita itu, kesan pertama untuknya dariku adalah seperti itu.
"Aku juga punya, namanya Pelangi."
Kamu.. masih nggak ingat juga? Saat aku juga memberitahumu tentang betapa bersyukurnya aku saat aku akhirnya mempunyai seorang teman untuk kuajak main di rumah. Kita jadi bertukar banyak cerita setelah itu. Kamu bahkan memberitahuku arti dari nama lengkap adikmu, begitu juga aku. Tapi kamu lupa, kamu lupa memberitahuku arti dari namamu sendiri, sementara aku sudah.
***
Sejak saat itu, entah hanya aku yang merasakannya atau bagaimana, yang jelas aku merasa kita semakin dekat saja. Apalagi momen itu, satu momen yang tidak pernah kuharap akan hilang dari ingatanku.
Kamu orang pertama yang mengenalkanku pada musik, Langit..
Kamu ingat tidak, ya? Hmm.. aku akan sedih kalau kali ini kamu lupa. Karena waktu itu, kamu bahkan sampai menuliskanku lirik lagu itu. Kita hanya berjarak satu meja, Langit. Waktu itu kita memang sedekat itu! Saat kamu fokus mengingat lalu menulis sajak-sajak lagu dari penyanyi favoritmu itu.
Setelah itu, kamu menyanyikannya untukku. Masih lupa tidak, ya?
Langit, kamu bahkan memintaku untuk membawa kertas itu pulang. Kertas berisi tulisan tanganmu. Kamu menyuruhku menghafal lirik lagu itu, agar kita bisa menyanyikannya bersama. Iya, kan? sampai sini, kamu sudah ingat belum, ya? Aku penasaran.
***
"Kenapa pesawat?"
"Kenapa kereta api?"
"Kenapa langitmu selalu kauberi warna jingga?"
Kamu masih ingat tidak pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan untukmu waktu itu. Lupa, ya? Kamu nyebelin, Langit. Waktu itu aku sangat antusias menunggu jawabanmu, Langit. See? Aku bahkan mengingat detailnya dengan sangat baik.
Aku selalu kalah denganmu kalau soal menggambar. Aku nggak suka mengakui ini- tapi karena ini tentangmu, maka aku harus. Kamu adalah permakluman yang paling sering kumaklumi, Langit. Kamu harus tahu itu sekarang.
"Ra, lihat, kereta apinya beruap! Menurutmu, warna cokelat ini cocok tidak, ya?"
"Lihat, aku sudah gambar pesawat semalam. Menurutmu bagaimana?"
"Matahari tenggelam di sebelah sini, Ra. Bukan pada sisi yang kamu tunjuk."
Keterlaluan memang kalau kamu sampai melupakannya. Apa.. ya.. yang membuatmu begitu menyukai jingga? Yang membuatmu selalu melukis langitmu dengan warna itu? Kamu belum memberitahuku waktu itu, Langit. Apa karena kamu juga lupa? Atau kamu yang lebih dulu diminta bergabung untuk bermain bola di lapangan oleh teman-teman kita? Sampai saat ini, saat aku akhirnya berani menuliskanmu, kamu masih menyiksaku dengan teka-teki itu, Langit.
***
Entah karena Ujian Nasional yang semakin dekat dan kita semua sibuk mempersiapkan kedatangannya atau ini memang murni kesengajaanmu, aku tidak tahu. Aku tidak pernah mengerti cara pikirmu.
Langit, saat itu aku marah! Aku marah sekali dengan jawabanmu. Waktu Pak guru bertanya akan ke mana kita setelah lulus dari sini.
Kamu tidak memberitahuku tentang rencanamu itu! Kamu tidak memberitahuku kalau kamu akan pergi jauh. Kamu tega, Langit! Kalau ternyata.. kenyataan akan memisahkan kita. Akan benar-benar memisahkan kita.
Ya. Kamu bahkan sudah mendaftar di pesantren itu.
Tapi maksudku kenapa, Langit? Kenapa? Waktu itu aku tidak menyapamu lagi bukan karena aku tak ingin. Langit, bahkan hanya dengan melihat bayangmu dari jauh, aku sudah ingin meneriakkan namamu dan menyuruhmu mendekat- menghampiriku- seperti yang kulaukan sebelum-sebelumnya. Dan kamu akan tersenyum membalas lambaian tanganku itu, Langit. Tapi tidak dengan waktu itu. Aku marah, Langit! Aku marah sama kamu! Aku marah karena ternyata kamu tidak pernah menganggapku.
Kamu benar-benar jahat, Langit! Tapi aku nggak pernah bisa benci kamu! Kamu jahat, Langit! jahat!
***
Aku tidak pernah tahu kalau ada seseorang yang bisa menerka masa depan dengan begitu benar. Kamu orangnya, Langit. Dan mungkin akan selalu kamu.
Tapi harusnya tidak dengan membuatku nyaman terlebih dahulu! Tidak dengan membutku merasa bergantung padamu! Langit, bahkan ketika menulis ini, aku semakin ingin membencimu! Aku nggak suka dengan diriku yang tidak pernah berhasil untuk membenci dirimu, Langit! Aku benar-benar nggak suka.
Kamu bahkan tahu. Ya, waktu itu kamu tahu, Langit. Kamu akan menjelma judul lagu itu. Kamu membiarkan bagian dari dirimu hanyut dalam bait-bait itu. Dan kamu... meninggalkan segenap persaanmu untukku di sana. Kamu menjelma kenangan terindah itu, Langit. Selamat, kamu berhasil. Kamu sukses membuatku merasa benar-benar kalah.
Harusnya aku sadar. Harusnya aku sadar lebih awal agar sakitnya tidak perlu seperti ini. Agar sesak yang kurasakan tak perlu separah ini. Langit, pada akhir kalimat ini, aku akan mulai berusaha melupakanmu. Melupakan kenangan terindah tentang kita itu. Walaupun aku tahu, jika aku melakukannya, aku telah siap kehilangan separuh diriku yang dulu. Doakan aku agar berhasil sama sepertimu.
- dariku yang menuliskanmu
Ra
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT
Teen FictionJika kamu sempat berpikir kalau kisah ini adalah bentuk cerita utuh, maka segera tinggalkan atau buang jauh-jauh pikiran itu. Di sini, kamu tidak akan menemukan solusi. Tidak juga penjelasan mengenai bagaimana kelanjutannya. Hanya ada potongan puzzl...