Chapter Four

12.1K 1.4K 97
                                    

Enjoy to reading 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy to reading 🥰
.
.
.

Pertama kali melihatnya, adalah di sebuah halte, empat bulan lalu. Saat itu hujan, aku sedang menunggu bus datang. Tiba-tiba ada sebuah mobil menepi. Awalnya biasa saja. Aku hanya memperhatikannya sambil lalu. Seorang pria tinggi turun membentangkan payung, berjalan tegak menghampiri seorang nenek beberapa meter dari tempatku duduk. Saat itulah, mataku terpaku.

Pria itu memiliki struktur wajah yang tegas dan pandangan mata tajam. Dia berkata sesuatu pada nenek itu, lalu membantunya menyeberang. Tak lupa, memayungi tubuh tua yang basah kuyup itu. Dan saat mereka berpisah, pria itu memberikan beberapa lembar uang pada nenek yang kutebak seorang penjual gorengan itu.

Hanya seperti itu. Tidak ada yang istimewa. Bahkan aku tak sedikit pun dilirik oleh pria itu. Tapi kenapa malam-malam setelahnya, aku selalu mengingat kejadian itu? Bahkan tak jarang sampai terbawa mimpi. Dan aku selalu meyakinkan diri sendiri bahwa itu terjadi karena hati kecilku tersentil oleh perbuatan pria itu. Aku merasa tidak berguna karena tidak bisa peka dan perhatian pada sekitar.

Sampai sebulan kemudian, saat aku membuka pintu kontrakan, aku melihatnya lagi. Berdiri di kontrakan sebelah dan memperkenalkan diri dengan nama ... Bara. Waktu itu aku terpaku. Butuh beberapa detik untukku tersadar dari rasa terpana, terpesona, terpukau, atau entah apa namanya. Hanya saja, tidak tahu datang dari mana pikiran gila itu, hingga di hari selanjutnya aku bertekad untuk mencuri perhatian pria itu. Aku ... tertarik pada Mas Bara.

"Woi!"

Aku mengerjapkan mata. Menemukan gadis dengan rambut bob di atas bahu dengan cat biru elektrik yang nyentrik, sedang menatapku galak.

"Bengong aja lo!"

"Nggak, kok." Aku berkilah sambil mengubah posisi tiduran di sofa panjang di dapur. "Capek aja."

Zeva berdecih dengan satu tangan bertengger di pinggang. "Gue kenal lo bukan setahun dua tahun, ya. Gue tahu mana muka lo yang lagi capek, lagi ngelamun, apalagi pas mikir jorok."

Aku cemberut. "Nggak pernah ya aku mikir jorok."

"Halah. Pas keganjenan ngejar tuh satpam gadungan, emang lo nggak mikir jorok? Nggak percaya, gue."

"Emang enggak."

Aku memejamkan mata. Walaupun tidak sepenuhnya jujur, tapi aku benar-benar kelelahan. Bekerja dari sore sampai pagi dan tidak tidur semalaman jelas membuat badanku terasa sangat remuk. Bahkan Santi, pegawai yang selalu bertugas membantuku di dapur, sekarang sudah tidur di lantai atas. Ruangan seluas delapan meter persegi yang kujadikan tempat istirahat dan sholat.

"Alan mana?" Aku seketika tersadar. Tadi saat orang suruhan klien yang kata Zeva istri pejabat, mengambil pesanan yang sudah siap, Alan pamit keluar sebentar. Dan sampai sekarang belum kembali, padahal sudah hampir satu jam.

"Tuh di tokonya Arya." Zeva duduk di sebelahku, mengotak-atik ponsel.

"Oh iya." Aku menatapnya. "Gimana progress kamu sama Arya?"

Its Me; A Piece of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang